Mata dunia saat ini tengah mengarah ke Myanmar. Tepatnya, ke negara bagian Rakhine. Di sana, terjadi krisis kemanusiaan akibat bentrokan antara militan Rohingya dan tentara Myanmar yang kian memanas. Dunia langsung menyoroti Nobel Perdamaian yang diraih Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto di sana, karena Suu Kyi dianggap tak berbuat banyak untuk Rohingya.
Menurut PBB, Myanmar tengah mengalami krisis multidimensi – pembangunan, HAM dan keamanan. Situasi yang buruk itu kian diperuncing dengan perbedaan etnis dan latar belakang agama kelompok Rohingya dengan mayoritas kelompok di negara tersebut. Indonesia langsung menyingsingkan lengan baju untuk Myanmar.
Presiden Joko Widodo menginstruksikan Indonesia untuk proaktif, membantu penyelesaian krisis kemanusiaan, dari hulu sampai hilir. Ini adalah langkah penting yang perlu dilakukan Indonesia, terutama sebagai negara tetangga Myanmar di wilayah Asia Tenggara.
Apa yang terjadi di Rakhine terhadap Rohingya sebetulnya tak jauh dengan apa yang terjadi di tanah air: ketika perbedaan latar belakang mengalahkan rasa kemanusiaan. Tak perlu jauh-jauh mencari ke Myanmar karena kita tak kekurangan kasus serupa. Ada kelompok Syiah yang sudah lima tahun ini tinggal di pengungsian di Sampang. Ada juga kelompok Ahmadiyah yang sudah 10 tahun terlunta-lunta di pengungsian Wisma Transito, Mataram. Sampai sekarang tak jelas bagaimana nasib mereka. Padahal kasus ini juga harus diselesaikan, dari hulu ke hilir.
Ketika satu jari menunjuk ke Myanmar, empat jari lainnya sesungguhnya tengah menunjuk ke diri sendiri. Membantu Rohingya di Myanmar tentu baik dan perlu dilakukan Indonesia. Yang tak kalah penting adalah melihat apa yang terjadi di tanah air, tak terlalu memusingkan perbedaan kelompok serta mengutamakan kemanusiaan.