Dilema menghantui upaya mengatasi penyebaran pandemi covid-19 antara mengkarantina satu wilayah atau memutuskan lockdown total. Keduanya memberi tikaman serius pada perekonomian dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat, terutama kelas bawah. Belum lagi peluang korupsi dana bantuan bencana yang kita tahu cukup sering terjadi dalam situasi serba sulit seperti ini. Selalu saja ada yang jahat. Sudah banyak yang mengingatkan untuk waspada.
Tidak ada kah solusi lain yang barangkali justru meminimalkan efek destruktif yang mungkin menyertai. Tapi sebelumnya, mari kita lihat fakta di lapangan untuk menuju solusi yang lebih praktis.
Pertama, mayoritas korban covid-19 adalah para lanjut usia (lansia) dan kelompok rentan. Ini umum terjadi di seluruh negara yang tertimpa wabah covid-19. Pasien kelompok ini yang membutuhkan layanan intensif di rumah sakit. Sayangnya di Indonesia data berapa persen pasien dari kelompok lansia dan rentan ini yang mendominasi ruang instalasi gawat darurat (IGD) tidak dibuka.
Namun, jika menyimak keterangan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Covid-19 Ahmad Yuriato (24/3) setidaknya 80 persen pasien positif Covid-19 hanya mengalami gejala ringan. Artinya tak mesti menjadi beban rumah sakit. Tapi toh tetap memenuhi ruang rawat inap di sana. Mengingat kalau mereka tidak diisolasi di rumah sakit bakal berpotensi menulari banyak orang di luar sana.
Kedua, penyebaran Covid-19 kian tak terkendali. Arus mudik lebih awal beberapa waktu lalu diyakini sudah memuluskan sebaran covid-19 ke sejumlah besar provinsi di Indonesia. Juga beberapa event massal yang sempat berlangsung terindikasi menjadi sumber penyebaran yang sulit dibendung.
Di mana-mana ada corona. Hanya belum semua terlihat, karena banyak yang tak menunjukkan gejala. Pemerintah Daerah jelas was-was dengan tabungan panen pasien yang bakal membanjiri rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Rapid test digalakkan untuk membuat kenyataan sesungguhnya lebih terang.
Ketiga, mereka yang muda dan punya kondisi tubuh sehat dan fit meski terpapar virus covid-19 bisa bertahan. Bahkan tanpa gejala sakit atau pun mengalami gejala ringan. Imunitas tubuh mereka bisa terprogram untuk mengatasi serangan serupa di kemudian hari. Artinya risikonya lebih kecil bagi kelompok usia muda ini.
Lantas kenapa mereka mesti dipaksa berhenti beraktifitas normal? Lagi-lagi karena khawatir bisa menularkan pada kelompok rentan dan lansia tanpa mereka sadari.
Meragukan Efektifitas Lockdown dan Karantina
Memberlakukan lockdown atau karantina tak akan efisien menghentikan penularan covid-19. Lockdown atau karantina jelas menghambat nadi perekonomian. Efek dominonya bisa tak terduga dan mungkin sangat destruktif.
Memperketat physical distancing dengan membubarkan kerumunan orang, mengharapkan semua orang tetap tinggal di rumah, hanya efektif di negara-negara represif atau yang tingkat kesadaran masyarakatnya sudah baik. Italia dan Spanyol saja gagal.
Indonesia tak cukup meyakinkan bisa memberlakukan ini ketika perilaku egois banyak kalangan tak mendapat sanksi tegas. Pekerja harian, yang tak punya kapasitas dan perangkat untuk bekerja dari rumah, tidak gajian jika tidak produktif. Lihat situasi itu sekarang di masyarakat, sungguh bikin was-was.
Mau ditertibkan dengan pentungan ala pemerintah India memukuli warganya? Hanya keyakinan selevel agama yang bisa membuat orang menahan lapar. Kalau anak dipaksa tak makan, orangtua mana sanggup diam dan tak akan bertindak, apa pun yang menghadang di depannya. Pentungan polisi bisa menjadi cambuk untuk lebih bertindak gila.
