Tidak mudah melahirkan sebuah definisi yang akurat tentang apa itu keangkuhan. Juga tidak mudah melakukan identifikasi tentang siapa yang pantas disebut angkuh. Masing-masing kita merasa berhak mendefinisikan diri kita sendiri, sebab kitalah yang paling tahu tentang kita, bukan orang lain. Meskipun menolak didefinisikan, tapi anehnya, kita tetap merasa berhak mendefinisikan orang lain. Akhirnya, kita pun tenggelam dalam keangkuhan. Artinya, perasaan “berhak” ini pun sebuah manifestasi keangkuhan.
Nah, apa itu keangkuhan? Dalam sudut pandang teologis, keangkuhan adalah wujud dari “keimanan yang gagal.” Kegagalan seseorang dalam mengenal Tuhan akan menempatkannya sebagai sosok kesepian sehingga ia pun ingin menjadi “tuhan”, tidak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi orang lain. Dalam perspektif ini, keangkuhan adalah sebuah kehinaan. Mungkin tidak ada satu agama pun yang menilai keangkuhan sebagai perilaku terpuji, sebab agama itu sendiri mengajarkan “ketundukan.”
Sementara dari sudut sosiologis, keangkuhan adalah ketidakmampuan beradaptasi dan berkomunikasi sehingga ia terpental dari lingkungan sosialnya. Kondisi “keterusiran” ini akan melahirkan sosok yang mendifinisikan dirinya sebagai berbeda dari “yang lain.” Alhasil, keangkuhan pun menjadi sebuah medium untuk mempertegas identitas keberbedaannya.
Adapun dalam timbangan psikologis, keangkuhan adalah potret keterkejutan mental yang berdampak pada munculnya sikap ingin dipuja. Keterkejutan mental ini akan melahirkan kelatahan psikologis dengan perolehan kepuasan batin melalui sanjungan. Akibatnya, keangkuhan menjadi satu-satunya alat pemaksa guna memuaskan jiwa yang sakit.
Terlepas dari sudut mana kita memandang, keangkuhan adalah sebuah sikap frustasi dalam menerjemahkan realitas. Keangkuhan akan melahirkan manusia-manusia kosong, jauh dari Tuhannya, terusir dari lingkungan sosialnya dan tertekan jiwanya. Manusia-manusia angkuh senantiasa hidup dalam “keterasingan” dan kekal dalam “kesepian.”
Keangkuhan adalah penyakit tertua yang telah mengiringi perjalanan dunia sejak awal-awal penciptaan. Keangkuhan pertama dan paling populer telah dideklarasikan oleh Iblis ketika ia enggan sujud kepada Adam. Ini adalah keangkuhan paling awal dalam sejarah dunia. Akibat keangkuhannya ini, Iblis pun dikutuk sehingga ia pun tenggelam dalam kecelakaan abadi. Bermodal keangkuhan ini pula, Iblis melakukan kaderisasi terhadap manusia – yang sejak awal telah dipersiapkan sebagai khalifah di muka bumi. Kader-kader Iblis inilah yang kemudian menebar keangkuhan di muka bumi.
Dalam praktiknya, keangkuhan tidak pernah melahirkan kejayaan. Sebaliknya, keangkuhan justru menjadi petaka. Keangkuhan teologis yang ditunjukkan Fir’aun misalnya, telah membuatnya tenggelam dalam lautan. Keangkuhan ekonomik semisal Qarun pun telah menguburnya di dasar bumi. Demikian pula dengan keangkuhan etnis yang diperankan Yahudi telah memaksa mereka hidup dalam diaspora di masa lalu.
Dalam konteks kekinian, contoh paling dekat adalah keangkuhan Soeharto dengan rezim Orde Barunya yang akhirnya tumbang seketika. Keangkuhan militeristik yang dipraktikkan Soeharto selama 32 tahun akhirnya hancur hanya karena tekanan massa tanpa senjata. Demikian pula dengan keangkuhan sebuah kekuatan politik besar di Aceh beberapa waktu lalu – juga berakhir tragis dan menyedihkan – kalah tanpa suara.
Saat ini, kita juga tengah dihadapkan pada keangkuhan besar yang dipamerkan negara tetangga, Myanmar – yang kabarnya telah melakukan penindasan sedemikian sadis terhadap etnis Rohingya. Dari informasi yang beredar cepat, terlihat keangkuhan dahsyat yang semestinya dikutuk oleh seluruh penduduk bumi – yang saat ini terlihat diam membisu. Keangkuhan politik ala barbarian yang dipertontonkan Myanmar telah berbuah petaka bagi minoritas muslim.
Keangkuhan adalah petaka. Tidak ada keangkuhan yang abadi. Tersebab itu, sudah saatnya keangkuhan disembelih, dicang-cang dan ditek-tek. Mari membangun peradaban tanpa keangkuhan. Selamat Hari Raya Qurban 1438 H sembari memanjat sebaris doa untuk Rohingya yang saat ini tertindas akibat keangkuhan rezim penjagal.