Angkut Barang 500 Meter Bayar USD 3
Sebagai bekas provinsi ke-27 Indonesia, Timor Leste (dulu Timor Timur) masih sangat bergantung pada negara kita. Bukan hanya kebutuhan bahan makanan, interaksi warga kedua negara memiliki intensitas tinggi.
Manuel Borges, 26, warga Batugade, Distrik Bobonaro, Timor Leste, tak tertarik menjadi pegawai negeri atau swasta. Sebab, dengan pekerjaannya sekarang, setiap hari dia bisa mendapatkan puluhan dolar AS (USD) hanya dengan mengangkut barang di perbatasan Timor Leste-Indonesia.
Ya, Manuel yang tinggal di dekat garis perbatasan dua negara itu setiap hari menyediakan jasa mengangkut barang dari Batugade menuju Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya hanya 500 meter. Tujuan akhirnya adalah sebuah jembatan kecil yang menjadi tanda batas kedua negara.
Manuel akan mengangkat barang pelintas batas dari pos imigrasi Timor Leste menuju pos pemeriksaan imigrasi Indonesia. Di atas jembatan itulah barang akan diestafetkan kepada rekannya dari Indonesia yang akan membawa masuk ke Motaain. Umumnya, mereka saling kenal dan memahami aturan tak tertulis soal batas kerja masing-masing.
“Kawan-kawan dari Indonesia tak boleh melewati pos imigrasi Timor Leste. Jadi, kami jemput orang atau barang itu untuk kami bawa masuk ke wilayah Timor Leste,” terang Manuel.
Setiap hari mereka bekerja bak pegawai imigrasi. Mulai pukul 09.00 hingga pukul 17.00 atau selama delapan jam kerja. Untuk sekali angkut, mereka menarik tarif USD 2–USD 3. Dalam sehari, mereka bisa mengangkut barang 10–15 pelintas batas.
Cerita yang sama diungkapkan Julius, 22, warga Silawan, yang tak jauh dari pos utama imigrasi di Motain. Dalam sehari, dia bisa mengangkut 4–5 penumpang yang baru saja menyeberang dari Timor Leste ke Atambua, ibu kota Belu, yang berjarak 25 kilometer. Sekali angkut Rp 60 ribu.
“Kalau pintu perbatasan tutup, baru kami pulang. Itu berarti kerja kami sudah selesai,” ujarnya. Yang menggunakan jasa Manuel umumnya penumpang bus yang tidak melewati perbatasan ke Indonesia. Bus jurusan Dili menuju Kota Maliana, Bobonaro, juga mengangkut penumpang yang akan turun di Batugade.
Penumpang yang bakal menuju Atambua turun di pos perbatasan itu dan menyeberang ke Motain dengan berjalan kaki. Penumpang yang membawa barang itulah yang menjadi sumber pendapatan Manuel dan sejumlah kawannya yang mengais rezeki di daerah perbatasan.
Mereka tak harus membawa paspor karena sudah dikenal sebagai pekerja di kawasan itu. Selain barang bawaan, Manuel akan mengantar pekerja asal Belu yang mau pulang kampung dengan menggunakan sepeda motor dari Timor Leste. Sebab, pelintas batas tidak boleh membawa masuk sepeda motor dari Timor Leste ke wilayah Indonesia atau sebaliknya.
Maka, baik di Batugade maupun di Motain, banyak juga rumah yang menyediakan jasa penitipan sepeda motor untuk para pelintas batas. Ongkosnya USD 5 untuk waktu titip 2–3 hari. Tenaga angkut barang dan ojek menjadi pilihan bagi pelintas batas yang ingin menyeberang ke Indonesia maupun ke Timor Leste.
Kendaraan umum dari Timor Leste yang akan masuk Indonesia dikenai biaya USD 35. Sama dengan biaya visa on arrival Timor Leste. Sementara itu, kendaraan pemerintah hanya dikenai USD 20.
Tapi masih ditambah biaya operasi yang dikeluarkan kepolisian perbatasan. Sedangkan kendaraan dari Indonesia yang masuk ke Timor Leste sudah tidak dipungut biaya.
Namun, sejak diberlakukannya bebas visa masuk ke Indonesia, banyak warga Timor Leste yang berkunjung ke negara tetangganya itu. Begitu pula sebaliknya. Terutama pelajar yang bersekolah di Indonesia. Mereka setiap hari keluar masuk Indonesia.
“Dalam sehari 600–700 orang masuk dan keluar lewat perbatasan Motain. Sedangkan dari enam pos imigrasi di perbatasan Indonesia-Timor Leste, rata-rata dalam sehari lebih dari 1.000 orang melintasi batas kedua negara,” kata Kurnadie, kepala Imigrasi Kelas II Atambua, Belu, NTT.
Menurut dia, sepanjang 250 kilometer di garis perbatasan darat, kedua negara menyepakati adanya sembilan pos imigrasi. Namun, yang aktif baru enam pos. Tiga lainnya belum diaktifkan pihak Timor Leste.
Tiga di antara enam pos berada di Kabupaten Belu. Tiga pos lain berlokasi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT. Di Belu, Pos Motaain berbatasan dengan Batugade.
Selain itu, Pos Turiskain di pantai utara Pulau Timor berbatasan dengan wilayah Bobonaro dan Pos Malaka berbatasan dengan Suai di pantai selatan. Di wilayah TTU, pos berada di Napan, Wini dan Haumeniana yang berbatasan dengan Ambeno, Oecussi.
Kurnadie mengatakan, dibukanya pos perbatasan delapan jam sehari bukan harga mati. Artinya, pihak imigrasi juga mengakomodasi kepentingan pemerintah Timor Leste bila melewati perbatasan di luar waktu tersebut.
“Pernah rombongan Xanana Gusmao mau ke Kupang, sudah pukul 20.00. Kami tetap melayani. Sebab, sebelumnya memang sudah ada permintaan khusus,” tuturnya.
Dia mengakui, pelanggaran perbatasan lebih sering dilakukan warga Timor Leste daripada warga Indonesia. Sebab, terkadang mereka melintas tanpa membawa dokumen yang diperlukan. Tak terkecuali para mahasiswa yang seenaknya keluar masuk Indonesia tanpa paspor.
Imigrasi Indonesia harus bertindak tegas terhadap warga Timor Leste yang menyeberang tanpa dokumen keimigrasian. Selain ditolak, yang telanjur masuk dan berada di Indonesia akan dideportasi. Sebaliknya, sampai saat ini pihak imigrasi Timor Leste belum pernah mendeportasi WNI dari wilayahnya.
Salah satu cara untuk menekan angka pelanggaran batas negara, imigrasi kedua negara mengeluarkan pas lintas batas bagi warga yang bepergian di radius 10 kilometer dari pos imigrasi. Dokumen itu memudahkan warga perbatasan yang masih memiliki hubungan darah untuk saling mengunjungi setiap saat.
“Dengan cara ini, warga tidak direpotkan. Kami juga bisa mengawasi,” terang Kurnadie. (*)
LOGIN untuk mengomentari.