BELAKANGAN ini ada beberapa tindakan tidak etis dan tak manusiawi yang terjadi di lingkungan pesantren. Seperti seorang santri senior di Rembang yang tega membakar santri juniornya gara-gara menolak menyerahkan handphone (HP) kepadanya.
Dampaknya, si pelaku harus berurusan dengan polisi. Selain itu, ada pula kasus perusakan sejumlah HP oleh pengurus pesantren di Jawa Timur karena peraturan di pesantrennya tidak membolehkan membawa HP.
Di luar kasus tersebut, tentu masih ada peristiwa kekerasan lainnya yang dialami para santri lantaran peraturan yang melarang penggunaan HP di lingkungan pesantren. Secara normatif, pelarangan penggunaan HP tentu menjadi otoritas internal para pengasuh dan pengurus pesantren.
Namun, bila mengikuti perkembangan zaman, saat dunia digital sudah menjadi keniscayaan di setiap pembelajaran dan edukasi lainnya, apakah peraturan pelarangan penggunaan HP masih layak dipertahankan?
Tidakkah ada kelenturan kebijakan yang tetap membolehkan para santri menggunakan HP dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan? Setidaknya, dengan kelenturan aturan tersebut, di satu sisi para santri tetap harus mematuhi aturan penggunaan HP.
Tapi di sisi lain bisa memanfaatkan HP sebagai penunjang pembelajaran dan eksperimentasi keilmuan lainnya. Sebab, menghadapi era digital, para pelajar di luar pesantren sudah memanfaatkan HP sebagai sarana edukasi, inovasi, dan kreasi.
Apalagi, usia mereka tergolong kaum muda berjiwa milenial, baik yang berlatar generasi Y, Z, hingga Alfa yang melakukan kejutan disrupsi dengan berbagai kreasi dan inovasinya. Para pelajar di luar pesantren yang secara sosiologis tidak berlatar santri mampu menciptakan peluang-peluang baru, mengubah industri dan karakter pekerjaan baru yang tak terpikirkan sebelumnya.
Mereka juga menghadirkan sebuah dunia baru yang lebih menjanjikan. Dalam konteks tersebut, di mana peran santri di pesantren sehingga mereka bisa memosisikan diri dan bersaing?
Continues Improvement
Secara dogmatis, sebenarnya kepada para santri sudah diajarkan dan ditanamkan sebuah adagium “al ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah” (upaya perbaikan ke arah yang lebih baik lagi dan seterusnya). Adagium itu merupakan lanjutan dari kredo “almuhafadzah ’ala qadimis shalih, wal akhdzu bil jadid al ashlah” (menjaga perihal lama yang baik sambil mengadopsi gagasan baru yang lebih baik).
Akan tetapi, adagium tersebut perlu direvitalisasi dan dikontekstualisasi dalam sistem transmisi pengetahuan oleh para santri. Keberadaan pesantren dan madrasah yang selama ini menjadi habitus keilmuan yang menggembleng para santri dengan beragam pengetahuan agama perlu melakukan peralihan paradigma (shifting paradigm) dan rekonstruksi pemikiran yang selaras dengan tantangan dan semangat zaman.
Salah satu sarananya memanfaatkan HP sebagai ruang belajar yang kreatif dan inovatif.
Selama ini pengetahuan agama yang dikuasai santri sudah dijadikan alat analisis mengkaji persoalan peribadatan.
Sejatinya perlu dipikirkan pula bagaimana pengetahuan tersebut ditransmisikan sebagai instrumen analisis yang memanfaatkan big data dari internet untuk merancang inovasi baru yang maslahat bagi tantangan peradaban terkini.
Sebab, kehadiran santri yang berpengetahuan agama memadai dan mentransformasikan pengetahuannya pada ranah kajian yang kontemporer, maka segala bentuk inovasi tersebut tidak sekadar berdampak pada profit oriented.
Tapi aspek benefit yang mengedepankan nilai tambah –atau barokah dalam istilah pesantren– akan mewarnai setiap rancangan inovasinya. Oleh karena itu, semangat adagium di atas yang menekankan pengembangan secara terus-menerus (continues improvement) harus dijadikan sebagai epos kesantrian yang bervisi 4.0 di lembaga pesantren maupun madrasah.
Setidaknya, dengan memberikan porsi berimbang pada experimental sciences yang selaras dengan visi 4.0 dalam habitus keilmuan para santri, para santri akan belajar mengontekstualisasikan pengetahuan agamanya pada wilayah muamalah yang berhubungan erat dengan problem kemanusiaan, teknologi, dan peradaban.
Mujarobat Disrupsi
Dalam kaitan ini, untuk memproses interkoneksi keilmuan antara pengetahuan agama dengan teknologi dan tantangan peradaban di era 4.0, diperlukan transformasi cara pandang (world view). Terutama terkait dengan amalan keagamaan para santri yang selama ini dikenal dengan istilah mujarobat yang basisnya pada optimalisasi ibadah sebagai kekuatan batin an sich.
Untuk melakukan transformasi cara pandang mujarobat, setidaknya ada lima keterampilan yang harus dieksternalisasi, diobjektivasi, dan diinternalisasi (meminjam cara pandang Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku Tafsir Sosial Atas Kenyataan).
Pertama, taghyir, yaitu semangat perubahan secara terus-menerus dalam menemukan formula-formula baru di setiap perkembangan zaman. Kedua, tajdid, yaitu semangat berinovasi untuk menindaklanjuti spirit perubahan dalam mewujudkan formula yang sudah diimajinasikan sebelumnya sehingga berbentuk sebuah hasil yang bermanfaat.
Ketiga, tadbir, merupakan spirit berefleksi untuk memperbaiki dari setiap inovasi agar setiap produk memberi dampak positif bagi kemanusiaan dan peradaban. Keempat, ta’jil (smart shortcut), yaitu menemukan cara terbaik, termudah, dan tercepat untuk meningkatkan kinerja yang lebih progresif dan unggul. Tujuannya agar bisa bersaing dengan para inovator lainnya.
Kelima, taslim, yaitu sikap keadaban dan etika profetik yang melingkupi setiap upaya perubahan, inovasi, perbaikan, dan model smart shortcut agar semuanya bisa memberikan kenyamanan dan kedamaian bagi manusia dan lingkungan.
Lima keterampilan yang melandasi mujarobat disrupsi tersebut harus dijadikan sebagai modal sosial para santri ketika memasuki ruang-ruang 4.0. Santri harus menjadi anak zaman kekinian yang mengusung spirit continues improvement dalam menapaki peradaban dan dunia baru.
Semoga Hari Santri yang tahun 2022 ini mengambil tagline “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan” menjadi pemantik semangat menghadapi tantangan zaman demi kemajuan Indonesia dan mampu bersaing dalam peradaban dunia.
Sekaligus menjadi role model kemanusiaan par excellence yang tetap mengedepankan etika kesantrian dalam spirit perkembangan zaman yang sarat kecanggihan kecerdasan buatan. (*)