BKSP DPD RI menyambut baik keputusan Norwegia untuk memberikan pembayaran pertama perdagangan karbon (carbon trading) sebesar USD 56 Juta atau Rp813,3 Miliar kepada Indonesia.
“Kami menyambut baik pengumuman pemerintah Norwegia tersebut, ini membuktikan kerja sama internasional kedua negara memiliki manfaat kongkrit kepada negara dan daerah,” kata Ketua BKSP DPD RI, Gusti Farid Hasan Aman, senator anggota DPD RI dari dapil Kalimantan Selatan.
Dalam Kerja sama perdagangan karbon tahun 2010 tersebut, Indonesia akan mendapat USD 1 Miliar atau 6 Miliar Krona Norwegia (NOK) apabila berhasil mengurangi emisi melalui skema REDD+. Indonesia diharapkan berkomitmen untuk mengurangi ekploitasi sektor kehutanan dan lahan.
Perdagangan karbon yang diharapkan dicapai sebesar 4,8 juta ton CO2e (karbondioksida) untuk periode 2106-2017, setelah dilakukan penilai independen Norwegia ternyata mencapai 11,2 juta ton CO2e. Saat ini harga per ton perdagangan karbon adalah USD 5 atau Rp72.617/ton.
“Isu kehutanan sangat kompleks, namun Indonesia menunjukkan mampu untuk membuat kebijakan pro-lingkungan apabila mendapat dukungan dunia internasional, jadi bukan komitmen sepihak saja dari sebuah negara,” kata Dr. Richard Hamonangan Pasaribu, Wakil Ketua BKSP DPD RI dari dapil Kepulauan Riau.
Dana Norwegia tersbut akan dimasukkan ke sebuah badan yang telah dibentuk Indonesia pada bulan Oktober 2019 yang lalu, yaitu Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang dibentuk untuk mengelola dana-dana lingkungan (environmental funds).
“Sebagai negara kepulauan terbesar dan memiliki hutan tropis yang luas, Indonesia memiliki cadangan karbon yang penting dalam menghadapi perubahan iklim, “kata Tubagus Ali Ridho Azhari, Wakil Ketua BKSP DPD RI dari dapil Banten.
Sebagai salah satu penandatangan Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim, Indonesia menyatakan siap untuk menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
“Kami berharap komitmen negara sahabat seperti Norwegia dapat diikuti oleh negara-negara lain. Degradasi hutan, perubahan iklim, perlu komitmen global, pembiayaan dan pengembangan teknologi ramah lingkungan yang berkelanjutan,” kata Wa Ode Rabiah Al Adawiyah, Wakil Ketua BKSP DPD RI dari dapil Sulawesi Tenggara.
Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang berarti komitmen Indonesia terkait penurunan emisi, pengendalian hutan, dan perubahan iklim telah berada pada level undang-undang dan menjadi subyek pengawasan parlemen Indonesia.
“Kami berharap dana-dana lingkungan hidup tersebut dapat dikelola untuk mengembangkan sektor kehutanan berkelanjutan. Di sektor kayu misalnya, kita berhasil mengembangkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sebelum diekspor ke Uni Eropa. Jadi, kita mampu melakukan pembangunan berbasis lingkungan, dan akan tercapai lebih cepat apabila ada komitmen bilateral dan multilateral nyata mengenai perubahan iklim,” kata Gusti Farid Hasan Aman. (*)