Sekitar seminggu bekerja, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mendapat banyak temuan. Salah satunya dugaan pengaruh pihak tertentu dalam pengaturan waktu pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10) lalu. Untuk mendalaminya, hari ini (11/10) tim bakal memanggil PT LIB dan PSSI.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, pihaknya akan mempertanyakan waktu pertandingan derbi Jawa Timur tersebut. Terlebih, aparat kepolisian sudah meminta agar waktu pertandingan dimajukan dari malam menjadi sore.
“Besar kemungkinan di situ ada pihak tertentu yang mempunyai kekuatan untuk mengatur tetap malam hari,” katanya di kantor Kemenko Polhukam kemarin (10/10) petang.
Rhenald tidak memerinci pihak tertentu yang dimaksud. “Kami belum bisa sebutkan walaupun Saudara-Saudara sudah bisa menciumnya,” imbuh guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Dia mempertanyakan kepolisian yang kemudian “kalah” sehingga pertandingan tetap berlangsung malam. Apalagi jika permintaan memajukan waktu pertandingan itu dilandasi dengan analisis faktor keamanan yang berpengaruh terhadap keselamatan banyak pihak.
Selain itu, TGIPF sudah mendapat keterangan dari para atlet sepak bola yang tidak nyaman bertanding malam. “PSSI akan kami panggil besok (hari ini, red) dan sejumlah pihak yang terkait dengan ini semua. Kami akan klarifikasi,” jelas Rhenald.
Sementara itu, kemarin TGIPF memanggil Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Salah satu yang didalami berkenaan dengan tugas pengawasan kepolisian oleh Kompolnas.
Lebih spesifik, TGIPF menggali langkah-langkah aparat kepolisian yang dinilai berlebihan saat bertugas mengamankan pertandingan tersebut. Misalnya, penggunaan gas air mata. Rhenald tegas menyatakan, jika merujuk pada regulasi FIFA, hal itu semestinya tidak dilakukan. “Dan salah satu kecurigaan kami adalah (gas air mata) kedaluwarsa,” jelas dia.
Apabila terbukti gas air mata yang digunakan kedaluwarsa, kata Rhenald, itu merupakan pelanggaran. “Tentu itu adalah penyimpangan,” tegasnya. Untuk itu, perlu dilakukan sejumlah langkah seperti memeriksa gas air mata yang digunakan malam itu di laboratorium.
Rhenald menyatakan, TGIPF memang sudah menemui beberapa korban dan melihat langsung efek gas air mata tersebut. “Jadi, memang ada korban yang hari itu pulang tidak merasakan apa-apa, tapi besoknya dimulai dengan hitam,” sambungnya.
Terpisah, anggota TGIPF Akmal Marhali menyampaikan bahwa tim gabungan yang dipimpin Menko polhukam itu turut bekerja sama dengan Tim Pencari Fakta Aremania. “Teman-teman Aremania ramai-ramai menyampaikan kesaksian mereka secara bergantian dari berbagai tribun,” ungkapnya.
Akmal juga menemui beberapa korban yang terdampak tragedi di Kanjuruhan. “Saat bertemu dengan para saksi dan korban, berbagai alat bukti penting kami dapatkan. Ini akan memperkuat dan mempertajam analisis kami sehingga peristiwa Kanjuruhan ini dapat kami ungkap secara menyeluruh dan independen,” terang dia.
Pada bagian lain, pemerintah terus memastikan bahwa santunan dan penanganan korban Kanjuruhan terus berjalan. Akhir pekan lalu Menko PMK Muhadjir Effendy mengunjungi rumah keluarga korban di Dusun Krajan, Desa Kota Anyar, Kabupaten Probolinggo, dan Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Sementara itu, Mensos Tri Rismaharini datang ke Tulungagung dan Blitar.
Muhadjir menegaskan, semua biaya perawatan korban dan pengantaran jenazah ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Karena itu, dia mewanti-wanti tidak ada oknum yang meminta dana kepada korban maupun keluarga korban terkait dengan hal tersebut.
“Jadi, sekali lagi, kalau masih ada ketika mengangkut jenazah itu pihak ambulans mengenakan biaya, mohon biayanya dikembalikan kepada ahli waris,” tegasnya.
Jika memang ada biaya, dia meminta agar ditagihkan ke pemerintah daerah setempat. ”Atau kepada Kemenko PMK, nanti kami ganti,” sambungnya.
Terhadap korban luka, Muhadjir meminta agar segera diobati. Korban tidak perlu khawatir soal biaya. “Seluruh pengobatan gratis. Termasuk untuk yang masih takut berobat, takut bayar, datang segera ke rumah sakit sebelum cederanya berkepanjangan,” ujarnya.
Polisi Sujud Massal, Minta Maaf atas Tragedi Kanjuruhan
DI halaman Mapolresta Malang, ratusan polisi itu melakukan sujud massal. Dipimpin langsung oleh Kapolresta Kombespol Budi Hermanto, itu wujud permintaan maaf mereka kepada masyarakat, khususnya Aremania (sebutan suporter Arema FC), atas kesalahan yang berujung terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menelan korban ratusan jiwa.
Budi mengatakan, yang dilakukannya bersama jajaran merupakan sebuah respons atas apa yang terjadi saat ini. Secara spontan karena memang sudah seharusnya kepolisian meminta maaf atas tragedi Kanjuruhan. Tanpa adanya niat apa pun di baliknya. Hanya murni ungkapan maaf yang tulus.
