Senyum semringah menghiasi wajah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (14/12). Begitu Ketua MK Arief Hidayat mengetuk palu, ekspresi lega tampak jelas di wajahnya.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu lalu menyalami dan melakukan tos kepalan tangan dengan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi yang duduk di sebelahnya.
Pemerintah memenangkan gugatan uji materi UU 11/2016 tentang Tax Amnesty yang diajukan sejumlah pihak. ”Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief dalam amar putusannya. Begitu pula dengan tiga permohonan lainnya. Seluruhnya ditolak dan tidak dapat diterima.
Sri Mulyani menuturkan, pihaknya menghargai putusan tersebut. Putusan itu memberikan kepastian bagi wajib pajak yang selama ini mengikuti tax amnesty sejak periode pertama sampai saat ini. ”Saya harap ini menghilangkan keraguan bagi wajib pajak yang akan mengikuti tax amnesty,” ujarnya usai sidang.
Ani—sapaan karibnya—menyatakan, pertimbangan hakim atas putusan itu sangat detail. Dia juga mengapresiasi penanganan gugatan yang tergolong cepat, sekitar tiga bulan.
Sehingga, segera ada kepastian hukum atas pemberlakuan UU tersebut. Selain itu, putusan tersebut juga memperkuat garansi pemerintah atas batasan UU Tax Amnesty.
”Bahwa UU Tax Amnesty hanya berhubungan dengan masalah kriminal dan administrasi perpajakan,” lanjutnya. UU tersebut tidak didesain untuk melindungi pihak yang hendak melakukan pidana. Seperti pencucian uang ataupun perdagangan narkoba dan manusia.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa rumusan yang ada dalam UU tersebut sudah jelas. Misalnya pasal 3 ayat 1 yang berbunyi, ”Setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak.” Rumusan itu menunjukkan bahwa UU Tax Amnesty berlaku bagi seluruh masyarakat, dalam hal ini wajib pajak.
”Rumusan itu tidak ditujukan hanya kepada mereka yang tidak patuh dalam memenuhi kewajiban pajaknya,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Bila wajib pajak menggunakan hak tersbeut, dia mendapat fasilitas pengampunan.
Begitu pula dengan tarif cara menghitung uang tebusan yang diatur dalam pasal 4 dan 5. Pemohon mendalilkan bahwa uang tebusan itu merupakan diskon khusus bagi penghindar pajak, sehingga timbul ketidakadilan bagi wajib pajak yang taat. Menurut majelis hakim, ketentuan uang tebusan sudah jelas.
Pada pasal 1 angka 7 sudah disebutkan bahwa uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Sehingga, tidak ada lagi pertanyaan mengenai hal tersebut. Pengenaan uang tebusan menurut majelis hakim tidak tepat jika diperbandingkan dnegan tarif pajak berdasarkan UU 28/2007.
”Sebab, pemberlakuan UU 11/2016 adalah kebijakan khusus yang dibuat untuk menjawab kebutuhan mendesak,” lanjut Palguna. Dengan demikian, ketentuan uang tebusan itu tidak bisa dikatakan diskriminatif.
Palguna menambahkan, komitmen untuk tidak menjadikan data pajak sebagai dasar penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 20 juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dia mengingatkan, konteks pasal tersebut adalah pengampunan pajak.
”Wajar bila mereka yang telah jujur mengungkapkan informasi hartanya, dilindungi dari kemungkinan informasi itu digunakan melawan dirinya,” tambahnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.