Meluruskan Perspektif Orang Tentang Mantang
Tanjungpinang – Tanjungpinang Pos adalah peneman keluhnya sepanjang senja. ”Ade yang menyalah ni, tak boleh dibiarkan, nanti berlarut, kasihan anak cucu kami di zaman depan,” ujarnya tiba-tiba, padahal secangkir kopi yang dipesannya belum juga tiba.
Dia adalah Datuk Haji Jemahat. Bukan sembarang datuk, meski uzur usianya tidak bisa disembunyikan, namun perjalanan jauh yang ditempuhnya dengan berkali-kali naik kendaraan laut dan darat tidak mempan membuat ototnya letih. Hal itu dibuktikan dengan kekuatan suaranya dalam menyampaikan kata-kata.
Dia dari Pulau Mantang, 30 menit di Perairan Kijang, Bintan melalui Pelabuhan Sei Enam adalah rute perjalanan hingga sampai di Kota Tanjungpinang. Kunjungan kali ini, khusus untuk menjumpai awak media.
”Atok nak cerite dengan anak, semoge bise dimasukkan ke koran, biar masyarakat tahu, Pulau Mantang bukanlah Orang Suku Laut,” ujarnya mengiba.
Ya, sebagian masyarakat masih menyimpan rekaman yang disampaikan dari generasi ke generasi bahwa orang Mantang adalah Orang Suku Laut atau Orang Sampan. Kenyataan itu masih kental di sebagian ingatan masyarakat, khususnya masyarakat Dabo, Singkep, Kabupaten Lingga.
Sialnya, imbas kata Mantang itu memberikan percikan kurang sedap bagi masyarakat Pulau Mantang yang sakral dengan adat.
”Orang Suku Laut itu, memang banyak sebutannya. Selain Orang Sampan, ada juga yang memanggil dengan Orang Kajang. Ada pula sebutan lain yakni Orang Rantau dan Orang Mancang. Ingat ya… Mancang bukan Mantang,” kata lelaki berdarah batin Kampung Riau yang masih kental ini.
Mancang adalah sebutan asli untuk Orang Mantang. Menurutnya, kata mancang itu disematkan dari aktivitas mereka yang selalu memancang (menancapkan tiang, red) setiap kali berlabuh untuk menambat sampan atau perahu kecil.
”Gara-gara salah sebut nama, Mancang menjadi Mantang, menyebabkan banyak orang mengira kami (masyarakat Mantang, red) adalah Orang Suku Laut, atau orang pedalaman yang kuat dengan ilmu mistis, padahal tidak seperti itu,” ucapnya memberikan klarifikasi.
Pulau Mantang hampir keseluruhan dipenuhi oleh kaum muslim yang taat. Taat di sini bukan hanya tunduk perintah agama, namun juga menjunjung adat budaya.
Batin Kampung Riau itu mengisahkan, bahwa di zaman keagungan Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga, orang-orang Pulau Mantang adalah orang kepercayaan Sultan untuk mengurus adat dan perhelatan perkawinan. Ibarat zaman sekarang ini orang-orang Pulau Mantang adalah event royal weding organizer.
Batin Kampung Riau, Haji Jemahat itu menambahkan, bahkan junjungan gemala adat itu masih tinggi pada masyarakat Pulau Mantang. Hingga detik ini pun dalam setiap perhelatan perkawinan, mereka masih menganut sistem yang terpola sejak zaman kesultanan.
”Tak usah takut datang ke Pulau Mantang, sebab kami bukan Orang Suku Laut, derajat kami ini sama tinggi dengan keagungan Pulau Penyengat, sebab memang ada kaitanya di zaman kerajaan,” ujarnya, kali ini terasa lebih santai dengan menyeruput kopi hitam yang hampir dingin.
Bahkan, buah keturunan orang-orang Pulau Mantang sudah banyak yang sarjana, serta menjadi anggota dewan di Kabupaten Bintan. Hal itu adalah kebanggan tersendiri yang mereka andalkan.
Kebimbangannya bukan tanpa alasan, sebab berkali-kali masyarakat awam senantiasa mengaitkan orang-orang Pulau Mantang dengan Orang Suku Laut, bahkan banyak ASN yang merasa gerun (ketakutan, red) jika dipindahtugaskan ke Pulau Mantang.
Peliknya lagi, ada beberapa intelektual setingkat S2 (pascasarjana) dan (S3) Doktor yang masih beranggapan sama.
”Sebab itulah atok ni merase bertanggungjawab untuk meluruskan alur sejarah ini, supaya tidak menyalah di kemudian hari,” kata dia dengan penuh wibawa.
Meski usia menggerogoti kerentaannya, keriput adalah aksesoris abadi di setiap lekuk wajahnya. Namun, rasa tanggung jawab tak mampu surut. Cukup membuktikan bahwa Batin Kampung Riau ini masih lagi menjunjung daulat sebagaimana yang diwariskan dalam darahnya.(Yoan S Nugraha)