Saya adalah guru bahasa Inggris. Dalam pembelajaran lisan, murid diharapkan aktif berbicara. Kelancarannya ditentukan oleh penguasaan banyak kosakata. Namun sepertinya murid saya memiliki kendala dalam hal tersebut.
Mereka belum lancar berbicara dalam bahasa Inggris dan motivasi belajar perlu ditingkatkan. Murid butuh beragam aktivitas belajar untuk menghindari kebosanan yang menurunkan semangatnya. Kebosanan mengerjakan latihan yang itu-itu saja.
Selama ini, pembelajaran lebih banyak memakai aktivitas buku paket. Murid sudah “kenyang” dengan aktivitas tersebut. Saya coba alihkan ke kegiatan yang menggunakan handphone. Asumsi saya, mereka adalah generasi Z yang akrab dengan teknologi.
Saya menggunakan aplikasi game belajar. Anehnya, tetap saja kegiatan ini belum berdampak banyak. Saya kira mereka akan menyukainya. Setelah saya gali dari mereka, ternyata penyebab belum efektifnya game tersebut adalah faktor handphone sebagai alat utama yang digunakan.
Terbatasnya paket internet, kapasitas memori handphone yang kecil dan lokasi dengan sinyal yang kurang baik membuat pengaplikasian game ini kurang maksimal. Saya tersadar dengan kealpaan empati yang saya lakukan.
Memang, sebagian besar murid saya berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke bawah. Setelah mengikuti Wardah Inspiring Teacher (WIT) 2021, saya mendapat pencerahan mengenai konsep merdeka belajar.
Merdeka belajar adalah belajar yang diatur sendiri oleh murid. Murid yang menentukan tujuan, cara dan penilaian belajarnya. Dari sudut pandang pengajar, merdeka belajar berarti belajar yang melibatkan murid dalam penentuan tujuan, memberi pilihan cara dan melakukan refleksi terhadap proses dari hasil belajar.
Dalam kaitannya dengan pilihan cara belajar, selama ini saya memutuskan sendiri cara pengajaran saya, tanpa melibatkan murid. Ternyata itu salah besar. Artinya murid-murid saya belum merdeka dengan cara belajarnya. Padahal Syahniar (2018) menemukan bahwa murid yang merdeka belajar mencapai prestasi yang lebih baik.
Kemudian dalam temuan riset yang dilakukan SuKowati, Sartono dan Pradewi tahun 2020, disimpulkan juga bahwa kemerdekaan belajar meningkatkan kemandirian sejumlah murid Sekolah Dasar di Yogyakarta.
Maka demi hak kemerdekaan belajar yang seharusnya didapatkan oleh murid-murid saya, akhirnya sebelum memutuskan media yang akan saya dalami dalam pelatihan WIT, saya tawarkan dulu beberapa pilihan jenis media kepada murid, diantaranya media peraga, aplikasi, video, modul, dan papan permainan.
Dalam pelatihan nanti, saya akan mengikuti sesuai pilihan mayoritas murid. Jatuhlah pilihan mereka pada media papan permainan/board game. Hasil yang mencengangkan. Asumsi awal saya, mereka adalah generasi Z, akan banyak memilih media berbasis teknologi, seperti aplikasi dan video, tetapi ternyata tidak.
Mereka mulai bosan dengan handphone selama pandemi. Mereka merindukan aktivitas kelas dengan interaksi tatap muka dengan teman tanpa perantara perangkat teknologi tersebut. Mulailah saya merancang media berdasarkan panduan pelatih.
Dengan metode ATM -amati, tiru dan modifikasi- saya modifikasilah sebuah board game. Bentuk dan aturan mainnya mirip dengan permainan Ludo. Tersedia dadu untuk menentukan jumlah langkah. Bedanya, setiap kotak ada tantangan yang perlu ditaklukkan untuk melaju pada kotak berikutnya.
Setelah melakukan uji coba, saya mengganti aturan permainan. Awalnya, pemenang adalah yang duluan sampai di garis finish. Kemudian saya ubah menjadi yang paling banyak berbicara, dihitung dari jumlah kosakata yang diucapkan.
Saya juga menambahkan warna supaya lebih menarik dan gambar yang membantu mendeskripsikan pertanyaan. Ini membuat murid terbantu memahami pertanyaan dan membangun imajinasinya sehingga lebih banyak kata yang terucap.
Ternyata apa yang saya lakukan memberi hasil yang tidak saya duga sama sekali. Media yang awalnya saya kira media jadul (jaman dulu) dan sederhana, mampu menarik minat dan motivasi murid dalam berbicara. Mereka bersemangat menambah jumlah kosakata supaya bisa menyelesaikan permainan dengan hasil maksimal.
Mereka menunggu – nunggu saat belajar bersama supaya bisa bermain. Ternyata kesedihan selama pandemi yang membuat mereka terpaksa belajar dari rumah, terpisah dari teman, handphone dengan pendukung perangkat yang belum memadai, bisa terobati dengan media ini.
Mereka terlihat menikmati saat bermain bersama. Saya mendapatkan pembelajaran bahwa saat pembelajaran tatap muka terbatas dilaksanakan, sebaiknya guru membawa suasana berbeda dengan pembelajaran selama daring, menyesuaikan kebutuhan dan profil murid, bermakna dan menyenangkan. (*)(Fatria Ulfah, Guru SMAS INS Kayutanam)