Sidang tuntutan ini senyap saja. Tak ada demo di luar ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bahkan ini dianggap sebagai sidang yang paling ramai diliput media. Padahal pasal yang disinggung adalah soal penistaan agama, pasal sama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke meja hijau.
Mahful Muis Tumanurung dan Mushaddeq dituntut 12 tahun penjara, sementara Andry Cahya 10 tahun penjara. Ketiganya adalah eks petinggi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang disidang atas penistaan agama. Juga makar. Kepolisian menyebut Gafatar berencana membangun Negeri Karunia Tuhan Semesta Alam Nusantara.
Kasus Gafatar mencuat kala Rica seorang dokter di Yogyakarta dilaporkan hilang. Belakangan Rica ditemukan pergi ke Mempawah, Kalimantan Barat, ikut kelompok Gafatar. Pasca itu, pada pertengahan Januari tahun lalu, sekelompok orang membakar kamp Gafatar di Mempawah. Sejak itu ribuan anggota Gafatar terusir.
Lagi-lagi fatwa Majelis Ulama Indonesia yang jadi dasar atas penyerangan terhadap kelompok Gafatar. Fatwa jadi pijakan terbitnya Surat Keputusan Bersama SKB tentang perintah dan peringatan untuk menghentikan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari ajaran pokok agama Islam.
Bagaimana kita bisa mengadili keyakinan seseorang? Setiap warga negara punya hak atas keyakinan dan pendapat. Ini dilindungi Konstitusi. Yang dilakukan para terdakwa adalah menafsir, bukan merendahkan agama tertentu. Untuk ini, negara dituding mengkriminalisasi hak warga negara. Ketika terjadi penyerangan, perusakan, sampai perampasan aset warga Gafatar, lalu apa? Apakah para penyerang mereka juga diadili?
Kita tak bisa mengadili keyakinan orang lain. Jika terjadi pemaksaan atau kekerasan, baru negara bisa masuk dan berperan. Jika tidak, maka aparat negara harusnya berdiri di atas semua golongan dan agama, serta melindungi mereka yang jadi korban kekerasan.