Lantas apa alternatif lain selain lockdown dan karantina?
Strategi Herd Immunity Swedia dan Belanda
Ada yang namanya herd immunity (kekebalan kawanan) yakni suatu kondisi dengan sebagian besar populasi kebal terhadap virus yang mewabah, sehingga bisa menciptakan perlindungan bagi individu yang rentan.
Namun kondisi ini mesti dilalui dengan sengaja membiarkan virus menyebar ke sebagian besar individu. Atau bisa juga dengan cara memvaksin sebagian besar populasi, jika vaksinnya sudah ditemukan.
Dalam situasi belum ditemukannya vaksin covid-19, saat ini negara yang mulai menerapkan strategi herd immunity adalah Swedia dan Belanda.
Meski tak sedikit ahli yang mengecam langkah ini, salah satunya Tonia Thomas, manajer projek Vaccine Knowledge. Menurutnya, membangun imunitas melalui infeksi, bukan dengan vaksin, mungkin akan berisiko menyebabkan komplikasi penyakit. Vaksin adalah cara paling aman dan tanpa risiko.
Namun, Swedia nampaknya cukup percaya diri dengan strategi herd immunity. Memberlakukan lockdown hanya akan menimbulkan dampak ikutan yang justru bisa merusak banyak hal.
Ekonomi yang memburuk bisa memangkas kemampuan negara membiayai layanan kesehatan dan makin minimnya sumber daya, yang pada akhirnya juga menimbulkan bahaya baru bagi masyarakat.
Swedia sangat optimis menjalankan metode herd immunity ini karena punya sejarah keberhasilan menerapkannya saat wabah Flu Spanyol 1918-1919 dengan rasio kematian korban tak lebih dari 3 persen.
Anders Tegnell, epidemologist Swedia menjelaskan bahwa yang dilakukan Swedia saat ini adalah berupaya memperlambat laju penyebaran virus sembari membangun kekebalan kawanan.
Belanda juga memilih menerapkan herd immunity dan menolak lockdown. Karena lockdown hanya meredam persoalan ini sesaat. Pasca-lockdown kembali dibuka, masyarakat akan tetap menghadapi ancaman serius karena masih terlalu sedikit yang punya kekebalan terhadap covid-19. Apalagi hampir semua negara sudah terjangkit, butuh berapa lama lockdown diberlakukan hingga benar-benar aman?
Meski memilih strategi herd immunity, Belanda secara simultan juga tetap berusaha mengendalikan penyebaran virus dengan menghimbau warganya bekerja dari rumah dan menghindari berkerumun.
Inggris
Berbeda dengan dua negara tadi, Inggris tergopoh-gopoh mengakhiri strategi herd immunity dan segera memberlakukan lockdown setelah melihat jumlah korban yang terus berjatuhan.
Upaya Swedia dan Belanda menjalankan herd immunity ini sayangnya tak disertai dengan perlindungan fisik yang nyata bagi kelompok rentan dan lansia. Sehingga upaya menahan laju fatalitas belum tampak hasilnya. Tak tahu seberapa lama keyakinan mereka bertahan, atau bakal bernasib seperti Inggris.
Herd Immunity dan Zona Steril
Sebagian kalangan menganggap strategi menuju kekebalan kawanan (herd immunity) adalah pendekatan tepat. Mengingat masa inkubasi virus hanya 14 hari. Hanya saja perlu diikuti dengan perlindungan kelompok rentan dan lansia secara riil.
Tak ubahnya memisahkan celana jins baru dari baju-baju lama saat dicuci, karena jins baru dari toko ketika pertama kali dicuci warnanya masih bisa melunturi baju-baju lainnya. Baju-baju yang rentan dari kelunturan dipisahkan. Baki yang rentan luntur akan bertempur dengan sabun cuci dan akan baik-baik saja. Sedangkan baju-baju lama dipisahkan di bak cucian berbeda.
