Di masa konflik, nama Zakaria Saman telah menjadi semacam legenda bagi masyarakat Aceh. Namanya begitu populer masa itu, tetapi tidak semua orang Aceh mengenal rupa dan wujudnya. Jabatannya sebagai Menteri Pertahanan GAM juga turut mengangkat namanya sebagai sosok yang paling ditakuti dan dicari oleh tentara Republik. Di masa perang, Zakaria Saman juga dikenal sebagai sosok “sangar” dan misterius.
Pada masa pra damai, publik hanya mengenal Zakaria Saman sebagai petinggi GAM yang serius, keras dan tegas. Tentunya penggambaran Zakaria Saman serupa ini sangat cocok dengan kondisi perang yang sedang berkecamuk kala itu. Adapun sisi lain Zakaria Saman baru menyeruak dan diketahui publik pada masa pasca damai, ketika perang telah berhenti. Di masa perang, sisi-sisi lain Zakaria Saman hanya diketahui secara terbatas oleh internal GAM, sebagai pihak yang selalu dekat dengan beliau.
Salah satu sisi lain Zakaria Saman yang “bertus” (meminjam istilah Guree Hasan Basri M. Nur) adalah sifatnya yang humoris, suka bercanda dan gemar melawak. Sifat inilah yang kemudian mengubah potret seorang Zakaria Saman yang dulunya dikenal sangar dan bahkan menakutkan menjadi sosok yang ceria. Statemen-statemen bernada humoris made in Zakaria Saman terus bermunculan dan menjadi topik perbincangan di kedai-kedai kopi—yang merupakan tempat berkumpulnya para “intelektual terlantar.”
Pada masa kampanye lalu, humor politik ala Zakaria Saman menemukan momentumnya, di mana beberapa Koran lokal mengutip mentah-mentah statemen Zakaria Saman dalam bahasa Aceh. Sontak saja, statemen serius tapi humoris yang keluar dari mulut Zakaria Saman disambut dengan gelak tawa oleh mayoritas masyarakat Aceh. Sebelum kehadiran Zakaria Saman dalam pentas politik praktis, irama politik Aceh kala itu terbilang cukup tegang dan menakutkan. Tapi Zakaria Saman berhasil mengubah berbagai ketegangan dalam politik dengan candaan khasnya sehingga wajah muram masyarakat berubah menjadi tawa.
Tidak hanya gaya humoris, Zakaria Saman juga terkenal dengan konsistensinya untuk menggunakan bahasa Aceh dalam setiap perbincangan. Bukan hanya dalam diskusi-diskusi internal dan terbatas, Zakaria Saman juga tidak segan-segan menggunakan bahasa indatunya dalam forum-forum resmi sekalipun. Hal ini telah kita saksikan sendiri dalam debat kandidat calon gubernur beberapa waktu lalu yang ditayangkan secara nasional. Zakaria Saman telah berhasil mengkampanyekan kosa kata Aceh sehingga ia bertaburan di udara. Kata-kata Janeng misalnya, yang telah dilupakan oleh sebagian masyarakat Aceh pun kembali populer berkat Zakaria Saman.
Penggunaan bahasa yang lagee na ju dan crah beukah juga menjadi ciri khas tersendiri bagi Zakaria Saman. Dengan demikian, tentu tidak berlebihan jika kita menyebut bahwa komunikasi ala Zakaria Saman-lah yang paling mudah dipahami oleh jumhur masyarakat Aceh. Sebagaimana telah kita lihat bahwa penggunaan istilah-istilah asing dalam komunikasi, meskipun terkesan intelek, tapi pada kenyataannya istilah-istilah itu cenderung digunakan sebagai sebuah strategi untuk menipu pendengar. Penggunaan istilah asing bernuansa akademis dalam komunikasi cenderung membigungkan audiens. Dan kehadiran Zakaria Saman telah berhasil menawarkan pola komunikasi baru yang lebih mencerahkan, sehingga dapatlah kita menyebut Zakaria Saman sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami karakter masyarakat Aceh.
Kemarin, sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (25/04/17), Zakaria Saman kembali hadir dengan kesyahduannya melalui komentar yang tetap humoris. “Ureung geutanyoe hana pike national interest, dipike keu droe jih sagai, yang dipike national of pruet.” Dalam komentar Zakaria Saman kali ini kita kembali menemukan kosa kata baru yang cukup menohok, “national of pruet.”
Statemen Zakaria Saman kali ini muncul dalam rangka menyikapi rencana Gubernur terpilih, Irwandi Yusuf yang berkeinginan menyatukan partai-partai politik guna membentuk koalisi baru dalam DPR Aceh. Rencana ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya mempermulus jalan untuk bersama-sama membangun Aceh dalam pemerintahan Irwandi-Nova. Meskipun Zakaria Saman mendukung rencana ini, namun ia juga meragukan jika nantiya upaya itu akan berjalan sesuai harapan.
Salah satu sebab keraguan Zakaria Saman adalah kecenderungan “national of pruet” yang ada di benak sebagian orang Aceh (mungkin DPRA?). Sebenarnya istilah “national of pruet” yang disandingkan dengan “national interest” kurang tepat. Istilah national interest bermakna kepentingan nasional, sedangkan national pruet justru bermakna perut nasional. Seharusnya Zakaria Saman menggunakan istilah pruet interest alias kepentingan perut. Namun demikian, Zakaria Saman dengan cagok khasnya tetap memiliki keunikan tersendiri sehingga istilah national of pruet tetap keren di telinga masyarakat.
Penyakit national of pruet sebagaimana disebut Zakaria Saman tidak hanya mewabah di Aceh, tetapi penyakit ini telah menjadi semacam epidemi di tingkat nasional. Munculnya perilaku korupsi misalnya, baik di tingkat nasional maupun daerah salah satunya disebabkan oleh penyakit national of pruet. Lahirnya aksi perampokan, pembunuhan dan bahkan berbagai rupa teror di pentas politik juga disebabkan oleh national of pruet. Aksi pungli, baik yang dilakukan oleh preman ilegal maupun preman-preman yang dilindungi konstitusi juga bagian dari penyakit national of pruet. Demikian pula dengan sogok-menyogok dalam segala tingkatnya juga disebabkan oleh national of pruet.
National of pruet adalah penyakit berbahaya yang bisa merusak akal sehat, mematikan nalar dan membutakan hati. Penyakit ini tidak hanya menyerang politisi dan pejabat negara. Tetapi ia bisa menyasar siapa saja, tidak hanya si jahil, si ‘alim pun bisa mengidap penyakit serupa dalam berbagai variannya. Jika si jahil mengidap national of pruet karena kejahilannya (ketidaktahuan), maka si ‘alim justru disebabkan oleh kecerdasannya.
Sebagai insan beriman yang lahir di tanoh auliya sudah semestinya kita melakukan taubat massal guna mendapat kesembuhan dari penyakit national of pruet sebagaimana dikhawatirkan oleh Zakaria Saman. National of pruet adalah virus yang dapat merusak keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan bahkan agama.[]