Terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, Museum Perumusan Naskah Proklamasi didirikan oleh arsitek Belanda, J.F.L Blankenberk sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa (Art Deco). Pada masa Pendudukan Jepang, gedung yang memiliki luas tanah sekitar 3.914 meter persegi ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang.
Gedung ini menjadi sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal 16 hingga 17 Agustus 1945 terjadi peristiwa sejarah, yaitu perumusan naskah proklamasi bangsa Indonesia. Rumah yang kini menjelma menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini adalah saksi sejarah dari lahirnya naskah proklamasi, mulai dari persiapan, perumusan naskah, pengetikan, hingga pengesahan dan penandatangan naskah. Tak banyak yang berbeda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini masih menjaga barang-barang peninggalan sejarah dengan baik.
Kursi dan peraga lainnya berada di posisi yang sama dan nampak kokoh serta bersih. Isi peralatan ruangan-ruangan seperti kamar mandi, lemari-lemari baju, lorong-lorong penghubung antar ruangan pun tidak dirombak. Saat memasuki museum, disisi kiri pengunjung akan langsung dapat melihat ruangan pertemuan yang menjadi peristiwa sejarah pertama dimana Laksamana Tadashi Maeda menerima Soekarno, Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo.
Persis disebelahnya, terdapat ruangan perumusan naskah proklamasi. Di ruangan ini, Soekarno menuliskan konsep naskah proklamasi di atas secarik kertas, sedangkan Hatta dan Ahmad Soebardjo yang menyumbangkan pikirannya secara lisan. Sedikit bergeser ke arah luar, terdapat ruang pengetikan naskah proklamasi.
Setelah persetujuan dari 29 orang yang ada di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi di ruang bawah tangga ditemani oleh B.M Diah. Setelah selesai pengetikan, naskah proklamasi tersebut dibawa ke ruangan pengesahan atau penandatangan yang berada di ruang depan sebelah kanan pintu masuk.
“Tata letak peraga sama persis waktu peristiwa perumusan nahskah proklamasi berlangsung, tidak ada perubahan. Dulu waktu revitalisasi perubahannya itu hanya tata pamernya, kemudian juga penggantian atap. Kalau untuk pembersihan atau pemeliharaan rutin dilakukan tim konservasi setiap hari Senin,” ujar edukator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Wahyuni di Jakarta, Senin (14/8).
Untuk di lantai dua, kita akan disuguhi berbagai macam tulisan mengenai pergerakan setelah proklamasi dan bagaimana keadaan di beberapa kota di Indonesia seperti peristiwia westerling, pelantikan presiden RIS, pembagian 8 provinsi di daerah Republik Indonesia, konferensi meja bundar, dan lain-lain.
Selain tulisan-tulisan, di lantai dua juga terdapat benda-benda peninggalan dari beberapa orang yang berjasa dimasa itu. Sayangnya, hingga saat ini belum ada akses untuk penyandang disabillitas untuk mencapai lantai dua. “Ini kan cagar budaya, kita tidak bisa menambah atau membangun. Untuk penyandang disabilitas bisa melihat lantai dua melalui tab,” terang dia.
Tuntutan Jaman
Memang, di antara ruangan pertemuan dan perumusan terdapat dua buah layar tab dengan berbagai macam fitur. Mulai dari video, gambar atau foto penampakan lantai dua yang bisa dilihat 360 derajat hingga tampilan tulisan-tulisan yang bisa dibaca dengan cara mengklik gambar tulisan tersebut. Ini tak lain untuk memenuhi tuntutan jaman teknologi.
Tak hanya itu, seiring perkembangan teknologi, Museum Perumusan Naskah Proklamasi juga menerapkan sistem aplikasi yang bisa diunduh melalui play store android. Melalui aplikasi yang diberi nama SIJI itu, pengunjung bisa melihat peraga sejarah dengan tampilan video virtual 3D yang akan menjelaskan peristiwa gambar tersebut secara otomatis dengan cara men-secan barcode disamping gambar pameran.
Menariknya, pihak pengelola juga telah menyediakan WI-FI gratis, sehingga pengunjung tak perlu merasa khawatir untuk untuk mengunduh aplikasi SIJI. Salah satu pengunjung, Ade Nuryaman mengatakan dengan memberikan fasilitas teknologi, Museum Perumusan Naskah Proklamasi sangat mengerti perkembangan zaman tanpa mengurangi esensi dan nilai sejarah. Menurut dia, hal tersebut sangat bermanfaat dan bisa dijadikan sebagai sarana pembelajaran masyarakat. “Bagus. Suasana, atmosfirnya zaman dulu masih kerasa banget kok. Dan teknologinya juga bagus, jadi bagi yang males baca bisa scan gambarnya terus dengerin penjelasan audio peristiwa,” tutur Ade. anisa ibrahim/AR-3