Kalau Lulus, Pulang Dapat Gelar Haji Sepeda
Setelah ikut Maratona dles Dolomites Minggu lalu (2/7), ada satu kesimpulan bulat: Kalau ingin uji ketangguhan dan kemampuan dalam cycling, event di Italia ini tidak ada tandingannya dalam segala hal!
Sejak tahun lalu, saya dan beberapa sahabat sepeda sudah punya rencana besar ini: ikut ajang gran fondo (maratonnya sepeda) terbesar di dunia, yang berlangsung di Pegunungan Dolomites, Italia.
Pada 2014 lalu kami pernah ke kawasan itu dan jatuh cinta dengan keindahan serta tantangan tanjakan-tanjakannya. Tapi, waktu itu masih ikut tur “normal”, tidak ada tantangan kecepatan dan batasan waktu.
Sejak tahun lalu, kami pun mendaftarkan diri untuk ikut Maratona dles Dolomites (baca: Maratona les Dolomites). Iven yang punya reputasi bukan hanya sebagai yang terbesar, tapi juga dengan rute climbing terberat.
Maratona ini sudah berlangsung sejak 1987, diselenggarakan oleh komunitas sepeda setempat di kawasan Alta Badia di jantung Pegunungan Dolomites. Waktu itu pesertanya hanya 166 orang.
Sekarang, dengan dukungan penuh pemerintah setempat, untuk ikut saja harus ikut lotre. Dari 33 ribu orang yang ikut preregistration, “hanya” 5.000 yang terpilih. Biaya pendaftaran kalau lolos lotre tak sampai 200 euro, tapi tidak termasuk penginapan dan lain sebagainya.
Setelah itu, kalau mau ikut, harus mendaftar lewat paket-paket wisata atau program, harus lengkap dengan hotel dan lain sebagainya. Membayarnya pun jadi bertingkat, bahkan hingga 1.500 euro per orang, tidak termasuk penginapan. Dari uang itu, kebanyakan digunakan untuk charity alias aksi sosial.
Mirip dengan cara mendaftar iven lari maraton terbesar dunia.
Itu sebuah strategi promosi wisata yang sangat jitu. Di musim dingin, kawasan Alta Badia pesta pemasukan dengan wisata ski. Sejumlah event ski kelas dunia juga rutin diselenggarakan tiap tahun.
Di musim panas, kawasan itu jadi surga para cyclist. Selain Maratona dles Dolomites, ada beberapa iven lain yang lebih kecil. Ada pula mountain bike (MTB) iven dan lain-lain. Hobi hiking atau trail running? Di sini, ada semua fasilitasnya.
Khusus untuk Maratona dles Dolomites, tahun ini total pesertanya 9.129 orang, termasuk 962 perempuan. Walau sempat diumumkan mewakili lebih dari 70 negara, pada akhirnya data resmi panitia menyebut semua peserta itu datang dari 69 negara.
Jumlah yang spektakuler! Dan semua harus siap menghadapi tantangan yang nyaris tiada duanya di dunia…
***
Mendaftarnya tidak mudah, tapi pesertanya banyak. Untuk bisa menikmati atau paling tidak menyelesaikan rute-rutenya juga sangat tidak mudah. Benar-benar harus cinta cycling untuk menjadi peserta, apalagi finisher, di Maratona dles Dolomites. Tak heran, tema tahun ini adalah Amur, bahasa Perancis sekaligus bahasa dialek setempat yang berarti love alias cinta.
“Kita bisa mati karena cinta. Kita bisa berani menghadapi situasi atau ketakutan karena cinta. Tapi, rasa takut yang terbesar pun bisa menghasilkan hasrat. Yaitu hasrat untuk menaklukkan sesuatu, untuk keindahan, untuk keabadian,” pesan Michil Costa, ketua penyelenggara Maratona.
Kalimat Costa itu benar-benar tepat. Setelah tiba di Corvara, salah satu kota di Alta Badia, Kamis malam pekan lalu (29/6), dalam dua hari selanjutnya kami memang mencoba penggalan-penggalan rute Maratona. Dan memang kami langsung menghadapi kenyataan: Rutenya memang edan.
Di atas kertas sudah edan. Full Maratona menempuh jarak 138 km, melewati tujuh mountain pass (atau gunung), menanjak total 4.230 meter. Start dan finisnya di ketinggian 1.400–1.500 meter. Juga, empat kali peserta menanjak melewati ketinggian 2.200 meter. Udara lebih tipis di ketinggian adalah tantangan serius. Plus, ada time limit yang ketat!
Setelah menjajal dua puncak terberat dua hari sebelum iven, Mirza Rengga Putra dari Surabaya langsung nyeletuk, “Kalau sudah merasakan ini, pulang bisa dapat gelar Hs atau haji sepeda.”
Masuk!
Saat hari H, panitia memberikan kebebasan bagi peserta untuk memilih tiga rute yang disediakan. Kalau sanggup, silakan tuntaskan full Maratona. Pokoknya mampu melewati batas waktu yang ditentukan di titik-titik tertentu. Prosesi start dimulai pada pukul 06.30 dan garis finis ditutup pada pukul 16.15 (kisaran sembilan jam).
Kalau tidak kuat, ada rute medium, total 106 km dengan menanjak total 3.130 meter. Rutenya mirip, tapi tidak melewati tanjakan terberat: Passo Giau yang sepanjang 9,9 km tapi dengan kemiringan rata-rata 9,3 persen.