Sedangkan, lockdown tak ubahnya menghentikan proses mencuci baju, tapi jins baru dan baju lama tetap dalam rendaman bak yang sama. Ada dinamika mikro yang berpeluang menjadi katalis proses saling menodai yang lainnya. Kerja keras dan upaya penggelontoran dana untuk mencegah lunturan jins ke baju yang lain akan sia-sia dan sangat mahal. Ini ibarat mengharapkan hasil physical distancing dengan tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia saat ini.
Untuk mereka yang masuk kategori kelompok rentan dan lanjut usia, secara persentase jumlah mereka memang cukup banyak (15%) walau tidak besar banget. Setiap lembaga pemerintah level desa atau kecamatan perlu menentukan area steril masing-masing, entah itu berwujud bangunan milik negara, kompleks wisma penginapan, apa saja yang bisa difungsikan sebagai hunian sementara.
Berlakukan protokol pengamanan untuk mencegah penularan dari luar. Siapkan sanksi tegas buat yang tidak serius menjalankan.
Lakukan pendataan warga yang masuk kategori rentan dan lansia. Ungsikan mereka ke zona steril. Ijinkan anggota keluarga yang bisa mengurusi mereka menyertai, tentunya tetap dengan menjaga protokol mencegah penularan dari luar. Kalaupun tidak, negara bisa sediakan tenaga perawat yang punya kapasitas menghandle lansia dan kelompok rentan.
Di shelter itu mereka tetap bisa berinteraksi sosial tanpa was-was hingga periode menuju kekebalan kawanan tercapai. Sementara keluarga yang mereka tinggalkan semestinya tidak terlalu banyak terbeban, toh kebanyakan kaum rentan justru dianggap sudah tidak produktif. Dengan begitu kita bisa mengelola proses seleksi alam yang sedang berlangsung agar tidak sadis-sadis amat. Di sini anggaran penanggulangan pandemik ini digunakan.
Anggaran yang digelontorkan bisa lebih terarah dan jelas peruntukannya. Siapa yang disubsidi, apa wujud dan peruntukannya, bagaimana mengukur efektifitasnya, jauh lebih mudah dikontrol. Butuh biaya mahal? Seberapa mahal, tentunya tak semahal ketika denyut ekonomi melambat atau bahkan terhenti.
Yang Muda Jangan di Rumah Saja?
Bagi kelompok yang berusia muda, sehat, dan giat terus beraktifitas seperti biasa bisa tetap menggerakkan roda ekonomi dengan gembira. Mereka bisa menghadapi virus pendek usia itu tanpa risiko yang berarti. Tentunya dengan tetap berlaku hidup sehat dan jaga higienitas. Yang bandel mesti diberi sanksi tegas.
Pada prinsipnya kekebalan kawanan ini akan efektif jika disertai upaya pemisahan tegas secara fisik antara yang rentan dan yang mampu berperang. Sembari menanti, siapa tahu, vaksin antivirus covid-19 sudah ditemukan dan teruji.
Kalaupun belum, kaum rentan dan lansia tetap aman. Rumah sakit tak perlu dipaksa menjadi ruang isolasi mereka yang sesungguhnya bisa sembuh sendiri. Tenaga kesehatan bisa lebih rileks menjalankan tugasnya tanpa harus menjadi tumbal karena letih mengurusi membludaknya pasien dan kurangnya alat pengamanan diri.
Ketika kehidupan berjalan seperti biasa, suasana lebih kondusif. Pasukan ojek online tetap bisa cari penumpang, karyawan pabrik tidak was-was kehilangan pekerjaan, mereka yang pulang kerja tidak takut menulari keluarga dan kerabatnya yang mungkin rentan dan lansia. Roda perekonomian berputar gesit. Indonesia bisa kembali tersenyum, menyambut tantangan-tantangan baru yang lebih berkelas.
*) Penulis adalah anak muda yang bosan kerja di rumah.