in

Meneroka Masa Depan Kepri ala Rida K Liamsi

ALFIANDRI

Kontemplasi Kebangkitan Kepri yang Heterogen

Oleh: ALFIANDRI
P(Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP UMRAH)

Suatu kebanggan tersendiri bagi saya menghadiri majelis ilmu pada tanggal 28 Oktober 2016 malam, tepat pada malam peringatan ulang tahun ke-7 koran Tanjungpinang Pos sekaligus disejalankan dengan acara peluncuran dan bedah buku karya Bapak Rida K Liamsi yang berjudul ”Prasasti Bukit Seguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu 1160-1946”.

Dua agenda ini menghadirkan pembicara yakni Bapak Dr. Ahmad Dahlan, Dr. Mukhlis PaEni, Drh. Chaidir, MM, Drs. Aswandi Syahri, dan sang penulis buku Rida K Liamsi.

Dan saya tidak akan mempermasalahkan dan memperdebatkan dari rangkaian apa-apa yang terjadi pada kisah peristiwa malam tanggal 28 Oktober 2016 tersebut.

Ketika jelang acara bedah buku yang dimaksud, sejak awal ketika diperlihatkan dan dibagikan buku tersebut, saya berpikir buku ini menurut hemat saya adalah merupakan buku yang sangat super-ego, sebagaimana menurut filosof ternama asal Austria dengan aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi yakni Sigmund Freud.

Dan ternyata mungkin barangkali masih dapat diperdebatkan, bahwa saya mengidentifikasi menurut jenis isi buku tersebut, bahwa buku “Prasasti Bukit Seguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu 1160-1946”merupakan buku yang mengandung nilai sejarah ke-Melayu-an di jazirah nusantara yang tidak akan memisahkan bagian-bagian dari puzzle-nya eksistensi Melayu dari konteks budaya, kekuasaan, politik, pemerintahan, kepemimpinan, pengkhianatan, pemberontakan, pertempuran, psikologi, etika, hukum, mitos, legenda, dan barang kali yang paling menarik adalah tentang kisah asmara.

Menukil dari banyak cerita dan kisah dari buku ”Prasasti Bukit Seguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu 1160-1946”, dari awal pengantar buku hingga bab penutup, saya terprovokasi oleh pernyataan penting yang saya garis-bawahi atas ide dan gagasan utama dari penulis buku.

Sang tokoh budayawan itu telah mampu membuat mantra untuk “menyihir” dengan memberikan kekuatan hipnotis positif bagi para pemimpin masa depan bangsa, terkhusus di Kepulauan Riau yang akan memimpin negeri dari tingkat lokal hingga nasional, dengan bijak terinspirasi agar mau dan patut untuk membaca buku ini.

Rida K Liamsi menyatakan dengan ramuan kata sebagai pernyataan langsung atas buku tersebut, sebagai identifikasi atas catatan penting untuk kita pahami bagaimana Kepri yang heterogen demi masa depan agar tidak mendapat “Tulah”, maka harus meyadari hal-hal sebagai berikut;

Pertama; Sebagai seorang Melayu, saya memang sangat sering tergoda dengan “Prasasti Bukit Siguntang” itu, terutama saat harus menulis dan berbicara tentang rumpun Melayu, tentang masa lalu dan masa depannya. Bukan hanya karena faktor magis dan historis sumpah setianya saja, tetapi karena saya yakin bahwa kesetiaan pada janji, komitmen atas kesepakatan yang telah dibuat, itulah hakekat hidup sesungguhnya.
Apalagi itulah yang diajarkan oleh Islam, agama yang saya anut. Hidup ini dan seluruh perjalanannya itu, adalah proses kesepakatan, dari individu ke individu, dari kelompok ke kelompok, dari rakyat dengan penguasa, antar berbagai komunitas dan golongan yang tumbuh dan berkembang bersama waktu, bersama sistem politik, dan hubungan sosial, karena pada hakekatnya, manusia itu adalah makhluk sosial.
Makhluk yang dibuhul oleh janji, oleh kata. Bila janji sudah terucap, maka pantanglah ianya ditarik kembali. “Pantang ludah, dijilat kembali”.

Kedua; Saya tetap menganggap, terbelahnya Negeri Melayu itu, karena kesalahan orang Melayu sendiri. Terutama para penguasanya, karena mereka telah berkhianat terhadap sumpah setia antara Demang Lebar Daun dengan Sang Purba; pengkhianatan terhadap Prasasti Bukit Siguntang.
Mereka terlalu mengedepankan kesewenang-wenangan, kepentingan pribadi, puak, dan dinastinya. Jadi, bukan karena ancaman senapang dan meriam penjajah semata. Perang dan tangan penjajah itu hanya ujung takdir, ujung penyebab terjadinya bala: retak yang bertemu belahnya.

