in

Nelayan yang Semestinya Didengar

Ketika pelanggaran dilegalkan oleh pembuat aturan, maka habis sudah kepercayaan masyarakat. Itulah yang dirasakan Koalisi Masyarakat Tolak Reklamasi. Di dalamnya ada nelayan tradisional, warga, dan para aktivis lingkungan. Mereka jauh-jauh hari tegas menolak rencana Sidang Penilaian Amdal Pulau C dan D oleh PT Kapuk Naga Indah di Kawasan Pantai Utara Jakarta. Sidang digelar hari ini di Aula Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta.

Alasan penolakan mereka jelas dan terang; bahwa sejak awal pengembang telah seenaknya menerabas aturan. Pembangunan berjalan, padahal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) belum dikantongi. Dokumen Analisi Dampak Lingkungan (Amdal) pun tak ada. Kajian Bappenas atas tanggul raksasa dan penggabungan 17 pulau reklamasi belum rampung. Dengan kata lain, tak ada dasar bagi Pemprov DKI Jakarta dan pengembang melanjutkan proyek tersebut.

Tapi, apa daya? Pemprov DKI Jakarta sepertinya sudah buta dan tuli. Suara-suara protes nelayan sebagai pihak yang paling terdampak, tak didengar.

Berulang kali, pemerintah mencoba mendinginkan hati nelayan dengan janji bakal membangun rumah susun khusus nelayan. Terakhir, menyediakan pulau khusus untuk tempat tinggal nelayan. Namun kita tahu, semua itu gombal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sekalipun tak tahu persis seperti apa rincinya. Semua baru wacana. 

Sidang Penilaian Amdal hari ini baru disusun ketika bangunan sudah ada. Hingga kemarin Koalisi Masyarakat Tolak Reklamasi, juga nelayan tradisional, tak menerima undangan menghadiri acara itu.  Padahal mereka sebagai kelompok yang terkena imbas semestinya diajak bicara dan didengar suaranya.

Kalau pemerintah bisa duduk akrab bersama pengembang, mengapa sebaliknya dengan nelayan? Apakah nasib warganya kalah “hijau” dari duit investasi? 

What do you think?

Written by virgo

Pakaian Putri Sumsel Jadi Sorotan

IHSG Bergerak “Mixed” Tertekan