in

Musim Korupsi Menjelang Pilkada

Menjelang pilkada 2018, lebih dari selusin kepala daerah tertangkap tangan atau ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat kasus rasuah. Sejak 2016 hingga akhir Oktober 2017, sudah ada 17 kepala daerah yang ”berpindah kantor” ke KPK. Mereka antara lain Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Mashita, Bupati Batu Bara Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Yang terbaru adalah Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.

Berdasar data KPK, sejak 2004 hingga Oktober 2017, total ada 79 kepala daerah yang diproses dalam kasus korupsi. Sebanyak 18 di antaranya adalah gubernur dan 61 lainnya adalah bupati atau wali kota. Dari data Kemendagri, sejak era reformasi hingga awal 2017, sedikitnya telah ada 362 kepala daerah yang terseret korupsi dan sudah diproses KPK, kejaksaan, atau kepolisian.

Banyaknya kepala daerah yang ditangkap karena korupsi tentu saja memprihatinkan. Apalagi, di antara mereka, ada yang pernah menandatangani pakta integritas antikorupsi bersama KPK. Pemerintah pusat juga telah berupaya keras membangun sistem pengadaan dan pengelolaan keuangan berbasis elektronik untuk mengurangi praktik korupsi di daerah. Misalnya dengan penerapan e-government yang dimulai dari e-planning, e-budgeting, e-procurement, e-katalog, hingga e-permit.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, ada empat lingkup praktik korupsi kepala daerah. Yaitu pengadaan barang dan jasa yang dibiayai APBD/APBN, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan perizinan, dan penerimaan suap. Salah satu pemicu korupsi kepala daerah tak bisa lepas dari besarnya kewenangan pimpinan daerah saat ini.

Kepala daerah punya kekuasaan yang sangat besar dalam perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pengelolaan anggaran daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi maupun sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan peraturan daerah. Semua hal tersebut kemudian dijadikan peluang bagi oknum kepala daerah untuk memperkaya diri melalui praktik korupsi, khususnya penerimaan suap dan gratifikasi.

Modus korupsi kepala daerah umumnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda tiap wilayah. Untuk wilayah yang kaya sumber daya alam, modus korupsi yang sering dilakukan kepala daerah umumnya adalah menerima suap atau gratifikasi untuk penerbitan izin-izin usaha pertambangan, perkebunan, atau kehutanan. Sedangkan untuk wilayah yang tidak cukup kaya sumber daya alam, modus korupsinya antara lain menerima suap atau terlibat dalam proyek-proyek pengadaan barang dan jasa yang didanai APBD maupun jual beli jabatan di lingkungan pemda.

Selain karena lemahnya kompetensi soal pengelolaan keuangan negara dan pemahaman atas peraturan, faktor lain yang membuat kepala daerah nekat melakukan korupsi adalah keperluan untuk membiayai ongkos politik, khususnya menghadapi pilkada. Dalam pantauan ICW, terjadi tren adanya peningkatan praktik korupsi kepala daerah dalam satu hingga dua tahun menjelang pilkada. Hal itu diperkuat adanya fakta bahwa mayoritas kepala daerah yang ditangkap KPK adalah mereka yang masih menjabat (incumbent) dan akan maju lagi untuk periode kedua ataupun mereka yang sedang mempersiapkan kerabatnya untuk mengikuti pilkada.

Data Litbang Kemendagri atas pendanaan pilkada serentak 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan pasangan calon (paslon) pilkada di kabupaten/kota dapat mencapai Rp 30 miliar. Sedangkan biaya paslon di level provinsi Rp 20–100 miliar. Biaya politik tersebut sangat mungkin membesar untuk penambahan bahan dan alat peraga kampanye, biaya mahar untuk mendapat dukungan dari parpol, biaya tim sukses, dan honor saksi di tempat pemungutan suara serta biaya tak terduga lainnya.

Besaran dana pilkada tentu saja tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima ketika calon menjabat kepala daerah. Gaji dan tunjangan gubernur ”hanyalah” Rp 8,4 juta dan untuk bupati/wali kota Rp 5,8 juta per bulan.

Bukan hanya soal besarnya dana politik, banyak juga kepala daerah yang terseret korupsi karena kegagalan parpol menjaring calon. Parpol masih dominan memberikan prioritas kepada figur yang sanggup membayar mahar politik uang. Integritas, kualitas, dan kredibilitas calon sering diabaikan parpol. Sebagai contoh, pada 2016 ada sepuluh calon kepala daerah peserta pilkada yang berstatus tersangka, bahkan mantan terpidana, korupsi.

Untuk mengurangi praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah, ada tiga cara. Pertama, budaya organisasi antikorupsi melalui penguatan fungsi pencegahan dan pengawasan secara melekat yang efektif perlu dibangun di setiap lingkup pemda. Keberadaan inspektorat wilayah atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pengawas keuangan maupun pembangunan daerah sebaiknya dioptimalkan. 

Kedua, efisiensi biaya politik pilkada sebaiknya perlu direalisasikan. Selain itu, menjelang pilkada, parpol sebaiknya juga dituntut berkomitmen mencegah praktik politik uang. Ketiga, sebelum menjabat, kepala daerah terpilih perlu menandatangani pakta integritas dan mengikuti pembekalan upaya pencegahan korupsi di KPK. Khususnya mengenai regulasi antikorupsi dan pengelolaan keuangan yang baik serta kunjungan ke rumah tahanan korupsi. Itu sekaligus upaya untuk mengingatkan mereka agar setelah menjabat kepala daerah tidak berurusan dengan penegak hukum atau berpindah kantor ke rumah tahanan KPK. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Mengintip Megahnya KRI Bima Suci, Penerus KRI Dewaruci

Petani SijunjuAng Miliki Teknologi Multiguna