Di mana persaudaraan itu ketika kecurangan demi kecurangan terus terdengar dari berbagai cabang olahraga? Di mana kesalingpahaman itu ketika bendera sampai tercetak terbalik di buku panduan resmi? Dan di mana kerja sama itu ketika bentrokan fisik lagi-lagi terjadi di lapangan sepak bola?
Padahal, persaudaraan, kesalingpahaman, dan kerja sama itulah nilai-nilai dasar yang ditekankan Luang Sukhum Nayaoradit, penggagas Pekan Olahraga Semenanjung Asia Tenggara (SEAP) pada 1958 yang lantas jadi SEA Games. Tapi, hingga lebih dari sepekan SEA Games 2017 berjalan, yang tak henti kita saksikan adalah penodaan terhadap konsep awal ajang olahraga dua tahunan yang kini memasuki edisi ke-29 tersebut.
Ini belum bicara soal prestasi. Sampai kemarin, kita belum mendengar terjadi pemecahan rekor Asia. Padahal, bukankah seharusnya SEA Games hanyalah batu loncatan menuju Asian Games (kejuaraan Asia) dan Olimpiade (kejuaraan dunia)?
Dan raihan yang berjarak dari level Asia –apalagi dunia– itu tidak hanya terjadi sekarang. Karena itu, tak mengherankan kalau sejak Asian Games 2002 di Busan hingga Asian Games 2014 di Incheon, tak ada negara Asia Tenggara yang bisa menembus lima besar perolehan medali di pesta olahraga se-Asia tersebut.
Thailand yang terakhir bisa melakukannya pada 1998. Itu pun diraih ketika mereka menjadi tuan rumah. Karena itu, tidakkah sebaiknya perlu ada redefinisi ulang terhadap SEA Games? Misalnya soal pembatasan usia di semua cabang olahraga seperti yang telah diterapkan sepak bola sejak 2001. Atau penentuan juara umum dilakukan lewat penghitungan poin. Dengan pemecahan rekor turut menjadi variabel yang dihitung.
Atau bahkan lebih ekstrem dari itu: masihkah SEA Games yang tak murah itu perlu dihelat? Tidakkah lebih baik tiap cabang olahraga mengorganisasi diri dan mengadakan kompetisi masing-masing? Supaya lebih fokus dan, tentu saja, irit. (*)
LOGIN untuk mengomentari.