Penyederhanaan Regulasi l Penurunan Daya Saing RI karena Adanya Kerumitan Peraturan
JAKARTA – Rencana pemerintah mengeluarkan omnibus law dinilai dapat menjadi salah satu solusi penting mengharmonisasikan berbagai aturan di Indonesia. Sebab, saat ini masih banyak terjadi tumpang tindih aturan sehingga menyebabkan ketidakpastian regulasi. Padahal, kepastian aturan menjadi salah satu perhatian utama bagi investor.
Anggota Dewan Pewakilan Daerah (DPD) RI, Jimly Asshiddiqie, menilai kebutuhan untuk mengharmonisasi peraturan di Indonesia sangat diperlukan karena banyak peraturan masih berlaku secara de jure, tapi dalam praktiknya tidak ada. Bahkan, menurutnya, masih ada aturan yag diterapkan dalam praktik, padahal tidak berlaku lagi.
Jimly menuturkan, melalui omnibus law yang merupakan beleid, penggabungan sejumlah aturan menjadi satu UU sebagai payung hukum baru tersebut, pemerintah bisa membangun suatu sistem yang dapat menata ulang perundang-undangan di Indonesia.
“Dalam perumusan, pengkajian, dan pengeksekusian omnibus law tidak hanya tugas dari pemerintah inti saja, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat termasuk kepala biro, kepala staf, hingga LSM,” ujar Jumly, di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (21/10).
Selain itu, Jimly juga memberikan beberapa masukan untuk mempercepat penerapan omnibus law seperti mengevaluasi UU, PP, dan Perpres mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan secara tepat.
Sebelumnya, dalam pidato pelantikan, Minggu (20/10), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan omnibus law sebagai salah satu dari lima prioritas yang siap dijalankan dalam lima tahun ke depan. Rencana penyederhanaan dan pemangkasan regulasi dilakukan dengan menerbitkan UU besar, yaitu, UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
“Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU,” kata Jokowi.
Perkuat Daya Saing
Penyederhanaan tersebut diharapkan dapat menggenjot daya saing Indonesia yang sedikit tertinggal di tingkat global. Laporan World Economic Forum (WEF) terbaru menyatakan adanya penurunan daya saing dari posisi 45 menjadi 50 karena adanya kerumitan regulasi dan institusi yang belum ramah terhadap investasi.
Dalam rapat terbatas, Jokowi juga pernah mengeluhkan Indonesia tidak mampu mengambil kesempatan larinya arus modal dari negara maju dan investasi lari ke Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Ekonom Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, menilai omnibus law penting. Namun lanjutnya, ada hal yang lebih penting lagi yakni pembukaan lapangan pekerjaan.
“Ide omnibus law, beberapa hal dikemas menjadi satu undang-undang itu hal bagus. Kemudian, kita melihatnya lebih komprehensif dalam kebijakan itu bagus,” ujar Rimawan.
Meski demikian, Jimly menyarankan agar pembentukan omnibus law tidak hanya terfokus pada sektor investasi dan pajak, melainkan juga semua bidang seperti Hak Asasi Manusia (HAM), pemilu, dan lingkungan hidup. uyo/E-10