in

Menuju Indonesia 4.0

Jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan bangsa ini sudah diakui bangsa lain. Tak hanya sekadar diakui, bangsa ini juga ditakuti dan disegani bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, bahkan dunia. Keberadaannya semakin diperhitungkan, seiring banyaknya kerja sama dijalin dengan sejumlah negara, terutama di sektor perdagangan. Sebut saja, Arab, India, Tiongkok, maupun Eropa. 

Pengaruh Indonesia semakin kuat seusai founding father Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945 lalu. Bukan hanya memainkan pengaruh di regional ASEAN, namun meluas sampai Asia Pasifik. Saking berpengaruhnya, nama pemimpin negara ini dijadikan nama sejumlah jalan di beberapa negara, seperti Mesir dan Belanda. 

Keberadaan Konferensi Tingkat Tinggi Asia, menjadi salah satu bukti peranan bangsa ini. Begitu pula pembentukan Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara dibentuk, lahir atas prakarsa dan kepemimpinan Presiden Soekarno. Di bidang olahraga juga tak ketinggalan, Asian Games digelar di negara ini. Begitu pula pengaruh Indonesia di bidang teknologi dengan kehadiran Satelit Palapa.

Lantas bagaimana sekarang? Banyak analis menyakini bahwa Indonesia masih menjadi penentu dalam bidang teknologi dan rekayasa di era revolusi industri 4.0 sekarang ini. Penilaian ini jelas bukanlah sebuah kemustahilan. Bangsa ini memiliki semua potensi untuk meraih kepemimpinan tersebut. Apalagi kebijakan pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara nyata pencapaian perkembangan, serta kemajuan teknologi dan rekayasa menuju Industri 4.0.   

Dalam sebuah kesempatan pada kegiatan 35th Conference of the ASEAN Federation of Engineering Organizations di Bangkok 2017 baru-baru ini, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menekankan bahwa leadership Indonesia masih sangat terasa di kawasan Asia Tenggara ini.

Ke depan, Indonesia tak hanya sekadar berpikiran demi memajukan bangsa ini saja. Tapi, bagaimana berinvestasi di negara-negara ASEAN yang menjadi sebuah indikator bagi kemajuan bangsa. Bagaimanapun, kemajuan kawasan ini jelas berdampak strategis bagi kemajuan Indonesia, seiring imbas terjalinnya konektivitas antar negara. 

Di sinilah, perlunya didorong kemajuan dan penerapan rantai nilai kawasan (regional value chain). Keterkaitan, integrasi dan hubungan (konektivitas) antarnegara ASEAN, jelas bisa memicu pertumbuhan ekonomi kawasan, sekaligus masing-masing negara anggota. 

Airlangga Hartarto dalam kesempatan yang juga dihadiri penulis, mengatakan bahwa faktor penentu keberhasilan kepemimpinan teknologi dan rekayasa, serta dorongan rantai nilai kawasan ini adalah insinyur. Insinyur lah ujung tombaknya dan memiliki peran strategis! Mengingat, rantai nilai kawasan ini berkaitan erat dengan sektor industri manufaktur. Sektor manufaktur ini merupakan lahan dan tempat berinovasi para insinyur. Artinya, perkembangan sektor industri manufaktur yang memasuki generasi 4.0 berada di tangannya para insinyur Indonesia! “Indonesia haruslah memegang kendali kepemimpinan industri manufaktur 4.0 di kawasan ASEAN”.

Kendala paling mendesak dibenahi sekarang, tak lain sektor pendidikan, terutama pendidikan di bidang vokasi. Indonesia terbilang masih kurang menguasai ketrampilan ini. Walaupun nyatanya, pemerintah pernah mencanangkan program life skill-nya. 
Di Thailand, pemerintahnya memberikan insentif bagi industri yang membangun pendidikan vokasi. Hal ini berdampak terhadap ketersediaan tenaga kerja terampil sektor industri secara berkelanjutan.

 Vietnam pun lebih membuka diri terhadap perguruan tinggi-perguruan tinggi asing. Inilah poin lebih bangsa ini, sehingga saat ini sektor industrinya berkembang sedemikian rupa. 

Dalam konteks rekayasa the next big thing adalah electronics. Di mana, poros kekuatan utama di bidang elektronik ini adalah Korea Selatan. Indonesia sendiri, saat ini sudah menjalin kemitraan dengan negara ini dengan Special Task Force (Gugus Tugas Khusus). Kerja sama ini lebih ditujukan untuk menguatkan pondasi pada wafer dan semikonduktor, sesuai penegasan Airlangga Hartarto. 

Arah kemajuan dan perkembangan teknologi elektronik ini, ditunjukkan dengan semakin berkembangnya mobil listrik yang membutuhkan banyak peralatan dan komponen elektronik. Bahkan banyak kalangan menyebut, ke depan adalah eranya mobil listrik seiring semakin berkurangnya deposit dan tingginya harga bahan bakar minyak tersebut.

Intinya sekarang, Indonesia jelas tak boleh sampai ketinggalan dengan the next big thing ini. Cirebon Power dengan insinyur-nya, bisa menjadi pilot project pendukung IoT dan Industri 4,0 dalam implementasi manajemen aset strategis, pemeliharaan dan operasi. Direktur Utama Cirebon Power, Dr Ir Heru Dewanto yang juga menjabat wakil ketua umum Persatuan Insinyur Indonesia, juga hadir dalam kesempatan itu. 

Kebutuhan terhadap industri-industri yang dapat menjadi role model pendukung dan inisiator IoT, serta industri 4.0, menjadi prasyarat untuk menuju Indonesia 4.0 yang semakin cepat.  

Di bidang digital ekonomi, paling kurang terdapat tiga syarat yang mesti dipenuhi, bahasa Inggris, pendidikan statistik dan coding (bahasa baru untuk ekonomi digital). Tentu, kunci dari semua ini, perlunya ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. 

Industri 4.0 Indonesia sedang menantikan keterlibatan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), PII harus berperan dan juga leader-nya. Setiap badan kejuruan agar memiliki cyber troops pada akhirnya bisa menempatkan  engineering menjadi mainstream dalam segala kebijakan, arah dan strategi akselarasi pembangunan nasional.

PII merupakan aset bangsa yang harus diberdayakan sedemikian rupa, sehingga kejayaan bangsa bisa diraih dan Indonesia memasuki masa keemasan dengan Industri 4.0-nya, khususnya bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi.  Insinyur menjadi penentu era Indonesia 4.0 yang akan memberikan kemajuan dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dehegemonisasi Materi

Satu Rumah nyaris Terban ke Sungai