in

Minimnya Apresiasi Pemerintah terhadap Musisi Minang

Perkuat UU Hak Cipta, Pertegas Aturan Aplikasi

Asosiasi Rekaman Indonesia (Asirindo) Sumbar mencatat antara tahun 2004-2005 atau 1,5 tahun, sebanyak 240 album rekaman atau 2.040 lagi dilempar ke pasaran oleh 15 produser anggota asosiasi ini. Artinya, dalam 3 bulan itu diperdengarkan ke masyarakat rata-rata 340 buah lagu. Ini belum termasuk album yang diproduksi oleh produser non-asosiasi ini. Namun fenomena perubahan selera penikmat musik yang lebih menyukai ”kebaruan” dan tampil beda dalam penyuguhan musik inilah yang menjadi masalah besar dalam industri rekaman saat ini.

”Seandainya masyarakat betul-betul gandrung dengan lagu lama, maka kondisi ini tentu menguntungkan dunia rekaman. Produser tinggal memilih lagu-lagu lama yang sudah dikenal masyarakat, kemudian merekamnya dan melempar ke pasaran. Tetapi kenyataanya tidak demikian. Kehebatan lagu-lagu legendaris tidak menjamin lakunya album rekaman,” kata Ketua Asirindo Sumbar yang juga pendiri Pitunang Record, Agus Taher, kepada Padang Ekspres, Jumat lalu.

Menurutnya, di sinilah unik dan rumitnya dunia rekaman. Serba tak pasti, ukurannya pun tak jelas. Dan itu pula sebabnya dewan juri Festival Lagu Minang Populer Tingkat Nasional II tahun 1981, mengatakan sekaliber Asbon, Nuskan Syarif, Rinto Harahap dan Ibu Sud bisa juga ”salah takok”, sepertinya tak memahami selera pasar, atau menggunakan ukuran yang tak tepat dan jauh berbeda dengan selera kebutuhan masyarakat dalam menilai sebuah lagu.
”Barangkali karena ketidakpastian bisnis musik inilah yang menyebabkan hampir pengusaha kelas kakap, tidak mau terjun ke bisnis unik ini, terutama lagu-lagu Minang,” jelasnya.

Di sisi lain, perlindungan hak cipta dan perhatian pemerintah terhadap industri ini masih rendah, mulai dari pembajakan hingga ketidakjelasan aturan main dalam Youtube. ”Akibat pembajakan ini saja, negara dirugikan Rp 16 triliun per tahun,” terang doktor Pertanian ini.

Bagi masyarakat Sumbar, dampak pembajakan ini lebih mengkhawatirkan dibanding Jakarta. Mati suri industri rekaman di Sumbar, tidak hanya menyangkut aspek bisnis dan sosial ekonomi semata. Akan tetapi juga menyentuh aspek yang lebih strategis. Yaitu, menurun dan stagnannya upaya-upaya yang terkait pelestarian dan ketahanan seni budaya lokal.

Agus Taher menyebut dari 58 industri rekaman yang terdaftar di Asrindo, hanya 3 di antaranya bisa eksis hingga saat ini. Bahkan yang benar-benar bisa dikatakan eksis hanya satu. ”Banyak hal yang mengakibatkan industri rekaman di Sumbar ini tumbang. Selain karena, tidak siap dengan era digital yang terjadi saat ini, pembajakan, namun juga disebabkan sistem distribusi kaset yang tidak fair. Sehingga menyebabkan ketimpangan dalam penjualan kaset sesama industri rekaman,” terang penulis buku Perjalanan Panjang Musik Minang Modern ini.

Terkait era Youtube yang berkembang pesat saat ini, banyak di antara produser dan pemilik studio rekaman tidak mampu memanfaatkannya. Permasalahannya terletak, sebagian besar produser tidak mengetahui seluk beluk dari penggunaan Youtube itu sendiri.

”Tapi ada beberapa produser yang bisa mencari keuntungan dengan hadirnya Youtube ini. Namun mereka tidak mau memberikan ilmunya kepada sesama produser. Di samping itu juga, pembagian fee dari Youtube ini dari produser ke pencipta lagu maupun penyanyi tidak terdistribusi dengan jelas,” pungkasnya.

Di sisi lain, implementasi UU Perlindungan Hak Cipta tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal banyak masyarakat yang men-share lagu-lagu karya musisi Minang tanpa seizinnya terlebih dahulu. ”Baik perhatian maupun penghargaan karya-karya musisi oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah masih rendah. Pemerintah pusat juga tidak tegas dengan segala macam aktivitas yang merugikan musisi lewat aplikasi Youtube. Kalau di luar negeri, setiap detik lagu didengar itu, otomatis ada fee-nya. Sedangkan di Indonesia, jika di videonya ada iklan, baru bisa dihitung,” ujar Agus Taher.

Dari segi eksistensi lagu-lagu Minang saat ini, Agus Taher melihat prospeknya masih berkembang pesat. Bahkan, beberapa artis Minang bisa dibayar puluhan juta rupiah untuk sekali manggung. Namun, dari sekitar 100 artis Minang, hanya 20 orang yang benar-benar laku di pasaran di era sekarang.

”Umur artis dalam popularitasnya sekitar 5 tahun. Oleh sebab itu, harus ada regenerasi dari masa ke masa. Hanya saja, kualitas lagu maupun penyanyi Minang saat ini tidak seperti dahulu. Karena, sebagian produser mencari penyanyi kurang selektif. Begitu juga soal lirik lagu maupun syairnya, kebanyakan belum dikemas dengan baik,” ujarnya.

Musisi Minang lainnya, Sexri Budiman berpandangan sama dengan Agus Taher terkait dengan kondisi industri rekaman maupun kualitas dari lagu-lagu Minang saat ini. Menurutnya, hancurnya industri rekaman, akibat adanya monopoli dalam penjualan kaset yang tertuju pada satu studio rekaman saja. Sehingga terjadi ketidakadilan dalam penjualan kaset. ”Ini realitas yang mesti kita hadapi. Di tengah lemahnya perhatian pemerintah terhadap industri musik Minang, persaingan tidak sehat juga terjadi dalam pendistribusian produk-produk lagu Minang,” jelasnya.

Begitu juga menyangkut kondisi terkini lagu-lagu Minang yang beredar di masyarakat. Menurutnya, baik judul lagu, syair irama tidak menunjukkan identitas suatu musik Minang yang berwibawa. Bahkan sebagian besar lirik dan syair lagu yang disampaikan terkesan vulgar.

”Pertama, menerapkan musik melayu, itu jelas telah melenceng. Kita ini orang Minang, masak lagu-lagunya melayu. Kedua, tidak ada kesesuain antara ereang jo gendeang di antara syair dan lirik lagu. Artinya, ciri khas lagu Minang yang terkenal dengan bahasa bersayap ini tidak terlihat lagi. Bahkan pemakaian judul lagu terkesan vulgar,” jelasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

FWD Life Ubah Cara Pandang Berasuransi

Ajang Salur Hobi di Indonesia CBR Race Day