Bagi yang merayakan Natal malam hari tahun ini, bisa jadi tidak melihat bintang di langit. Cuaca musim hujan yang dikatakan ekstrem, dipenuhi angin besar, banyak hujan, dan terutama awan hitam. Awan, apa lagi di malam hari menutupi sinar bintang di langit.
Bagi masyarakat perkotaan mungkin tak memperhitungan hubungan antara merayakan Natal di malam hari dengan bintang di langit—seperti dalam kisah yang selalu dinarasikan saat Natal tiba. Lain dengan sebagian umat Kristiani yang sedang berada dalam penjara. Saya mengalami di tahun 1992, di mana mendadak muncul keinginan merayakan Natal di gereja pada malam hari.
Ini bukan keinginan biasa, karena para napi—atau anak binaan, termasuk orang tahanan—tak leluasa berada di luar sel setelah pukul 18.00. Artinya memang tidak ada kegiatan malam bagi napi—kecuali kalau dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan lain. Arti yang lain, hampir semua napi tidak melihat langit malam.
Sebulan atau dua bulan tidak melihat langit malam barang kali bukan hal yang bisa membangkitkan rindu. Setahun atau dua kurang lebih sama. Tapi kalau 10 atau 20 tahun? Mereka yang masuk penjara sekitar tahun 1965, misalnya, mengalami hal ini. Maka keinginan merayakan Natal sambil melihat langit menjadi keinginan besar, juga dorongan bagi yang merayakan.
Karena di LP Cipinang, konon sejak tahun 1929, belum pernah diadakan malam hari oleh napi. Kali ini juga tidak melibatkan gembala— pastor, pendeta, hamba Tuhan— dari luar. Sebagai gambaran para gembala melayani umat Kristiani di penjara secara bergantian, hari yang berbeda. Umat Katolik, misalnya, saat itu—dan rasanya tak berubah—mendapat “jatah” hari Jumat.
Itu pun terbatas sampai jam 10 pagi. Sebab jalan utama menuju gereja adalah jalan utama menuju masjid, yang ramai di hari Jumat dan kegiatan mulai pukul 11.00. Semua sudah diatur, melalui prosedur yang sudah ditetapkan. Maka Natal dengan melihat langit termasuk hal baru, dan karenanya perlu pengaturan yang ketat.
Juga sanksi. Misalnya semua jemaat dicatat, dibariskan, dan tentu saja diabsen. Misal yang lain, misalnya ada melarikan diri, kesalahan akan ditanggung semua. Termasuk hukuman dikurung dalam sel, yang artinya nantinya tak memperoleh remisi, baik saat 17 Agustus atau hari besar keagamaan.
Dengan kata lain, semua harus saling menjagai, mengawasi, saling mengingatkan. Sesuatu yang baik untuk berjaga-jaga, walau menurut saya agak berlebihan. Pelarian dari penjara, biasanya berlangsung saat sepi. Bukan di saat ada kegiatan ramai dan resmi, yang melibatkan banyak “sipir” dengan pengawasan ketat.
Apa lagi sudah ada “code dress”, bukan baju atau kaos hitam, dan kalau bisa sepatu pun putih—waktu itu ada sepatu kets merek “capung”. Persyaratan apa pun tak mungkin ditolak atau ditawar. Para napi dalam posisi berharap dan meminta bukan untuk negosiasi. Dan ketika saatnya kita, para napi berjalan saling memegang pundak di depannya.
Sebagian tak sempat menghapus air mata yang bercucuran—karena tangan tak boleh lepas dari pundak. Air mata haru karena lebih dari 20 tahun tak pernah melihat langit malam. Bagaimana acara selanjutnya menjadi tidak utama, karena rasa gembira, juga tegang, juga ingatan campur aduk dengan keluarga di rumah, dengan apa saja, dengan siapa saja.
Peristiwa yang susah dilupakan, juga setelah kejadian itu lama berlalu. Beberapa teman masih mengingat bahwa bisa merayakan Natal di malam hari di penjara adalah suatu yang “istimewa”, suatu “keajaiban”, suatu mukjizat yang masih berlaku.
Suatu suka cita yang paling diperlukan. Selamat Natal bagi yang merayakan, baik dengan bintang di langit, atau tidak. Selamat mengucap dan mengungkap Natal, bagi yang merayakan.