in

Mochamad Ashari

Tantangan jajaran Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ke depan jelas tidak ringan untuk bisa makin berkibar di tingkat internasional. ITS diminta bisa menembus rangking 500 dunia. Untuk itu, butuh loncatan besar karena saat ini ITS berada pada rangking sekitar 800.

Berbagai langkah dan target sudah ditetapkan untuk bisa menuju rangking 500 dunia tersebut. Semua jajaran, mulai dari dosen, maha­siswa, hingga staf pendukung di ITS harus sinergis dengan bekerja keras dan cerdas untuk mewujudkan kampusnya diakui dunia inter­nasional.

Untuk mengetahui apa saja yang akan dilakukan jajaran pimpinan ITS menembus rangking 500 dunia, wartawan Koran Jakarta, Selocahyo berkesempatan mewawancarai Rektor ITS, Mochamad Ashari, di Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.

Bisa diceritakan proses pemi­lihan rektor yang berdasarkan musyawarah?

Proses pemilihan kemarin, paling manis. Pemilihannya berdasarkan musyawarah mufakat, tidak ada kendala, lancar dan sangat kondusif. Tidak ada pertentangan antarkubu. Waktu itu calon ada 15 orang. Periode ini jumlah kandidat calon rektor terbanyak dibandingkan yang dulu. Sebanyak 15 orang melalui pilihan online oleh dosen, mahasiswa, dan staf. Selanjutnya lima diserahkan ke senat menjadi tiga, kemudian diserahkan ke Majelis Wali Amanat (MWA) menjadi satu.

Pengalaman sebagai Rektor Univeristas Telkom apa yang akan diterapkan di ITS?

Saya lima tahun menjadi rektor Telkom University di Bandung. Uni­veristas Telkom ini swasta murni meskipun punya BUMN karena berstatus anak perusahaan. Seka­rang status ITS adalah PTN-BH, yang diberi otonomi untuk me­ngembangkan akademik, keuang­an, dan hampir semua bidang yang ini sangat mirip dengan swasta.

Bedanya, kalau PTN-BH negara masih punya tanggung jawab de­ngan mengucurkan sebagian dana, sisanya harus dicari sendiri oleh ITS. Pengalaman mengelola per­guruan tinggi swasta ini yang akan sejalan dengan tugas baru saya.

Sebagai rektor baru, prioritas apa yang akan dilakukan?

Sekarang, semua program perancangan sudah jadi. Kami melaksanakan apa yang sudah dicanangkan rektor sebelumnya, termasuk kontrak dengan Men­ristekdikti. ITS ditarget jumlah publikasi 1.100, mahasiswa yang berwirausaha 1.400, dan seterus­nya. Pada 2019, kami akan running mulai program yang ada.

Bisa dijelaskan lebih jauh soal technopark?

Bukan seperti technopark yang sudah ada. Technopark yang akan dikembangkan ini adalah riset penelitian yang dilanjutkan sam­pai tahap komersial. Contohnya, Gesit itu mulai dari rancang ba­ngun motor, terus baterainya dari Undip jenis lithium ion, kemudian digabung dengan anak desain yang membuat body-nya. Itu semua dari penelitian bisa jadi komersial, kira-kira seperti itu.

Nanti, technopark ITS ada empat kluster, otomotif, maritim, kreatif-desain, dan ict robotik. Nanti semua bidang akan punya peran. Informatika masuk, desain ma­suk, semua. Ini mewadahi semua. Sebanyak 76 program studi yang ada di ITS diwadahi. Itu kira-kira pembeda untuk lima tahun ke depan. Ada kata inovasi di renstra 2020–2025. Setelah itu kami masuk ke entrepreneur.

Apakah ada rencana penam­bahan kluster technopark?

Kalau memungkinkan, akan ditambah. ITS belum kedengaran kontribusinya dalam mining (pertambangan), padahal di wilayah kami rumahnya, di Bojonegoro (minyak dan gas), sumber panas bumi di berbagai daerah di Jatim. Program studinya sudah ada, geomatika, geofisika. Perlu kami genjot agar lebih banyak kontribusinya bagi masyarakat.

Rencana pengembangan wira­usaha?

Sudah banyak seperti yang di­lakukan PTN-BH yang lain, mulai dari retail. Koperasi kami sudah punya minimart. Hanya yang be­lum banyak digarap adalah bisnis digital. Seperti pembayaran online, masih jarang. Coba kalau teman-teman mahasiswa membayarnya menggunakan semacam OVO, tapi OVO-nya ITS.

