”Kok bisa ya Donald Trump menang?” Itulah umumnya komentar orang. Di Timur dan di Barat. Selebihnya, orang kehabisan kata-kata. Ternyata debat calon presiden tidak berpengaruh pada perubahan perilaku pemilih. Dalam tiga kali debat, Hillary Clinton menang telak.
Ditambah satu kemenangan telak lagi dalam debat tidak resmi di tengah masyarakat Katolik New York. Ternyata jajak pendapat meleset semua. Sampai tiga hari sebelum pilpres, semua jajak pendapat masih mengunggulkan Hillary.
Tahun ini jajak pendapat ilmiah di negara Barat dua kali kena pukulan telak. Waktu Brexit dan pilpres di AS ini. Ternyata nasionalisme mengalahkan rasionalitas. Isu nasionalisme yang diusung Trump terbukti menghunjam sampai ke dalam jantung masyarakat Amerika. Itulah pula yang membuat Inggris meninggalkan Eropa, Rodrigo Roa Duterte menang di Filipina, dan kini Trump menang di Amerika.
Ternyata kebosanan terhadap yang biasa-biasa saja membuat Hillary mati angin. Ternyata, kebencian terhadap politisi sudah sampai di sumsum. Ternyata emosi berhasil menyisihkan rasio. Perasaan mengalahkan pikiran.
Ternyata kita belum bisa melihat wanita jadi presiden Amerika. Kuatnya penolakan gereja untuk dipimpin wanita ternyata memperoleh gambarannya yang jelas di negeri kampiun demokrasi seperti Amerika.
Saya teringat dialog saya dengan seorang kulit putih di pedalaman AS tiga bulan lalu. “Kalau Hillary nanti tidak berhasil terpilih, itu karena dia seorang wanita,” katanya.
Kini Trump menang mutlak: popular vote dan electoral vote. Lebih mutlak lagi, kini eksekutif dan legislatif dari partai yang sama. Mestinya tembok besar antara Meksiko-Amerika segera dibangun. Kita, terutama yang bukan Islam, bisa segera rekreasi ke sana. Setelah 100 hari Trump jadi presiden, seperti yang dijanjikannya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.