Muslimoderat.net – Penerimaan atau penolakan sebuah amal-ibadah memang sulit diukur. Manusia–siapapun dia–tidak boleh menjatuhkan putusan atas penerimaan atau penolakan amal seseorang atau dirinya sendiri. Tetapi kita hanya dapat melihat tanda-tanda penerimaan Allah atas amal kita.
Syekh Ibnu Athaillah RA menyebut tanda-tanda penerimaan Allah SWT dalam hikmah berikut ini.
Artinya, “Siapa yang memetik buah dari amalnya seketika di dunia, maka itu menunjukkan Allah menerima amalnya.”
Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan bahwa buah dari amal itu berbentuk kemaslahatan keagamaan dan kemaslahatan duniawi. Ia menyebut secara konkret bahwa buah dari amal itu adalah pertama, kebahagiaan hidup yang diukur dengan perasaan bebas dari kekhawatiran dan kesedihan.
Artinya, “Menurut saya, buah amal itu adalah faidah keagamaan dan keduniaan apapun yang muncul dari amal tersebut. Buah dari amal itu hanya terdiri atas tiga bentuk: pertama, munculnya kebahagiaan karena sirnanya kekhawatiran dan kesedihan,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 80).
Syekh Zarruq mengutip Surat Yunus ayat 62-64.
Artinya, “Ketahuilah, para wali Allah tidak dihinggapi kekhawatiran dan kesedihan. Mereka yang beriman dan mereka itu bertakwa akan menerima kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat…” (Surat Yunus ayat 62-64).
Kedua, ketenangan hidup yang ditandai dengan keridhaan batin dan sifat qana‘ah atas segala pemberian Allah.
Artinya, “kehidupan yang baik karena hati penuh ridha dan qana‘ah.”
Syekh Zarruq mengutip Surat An-Nahl ayat 97.
Artinya, “Siapa saja beramal saleh laki-laki maupun perempuan sedangkan mereka itu orang beriman, maka kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik,” (Surat An-Nahl ayat 97).
Ketiga, keterbukaan rahasia atas penguasaan alam semesta.
Artinya, “Penampakan rahasia kuasa atas penundukan dan pengaruh terhadap alam semesta lahir dan batin.”
Syekh Zarruq mengutip Surat An-Nur ayat 55.
Artinya, “Allah menjanjikan orang-orang beriman di antara kalian dan mereka yang beramal saleh sebuah kekuasaan di bumi sebagaimana Ia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Ia teguhkan agama mereka yang Ia ridhai’, serta Ia mengganti ketakutan mereka dengan rasa aman…,” (Surat An-Nur ayat 55).
Dengan kata lain, seseorang memegang kunci untuk mendapat sesuatu yang diinginkannya di dunia. Tetapi selain dari itu semua, kenikmatan dalam menjalankan ibadah itu sendiri sudah merupakan buah dari amal.
Artinya, “Dalam hadits shahih seorang sahabat Rasul berkata, ‘Sebagian kami ada yang memiliki ‘buah’ matang, lalu Allah menghadiahkan untuknya. Tetapi sebagian kami ada yang wafat dan belum sempat mencicipi buah dari amalnya, salah satu dari mereka adalah Mush‘ab bin Umair RA.’ Salah satu bentuk ketenangan hidup adalah merasakan kelezatan aktivitas ibadah. Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa kelezatan aktivitas ibadah itu sendiri bisa disebut sebagai bentuk dari buah amal, bukan sekadar aktivitasnya itu sendiri,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 80-81). Wallahu a’lam. (Alhafiz K)
Sumber; Nu Online