Selain sujud massal sebagai bentuk permintaan maaf, pria yang akrab disapa Buher itu menambahkan, Polresta Malang memberikan dukungan dan bantuan kepada keluarga korban. Salah satunya kepada Muhammad Alfian asal Kelurahan Bareng, Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Anak pasangan M. Yulianton-Devi Ratna Sari tersebut selamat dalam tragedi yang terjadi pada Sabtu (1/10) jelang tengah malam sampai Minggu (2/10) dini hari lalu itu. Tapi, kedua orang tuanya meninggal.
Buher mengaku sudah menemui langsung bocah 11 tahun yang biasa disapa Alfi tersebut. Dia menegaskan bakal mengangkat Alfi sebagai anak asuhnya. Seluruh biaya pendidikan dan hidup akan ditanggung olehnya. “Kami juga akan membantu dan mendampingi sang anak untuk memulihkan psikisnya,” ujar dia.
Sementara itu, Dadang Hoolopes, salah seorang Aremania di pintu 10, menyatakan, permintaan maaf memang diterima. “Tapi, kami akan tetap menuntut keadilan dan kebenaran,” tegasnya.
Menurut Dadang, tragedi Kanjuruhan tidak akan selesai dengan hanya meminta maaf. Rasa duka Aremania pun tidak akan hilang dengan hanya memaafkan. “Tapi, ini masalah keadilan dan kebenaran bagi korban,” ucapnya.
Sementara itu, kemarin siang tim pendampingan bantuan hukum Aremania angkat bicara soal hasil somasi yang sudah dilayangkan. Koordinator Advokasi Aremania Menggugat Djoko Tritjahjana menyatakan mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo dengan membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF).
“Kami juga mengapresiasi somasi kami sudah ditanggapi dengan ditetapkannya enam tersangka,” terangnya.
Namun, Djoko meminta penetapan enam tersangka tersebut tidak membuat investigasi tragedi Kanjuruhan berhenti. Dia berharap penetapan tersangka itu jadi titik awal melakukan pengusutan secara tuntas dengan asas hukum yang adil.
“Kami juga berharap tidak ada perlakuan yang sifatnya intimidasi hingga kriminalisasi terhadap korban ataupun saksi,” katanya.
Dukungan dan Bantuan Keluarga Korban
Sementara itu, di halaman Mapolresta Malang, ratusan polisi itu melakukan sujud massal. Dipimpin langsung oleh Kapolresta Kombespol Budi Hermanto, itu wujud permintaan maaf mereka kepada masyarakat, khususnya Aremania (sebutan suporter Arema FC), atas kesalahan yang berujung terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menelan korban ratusan jiwa.
Budi mengatakan, yang dilakukannya bersama jajaran merupakan sebuah respons atas apa yang terjadi saat ini. Secara spontan karena memang sudah seharusnya kepolisian meminta maaf atas tragedi Kanjuruhan. Tanpa adanya niat apa pun di baliknya. Hanya murni ungkapan maaf yang tulus.
Selain sujud massal sebagai bentuk permintaan maaf, pria yang akrab disapa Buher itu menambahkan, Polresta Malang memberikan dukungan dan bantuan kepada keluarga korban.
Salah satunya kepada Muhammad Alfian asal Kelurahan Bareng, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Anak pasangan M. Yulianton-Devi Ratna Sari tersebut selamat dalam tragedi yang terjadi pada Sabtu (1/10) jelang tengah malam sampai Minggu (2/10) dini hari lalu itu. Tapi, kedua orang tuanya meninggal.
Buher mengaku sudah menemui langsung bocah 11 tahun yang biasa disapa Alfi tersebut. Dia menegaskan bakal mengangkat Alfi sebagai anak asuhnya. Seluruh biaya pendidikan dan hidup akan ditanggung olehnya. “Kami juga akan membantu dan mendampingi sang anak untuk memulihkan psikisnya,” ujar dia.
Sementara itu, Dadang Hoolopes, salah seorang Aremania di pintu 10, menyatakan, permintaan maaf memang diterima. “Tapi, kami akan tetap menuntut keadilan dan kebenaran,” tegasnya.
Menurut Dadang, tragedi Kanjuruhan tidak akan selesai dengan hanya meminta maaf. Rasa duka Aremania pun tidak akan hilang dengan hanya memaafkan. “Tapi, ini masalah keadilan dan kebenaran bagi korban,” ucapnya.
Sementara itu, kemarin siang tim pendampingan bantuan hukum Aremania angkat bicara soal hasil somasi yang sudah dilayangkan. Koordinator Advokasi Aremania Menggugat Djoko Tritjahjana menyatakan mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo dengan membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF).
“Kami juga mengapresiasi somasi kami sudah ditanggapi dengan ditetapkannya enam tersangka,” terangnya.
Namun, Djoko meminta penetapan enam tersangka tersebut tidak membuat investigasi tragedi Kanjuruhan berhenti. Dia berharap penetapan tersangka itu jadi titik awal melakukan pengusutan secara tuntas dengan asas hukum yang adil.
“Kami juga berharap tidak ada perlakuan yang sifatnya intimidasi hingga kriminalisasi terhadap korban ataupun saksi,” katanya. (mia/syn/c19/fal/rid/c9/ttg/jpg)