Ketiga; Saya juga sering merenung, dalam konteks Indonesia kini, seberapa teguh kita memegang janji, memegang sumpah, seperti sikap kita memaknai Sumpah Pemuda (1928), yang menjadi cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prasasti Bangsa: Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia, Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia itu adalah “puisi besar” bangsa Indonesia.
Dan kini, “puisi besar” itu sudah semakin sering kita langggar dan dikhianati. Seberapa setia kita dalam memegang semangat berbangsa satu, karena kini kita sudah semakin terpecah oleh kepentingan puak, etnis, dan bahkan kelompok, suku, keturunan, partai, dan sikap-sikap nepotisme lainnya.
Seberapa kuat kita untuk tetap bertanah air satu, kalau dalam keadilan membangun dan mendistribusi kekayaan dan kemakmuran tidak lagi menghargai adanya wilayah ragam adat dan budaya dari Sabang sampai Merauke, bila kerap hanya berpikir, misalnya, tentang Pulau Jawa, dan tentang Jakarta saja.
Seberapa setia kita untuk tidak berkhianat, untuk tetap berbahasa satu, Bahasa Indonesia, jika akibat tekanan kepentingan ekonomi, dan primodial, bahasa kebangsaan kita itu pada suatu saat akan terjejas menjadi bahasa kelas dua: bahasa kampung.
Lihatlah, betapa saat ini, jargon NKRI Harga Mati itu, harus ditegakkan dengan ancaman mulut senapang. Sudah melupakakan kata-kata, sudah menyingkirkan kesepakatan moral dan kekuatan bahasa.

Keempat; Bangsa yang arif, adalah bangsa yang selalu belajar dari sejarah, karena sejarah adalah cermin dan sekaligus guru kehidupan dan kearifan. Sejarah adalah telaga budi dan nurani suatu bangsa dalam membangun dan membesarkan jati diri serta peradabannya.
Bangsa yang tak pernah belajar dari sejarah, adalah bangsa yang akan terus kalah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu pesan Bung Karno, bapak bangsa Indonesia itu.
Karena itu, agar kita tidak melupakan sejarah, maka sepatutnyalah kita melakukan berbagai upaya untuk mengingatnya, seperti menerbitkan buku-buku sejarah, buku-buku semi sejarah, dan buku-buku lainnya yang dapat membangkitkan gairah kesadaran sejarah.
Begitu juga dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan, festival budaya yang bermuatan sejarah, dan lain-lain kerja budaya yang mengajarkan semua pembelajaran itu kepada anak cucu kita. Sebab pekerjaan yang paling sulit dalam hidup kita ini, adalah melawan lupa.

Dari keempat catatan penting yang telah saya identifikasi sebagai muatan kekuatan membangun Kepulauan Riau dengan entitas serta identitasnya secara Psikologis Kultural, maka kearifan nilai-nilai ke-Melayu-an harus terinternalisasi sebagai modal dasar pembangunan Kepri yang gemilang.

Dalam perspektif kajian Administrasi Negara, maka nilai-nilai dasar pembangunan Kepri yang holistik harus mampu berangkat dari kekuatan potensi budaya dan ideologi keyakinan terhadap pencapaian tujuan masa depan bangsa secara luhur dapat tercapai, dalam eksistensi keseluruhan arti, unsur, dimensi, dan dinamikanya.

Lintasan sejarah bangsa bagi sebuah negeri harus tetap menjadi pelajaran dengan hikmah dan ikhtisar masa depan untuk lebih baik. Dalam approach behavior science, maka dari pendekatan kajian Psikologi, bahwa kebangkitan suatu bangsa bukan sekedar milik dan masalah pribadi seorang yang berhasrat untuk berkuasa, akan tetapi ada sentuhan dari aspek psikologi ala teori psikologi Freud yang harus terperhatikan.

Freud menyatakan dengan membedakan kepribadian manusia menjadi tiga unsur kejiwaan, yaitu Id, Ego,dan Super Ego.

Aspek tersebut masing-masing mempunyai fungsi, sifat komponen, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri, namun ketiganya saling berhubungan sehingga sukar untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, tingkah laku selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek itu.

Pertama; Id dalam Bahasa Jerman adalah Das es. Id atau Das Es merupakan wadah dari jiwa manusia yang berisi dorongan primitif. Dorongan primitif adalah dorongan yang ada pada diri manusia yang menghendaki untuk segera dipenuhi atau dilaksanakan keinginan atau kebutuhannya.

Apabila dorongan tersebut terpenuhi dengan segera maka akan menimbulkan rasa senang, puas serta gembira. Sebaliknya apabila tidak dipenuhi atau dilaksanakan dengan segera maka akan terjadi hal yang sebaliknya.

Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan aspek kepribadian yang paling gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa ”energi buta”. Bahwa id merupakan dorongan dari aspek biologis yang terjadi secara spontan.

Kedua; Ego dalam Bahasa Jerman disebut Das Ich. Ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme yang memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengandunia kenyataan objektif. Dengan kata lain, orang mencocokkan gambaran ingatan tentang makanan dengan penglihatan atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya dengan pancaindera.

Das ich atau The ego merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego merupakan kepribadian implementatif yaituberupa kontak dengan dunia luar. Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa ego timbul karena dorongan dari aspek psikologis yang memerlukan sebuah proses.

Ketiga; Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Super ego merupakan penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan id sebelum menjadi kenyataan, dipertimbangkan oleh super ego.
Apakah keinginan id itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Super ego berisi nilai-nilai moral yang ditanamkan pada diri seseorang. Pada dasarnya, super ego sama dengan kesadaran.

Aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakatsebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.

Insya Allah ekspektasi bahwa Kepri akan menjadi negeri yang Baldatun Toyibbatun Warrabun Ghofur dapat terwujud dari masyarakat Kepri yang memiliki Komitmen Pribadi yang meletakkan Kepri menjadi negeri masa depan. Amin Ya Rabbal’alamin.***

What do you think?

Written by virgo

Tiga Hakim Jessica Wongso Dilaporkan ke Bareskrim

Prabowo-Presiden PKS Bahas Aksi 4 November: Demo Dijamin UUD