Apakah ITS akan mengarah­kan teknologi maju yang juga berkembang dari sisi bisnis?

Tujuan technopark ya seperti itu. Banyak anak-anak kami yang sedang melakukan start up, tetapi belum diwadahi. Inovasi mereka tersebar di perumahan-perumahan sekitar kampus. Anak-anak kami ini berkolaborasi, tidak cuma dengan ITS, ada yang dengan psikologi Unair, keuangan, informatika, bah­kan teknik kimia bikin start up dan jalan.

Sudah di-launching dan malah diambil oleh Kemenristekdikti. Itu yang akan diwadahi dan di­arahkan. Beberapa hasil peneli­tian diseleksi mana yang punya potensi ke hilir. Akan ditaruh di technopark. Akan ada co-working space. Lalu, dipanggil coach untuk bagaimana mengelola ini, perpa­jakan, keuangan, marketing-nya. Nanti kami datangkan untuk anak-anak di sana.

Jadi setelah lulus dari tech­nopack sudah jadi orang besar. Contohnya banyak, Traveloka dari anak-anak kampus. Gojek waktu launching 10 tahun yang lalu kita ti­dak menyangka, sekarang meledak minta ampun, mengurangi peng­angguran luar biasa. Ada banyak start up yang sudah jalan. Itu nanti yang akan difasilitasi dalam dimen­si yang berbeda.

Manfaat yang diharapkan?

Kalau anak-anak lulus lalu mengembangkan, ada yang cari karyawan lalu menarik 16 teman­nya. Kalau ada 100 alumni seperti itu habis sudah lulusan ITS. Itu membawa dampak luar biasa ke ekonomi masyarakat. Tujuannya ke sana. Mohon doa restunya.

Sinergi inovasi dengan peme­rintah?

ITS dilibatkan oleh Kemen­terian Perhubungan (Kemenhub) untuk ikut dalam rancang bangun desain kapal pelayaran rakyat (Pelra). Kemenhub setiap tahun menyerahkan kapal-kapal Pelra yang kapasitasnya sampai 24 orang dengan muatan 5–10 ton barang, ke kabupaten-kabupaten yang punya perairan. Sudah ada sekitar 200 kapal yang diserahkan. Dibuat di Banyuwangi dan di situ salah satu perusahaan isinya anak-anak alumni ITS.

Dari situ, ITS punya produk kapal yang cukup menarik karena pembuatan kapal itu susah bahan baku. Kayunya susah dicari, karena banyak yang ditebang. Maka ITS sejak tahun 2010 membuat kapal dari bambu, tapi jangan dikira seperti bambu ditekuk-tekuk, tapi dilaminasi dan dibentuk menjadi balok-balok dulu baru dijadikan perahu. Nah, itu kenapa Kemenhub minta dibuatkan kapal dari bambu.

Kalau bambu kan setiap desa ada. Bambu bisa dibudidayakan tanpa perlu menunggu berpuluh tahun untuk dimanfaatkan seperti kayu. Kemenhub melibatkan ITS di dalam membuat prototipe, mende­sain, kemudian manajemen.

Bagaimana Anda melihat kebutuhan perguruan tinggi saat ini?

Setiap universitas memiliki po­tensi keunggulan masing-masing, seperti ITS dengan empat kluster tadi. Kemudian, kami sama-sama menyusun kebutuhan dana diaju­kan ke negara, supaya manfaatnya dapat saling melengkapi, karena negara juga dananya terbatas.

Bagaimana keberadaan laboratorium ITS dalam mendukung riset?

Sekarang sebagian besar labo­ratoriumnya dibangun tahun 1980. Upgrading yang dilakukan tiap tahun masih kecil. Kami ingin ini dirombak, tapi dengan dana sendiri susah. Maka, kami coba koordinasi dengan Bappenas, agar laborato­tium-laboratorium yang jadi ujung tombak riset bisa lebih baik. Ini bu­tuh waktu karena dananya terbatas.

Bagaimana dengan peringkat ITS saat ini?

Salah satu kontrak dengan kementerian dan salah satu key performance indicator yang ditetapkan MWA adalah reputasi internasional. Dari 11 PTN-BH yang ada, diminta Menristekdikti untuk tembus ke rangking 500 dunia, versi QS. Kami di posisi sekitar 800 sekarang. Yang sudah masuk 500 adalah UI, ITB, dan UGM. ITS masih belum. Dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia, negerinya kira-kira 200, posisi kami sudah di urutan 6. Insya Allah, ITS akan nyelip masuk lima besar.