Tidak kuat lagi? Ada rute Sellaronda dengan panjang 55 km tapi tetap melewati empat gunung dengan total menanjak 1.780 meter. Tapi, jangan remehkan rute pendek itu. Total menanjaknya tetap lebih kejam daripada kebanyakan iven lain di dunia!
Panitia benar-benar “kejam”. Di jalur pemisah rute full dengan medium, misalnya, saklek ditutup pada pukul 11.45. Jalan langsung dipagari. “Peserta yang ingin tetap memaksa rute panjang dipersilakan, tapi nomor dan transponder yang menempel di sepeda langsung digunting dan diambil,” tutur Yudy Hananta, yang lolos melewati titik itu pas saat cutoff time.
Setiap peserta memang dibekali transponder sehingga bisa melihat catatan waktunya secara overall atau di tiap tanjakan. Dan secara resmi iven itu memang sebuah lomba.
Jadi, ada pemenang untuk berbagai kategori dan kelompok umur. Walau mayoritas hanya ingin finis, serta panitia menyediakan pos-pos makanan dan mekanik di berbagai titik.
Prosesi start dimulai pada pukul 06.30, tapi waktu peserta dihitung saat mereka melewati garis start dan berakhir saat mereka melewati garis finis. Adil. Sebab, untuk start saja, prosesinya mencapai 35 menit. Saking panjangnya peloton peserta.
Support yang komplet itu sangat krusial. Apalagi, cuaca hari itu tergolong kurang bersahabat. Walau ini musim panas, cuaca bisa seperti empat musim dalam satu hari. Saat start, suhu 6 derajat Celsius. Sepanjang hari tidak pernah lebih dari 10 derajat Celsius.
Angin lumayan kencang, awan terus bergerak. Jadi, hujan pun on-off. Ada peserta yang apes kena hujan, ada yang tidak. Semua peserta membawa vest plus jaket angin.
Saat menanjak dilepas, saat mau turun dipakai. Saat menanjak kepanasan karena badan bekerja keras, saat turunan dingin luar biasa karena kecepatan dengan mudah menyentuh atau melampaui 70 km per jam.
Agar bisa finis secepat mungkin, kelompok kami punya strategi sendiri-sendiri, menyesuaikan kemampuan masing-masing. Ada yang bilang akan stop di sini, makan di sini, dan lain-lain. Saat acara, semua bisa berubah sesuai dengan kondisi cuaca dan badan kala itu.
Pada dasarnya, kami tidak ingin berhenti terlalu lama. Kalau bisa, berhenti untuk makannya hanya sekali karena ada berhenti-berhenti lain untuk lepas-pasang jaket. Walau ada fasilitas makanan di mana-mana, kami harus tetap self-sufficient, mengantongi makanan semaksimal mungkin di kantong baju atau tas kecil di sepeda.
Juga harus bawa ban dalam dan pompa plus multi-tool, walau sepanjang jalan berdoa tidak mengalami masalah teknis. Kalau ban bocor atau ada kerusakan jauh dari pos mekanik, harus bisa menyelesaikannya sendiri.
Kelompok kami memang ditemani tiga guide dari Trek Travel. Tapi, mereka tidak mungkin bisa membantu semua, apalagi dengan rute begitu berat dan peserta mengular seperti tanpa henti.
Kami bersyukur walau hanya 7 orang yang mampu menuntaskan full Maratona (dari 14 orang). Tidak ada yang mengalami masalah teknis. Dan lebih penting lagi, tidak ada yang mengalami kecelakaan. Padahal, berkali-kali ada ambulans naik-turun untuk menjemput dan mengantar peserta yang sakit atau cedera.
Di antara tujuh orang itu, John Boemihardjo dari Surabaya Road Bike Community mampu menjadi finisher terbaik dari Indonesia. Dia mampu menuntaskan full Maratona dalam waktu 6 jam 35 menit. Itu peringkat ke-167 di kelompok umur 35–39, peringkat ke-1.029 overall (dari total 4.759 orang yang menuntaskan rute penuh).
Kelompok kami tidak sendirian dari Indonesia. Kami bertemu pula dengan sejumlah cyclist lain, khususnya dari Jakarta (dan tidak semua mampu menuntaskan rute penuh).
John Boemihardjo hanya berhenti sekali untuk makan dan istirahat, yaitu di puncak Passo Giau alias tanjakan terberat. Kata John, saat menuju puncak Giau, badannya sudah mulai error. “Saat menanjak, pikiran sudah ke mana-mana, memikirkan istri dan anak,” kata pria 38 tahun itu, lalu disambut tawa rekan-rekan yang lain.
Tidak harus cepat, bisa menuntaskan Maratona dles Dolomites saja sudah sangat melegakan. Termasuk rute medium maupun Sellaronda, yang tetap tidak boleh diremehkan.
Di garis finis, peserta dapat medali. Tapi, mereka juga harus mengembalikan transponder. Sebagai pengganti, panitia memberi pilihan: uang 10 euro atau topi Maratona. Kebanyakan memilih topi sebagai kenang-kenangan karena itu pengalaman yang tidak ada harganya.
Selain rasa haru dan bahagia, di garis finis juga muncul keinginan untuk kelak kembali lagi ke Dolomites, ikut lagi Maratona. Khususnya yang ingin memperbaiki waktu atau belum berhasil lulus rute penuh.
“Kalau yang lulus full rute berarti sudah haji sepeda. Yang belum berarti masih seperti umrah,” canda kami setelah makan-makan di kawasan finis. (*)
LOGIN untuk mengomentari.