Pasca Pilkada 2017 yang berlangsung pada Rabu (15/2/2017), ramai warga luar menyebut Bireuen sebagai Kabupaten 100.000 (rupiah). Kabar bahwa pemilihan kepala daerah kali ini, telah berlangsung praktik bagi-bagi uang tunai kepada pemilik suara, begitu santer dibicarakan, baik di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari. Terkait isu ini, ada yang pro ada pula yang kontra.
Kabar tentang tejadinya money politik, bukan hanya dibicarakan oleh warga, tapi juga menjadi perbincangan politik peserta pilkada. Sehingga pada Jumat (17/2/2017) selain saksi dari calon nomor urut 4 dan 6, semuanya tidak menandatangani berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan. Penolakan ini menyeluruh di 17 kecamatan di Bireuen.
Dikutip dari Wikipedia, politik uang (money politic) atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, pasal 73 ayat (1) menyebutkan: Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.
Ayat(2) : Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat (3) : Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat(4) :Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak
lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik
secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
(5) Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menggugurkan sanksi pidana.”
***
Berbicara money politik dalam pilkada, bukanlah barang baru. Dalam tiap perhelatan pesta demokrasi, isu ini selalu berkibar. Akan tetapi, sepengetahuan penulis belum ada kandidat yang digugurkan dari pencalonan. Konon lagi dibatalkan sebagai pemenang.
Dilihat dari kajian ilmu politik, maraknya money politik menandakan bahwa demokrasi telah berubah menjadi arena pasar bebas. Pertarungan menuju kursi pemimpin tidak lagi diukur dari gagasan, integritas dan kapasitas. Tetapi berubah menjadi seberapa banyak uang yang akan diberikan oleh kandidat untuk membeli suara rakyat–rakyat yang curang, picik, tidak peduli halal dan haram– Semakin besar uang pengganti, maka semakin berpeluang untuk memenangi pertarungan.
***
Pada akhirnya, kita tetap tidak sepakat dengan money politik. Walau kadar tidak sepakatnya berbeda-beda. Ada yang tidak sepakat karena ia belum menjadi bagian dari pelaku. Ada pula yang tidak sepakat karena integritas yang dimilikinya.
Kembali ke Bireuen, terkait dengan isu politik uang/politik perut yang kian santer dibicarakan, sehingga mengubah lakap Bireuen menjadi Kabupaten 100 ribu, bila memang benar terjadi, tentu harus dibuktikan.
Membiarkan isu ini berkembang liar, tentu akan merugikan Bireuen dan kandidat yang dituduh sebagai pelaku. Juga akan memperlebar jurang rakyat antara yang pro maupun yang kontra. Untuk itu, bagi yang merasa dirugikan, jalan satu-satunya adalah menempuh jalur hukum. Walau penuh jalan terjal, peluang untuk menggugat ke jalur hukum terbuka lebar.
Mari berdialektika di ranah hukum. Sepakat?[]