Aktif dalam dunia menulis selama 20 tahun mengantarkan Nazif Basir, pria kelahiran Agam ini untuk menulis buku In Memoriam 100 Seniman, Wartawan, dan Budayawan Sumatera Barat. Tak hanya menulis, pria 82 tahun ini juga sempat menjadi anggota pers dan siaran radio pusat penerangan angkatan darat MBAD di Jakarta.
Wartawan salah satu profesi yang digelutinya juga. Ia bahkan sempat menjadi wakil pemimpin redaksi pada Koran Res Publika di Padang sejak tahun 1960.
Beberapa karya yang pernah ia lahirkan yaitu Bangkitnya Angkatan 66, Peradilan Jusuf Muda Dalam, dan Palimo Alang Bangkeh. Ia juga aktif menulis naskah operet dan naskah pertunjukkan massal.
In Memoriam 100 Seniman, Wartawan, dan Budayawan Sumatera Barat diluncurkan di Basko Hotel Padang, Kamis (25/5). Buku ini berisi tentang 110 orang seniman, wartawan, dan budayawan Minangkabau yang telah melahirkan banyak karya dan menorehkan prestasi.
Tidak hanya di kancah nasional namun internasional. Selain Nazif yang menuliskan 100 nama, salah seorang sastrawan Minangkabau, Taufik Ismail yang menjadi teman akrab Nazif juga ikut menambahkan 10 nama di buku tersebut. Rohana Koedoes, Marah Roesli, Abdul Moeis, Nur Sutan Iskandar, Hamka, dan Muhammad Hatta adalah beberapa orang dari 110 nama yang ditulis.
Saat peluncuran buku, Nazif duduk di kursi roda dan berjalan ke atas panggung dibantu sebuah tongkat. Namun ia masih semangat untuk bercerita bagaimana buku itu ia lahirkan. Kenangan para sahabat seniman, wartawan, dan sastrawan yang telah meninggal lah yang membuatnya menulis.
Saat itu, menjelang pergantian tahun 2016 menuju 2017 ia tengah sakit sehingga sering berhalusinasi tentang bagaimana setiap harinya orang-orang yang bergiliran memenuhi panggilan pulang (meninggal, red).
Saat itu, Nazif hanya menuliskan 18 nama, Taufik Ismail yang melihat catatan Nazif menyerukan agar menambah menjadi 100 nama atau paling tidak 99 nama sesuai dengan asmaul husna agar bisa dibukukan. Dalam kurun waktu sebulan, 100 nama berhasil ditulis.
Taufik Ismail mengatakan Minangkabau pernah menjadi nagari yang melahirkan para sastrawan, wartawan, dan budayawan hebat. Ia juga mengungkapkan, bahwa anak muda Minangkabau tengah mengalami krisis ide terkait sastra. Karena itu ia menginginkan bahwa kurikulum Bahasa Indonesia yang ada di sekolah dijadikan dua materi, yakni membaca dan menulis.
“Untuk anak SMA wajib membaca 25 buku dalam tiga tahun dan mengarang tiap minggunya. Itu akan mengantarkan kita menjadi generasi yang hebat dan peradaban yang tinggi,” katanya yang disambut tepuk tangan hadirin.
Mestika Zed sebagai salah satu pembahas buku pada peluncuran tersebut mengatakan, batasan seniman, wartawan dan sastrawan sangat tipis sekali.
Sebanyak 110 orang yang namanya tercantum dibuku ialah orang-orang intelektual Minangkabau. Kehadiran buku yang ditulis Nazif Basir dapat membuka jendela bagi generasi muda untuk tertantang menulis lebih rinci kisah tokoh-tokoh hebat yang ada dibuku, mengingat Nazif menulis tentang biografi saja.
“Saya yakin, mayoritas seluruh siswa dan siswi Sumbar tidak mengetahui semua tokoh yang ada di cover buku ini,” ucap Mestika Zed. Dengan adanya buku ini, siswa dan siswi dapat mengetahui dan mengenal siapa tokoh seniman, wartawan, budayawan Sumbar yang telah berjasa melahirkan sastra di Minangkabau.
Selain Mestika Zed, juga ada Taufik Abdullah yang membahas buku tersebut. Lelaki ini menuturkan buku itu sebagai pil penangkis lupa masyarakat akan orang-orang terdahulu yang banyak melahirkan karya hebat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.