Tantangan yang dihadapi?

Setiap lembaga pemeringkat punya kriteria berbeda-beda. Kalau kami berjalan dengan normal dan melakukan yang terbaik, lembaga apa saja akan memberikan poin, tanpa perlu dipoles-poles. Kalau tantangan yang paling besar dari dana. Kami akan bekerja dengan mengoptimalkan yang ada. Kalau ada dana spesial yang dialokasi­kan, itu akan mampu mendongkrak drastis dari peringkat yang seka­rang.

Ingin membawa mahasiswa ITS seperti apa?

Bisnis utama ITS adalah pendi­dikan, pengembangan SDM. Tugas kami menyiapkan SDM untuk me­ningkatkan skill, kompetensi, wa­wasan, sehingga memberi manfaat. Masuk ke industri oke, menjabat di pemerintahan oke. Nah, pengem­bangan di bidang pendidikan zaman sekarang, dengan zaman sebelumnya sama sekali berbeda.

Sekarang di dunia industri ter­jadi perubahan besar, teknologi, artificial intelligence (kecerdasan buatan) banyak digunakan. Susunan SDM di industri akan berubah, padahal perguruan tinggi itu adalah penyuplai SDM. Kuncinya, platform pendidikan juga harus diubah. Kalau platform berubah maka kurikulumnya juga harus diubah, sistem pembelajaran diubah, karena anak-anak sekarang disuruh belajar dalam kelas me­ngantuk saja isinya.

Apa yang diharapkan dari pemerintah agar inovasi-inovasi yang dihasilkan, bisa dilirik pihak swasta?

Pemerintah itu adalah regulator dan fasilitator. Kami di perguruan tinggi tentu akan sangat diun­tungkan, sangat senang, kalau ada program pemerintah yang spesial. Contohnya untuk meraih world class university atau untuk mem­buat silicon valley di perguruan tinggi. Kalau ada yang spesial se­perti itu, artinya bukan hanya dana, tapi juga networking.

Dengan memaksa swasta, kamu harus ikut kerja sama. Harus ada hasil, dan hasilnya kamu pakai (produksi dan pasarkan). Trans­fer teknologi dipakai yang paling sederhana dulu, bisa dilakukan. Program-program seperti itu sifat­nya hanya simulasi. Kalau sudah jalan, pasti dengan senang hati mereka akan makin banyak yang bergabung. Itu yang diharapkan, ada program khusus untuk sebuah tujuan khusus juga.

Kerja sama internasional?

Selama ini untuk hubungan internasional sudah luar biasa. Jaringan dengan luar negeri ba­nyak, sering mengirim mahasiswa ke luar negeri, mahasiswa yang kuliah di ITS dari luar juga banyak. Tetapi yang spesial adalah kelas internasional, kuliahnya diberikan dengan bahasa pengantar Inggris, kemudian ada network dengan luar negeri. Kalau mahasiswa ingin sebagian kuliahnya di luar, apa­kah satu atau berapa semester di ITS sudah berjalan. Tapi baru dua program studi. Kelas-kelas inter­nasional ini akan diperkuat, diper­banyak.

Bagaimana Anda melihat kesiapan Indonesia menyambut revolusi industri 4.0?

Pemerintah melalui kementeri­an perindustrian, Kemeristekdikti, Kementerian Pariwisata, dan lain-lain telah menyusun roadmap masing-masing dan fokus program dalam menghadapi IR 4.0. Infra­struktur digital, ekosistem digital, infrastruktur fisik, regulasi dan kesiapan SDM serta masyarakat se­dang disiapkan dan digarap.

Bagaimana Anda menilai perkembangan energi baru terbarukan (EBT)?

EBT harus terus dipacu. Target pemerintah tahun 2025, bauran EBT mencapai 23 persen. Namun realisasi hingga 2017, bauran EBT baru mencapai 12 persen yaitu geothermal 5 persen, hidro 7 per­sen, sedangkan tenaga angin dan matahari masih sangat kecil kurang dari 0,1 persen.

Adanya program PBB tentang Sustainable Development Goal (SDG) dan teknologi smart grid maka EBT merupakan suatu ke­niscayaan untuk dikembangkan di Indonesia. Untuk itu, kami dituntut bekerja lebih keras lagi mengejar target EBT agar bisa dicapai dalam rentang yang telah ditentukan. N-3

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dua Kursi PBB Untuk DPRD Sumsel Tergerus

Meneliti Protein Madu sebagai Bahan Obat Baru