Satu bulan ini ada tiga agenda yang cukup penting dan barangkali menjadi bagian catatan sejarah dalam hidup saya. Menyangkut organisasi dan bagaimana kaderisasi berlangsung dalam organisasi tersebut. Satu sama lainnya ada perbedaan, namun satu sama lainnya punya persamaan. Persamaan itu adalah bagaimana organisasi itu berjalan sesuai harapan bersama.
Agenda pertama adalah suksesi di tubuh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sumatera Barat. Basril Basyar (mantan komisaris PT Semen Padang) yang juga dosen saya di Fakultas Peternakan Unand mengakhiri masa jabatannya sebagai ketua PWI Sumbar untuk periode kedua.
Sesuai amanat organisasi yang terutang dalam Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga, pengurus pada jabatan yang sama tidak boleh lebih dari dua periode.
Suksesi PWI Sumbar telah berlangsung 26 Desember lalu, dalam sebuah konferensi yang berlangsung lancar dan cukup demokratis. Terpilih sebagai ketua H Heranof Firdaus, yang saat ini ditugaskan sebagai Kepala Seksi Pemberitaan di RRI Padang. ýTerpilihnya H Heranof dalam pemilihan suara tentu cukup beralasan, karena pengalamannya di dunia kewartawanan serta sepak terjang yang sudah jauh dari cukup. Sebagai pendampingnya dalam pemilihan tersebut, saya dapat memahami bahwa dari jarak umur saja kami terpaut cukup jauh, sekitar 17 tahun karena ketua terpilih kelahiran 1960, dan saya 1977. Artinya ketika masih duduk di sekolah dasar, senior saya itu sudah mengecap dunia kerja.
Biduak lalu kiambang batauik. Selesai pemilihan satu sama lain harus kembali berangkulan. Itu komitmen kami secara tidak tertulis. Walaupun sesungguhnya tanpa menyebutkan pepatah itu, kami sesungguhnya bukanlah kompetitor. Di antara kami bukanlah berebut kekuasaan menjadi orang nomor satu di PWI Sumbar. Tetapi paling pas mungkin kami hanyalah dua jurnalis berbeda generasi di Sumbar yang terhimpun dalam PWI, memperlihatkan dan mencoba menghidupkan gairah organisasi dalam proses kaderisasinya. Apapun proses itu, tetap bagian dari proses demokrasi.
Komitmen saling dukung siapapun yang terpilih tidak sebatas janji politik atau isapan jempol saat kami dimediasi tim mediator pusat dan daerah, sesaat sebelum pemilihan. Hanya beberapa hari setelah terpilih, ketua formatur yang juga ketua terpilih menghubungi saya agar bersedia jadi pengurus, bersama-sama menjalankan organisasi. Tentu saja dengan harapan dapat mewujudkan PWI yang lebih baik ke depan, baik internal maupun eksternal. Baju batik untuk pelantikan 23 Januari mendatang telah dibagikan, meski SK belum di tangan. Saya menjaga komitmen itu, sama-sama mengurus PWI.
Suksesi di tubuh PWI sudah berjalan baik, pengurus segera dilantik. Lalu bagaimana organisasi ini ke depan mampu menjalankan tugas-tugas organisasi dengan program kerja yang telah diamahkan dalam konferensi? Sebagai organisasi wartawan tertua dan jumlah anggota yang cukup banyak secara nasional maka bagian dari itu, PWI Sumbar punya tantangan tersendiri dalam menjalankan organisasinya.
Menjaga marwah wartawan Sumbar terutama yang tergabung di PWI merupakan pekerjaan utama, sebuah tugas berat dan sangat mulai selain tugas tugas rutin lainnya. Marwah wartawan tentu saja tergantung pada profesionalitas si wartawan, dan juga sangat dipengaruhi oleh tempat media bekerja. Bukan rahasia umum kalau masih banyak wartawan yang dihargai tidak sesuai dengan profesinya. Masih banyak wartawan yang tidak menerima kompensasi yang sewajarnya dari media tempatnya bekerja. Pertanyaannya, masih bangga dan bahagiakah wartawan dengan profesinya sebagai wartawan?
Kondisi miris kehidupan jurnalis jelas akan berpengaruh terhadap profesionalnya di lapangan. Sering kita dengar ucapan ucapan yang sangat memiriskan dalam profesi mulia sebagai wartawan, bahkan ucapan itu sering dilontarkan oleh petinggi petinggi pers, sebagai bukti banyaknya keluhan di lapangan, wartawan yang tak profesional. Wartawan yang tidak menjalankan tugas dan fungsi sebagai jurnalis, baik secara kode etik maupun mengacu UU Pers.
Ada istilah CNN yakni wartawan yang kerjanya “cuma nanya-nanya”. Ada istilah wartawan “bodrek” yang kehadirannya membuat narasumber atau orang lain sakit kepala. Ada juga “muntaber” yakni muncul tanpa berita. Ungkapan yang menjadi introspeksi penting bagi kalangan wartawan, bagi pengurus organisasi wartawan,dan bagi pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas kondisi itu. Tugas dan tanggung jawab perusahaan tempatnya bekerja juga sangat penting untuk mengatasinya.
Keterbatasan sebagian SDM wartawan plus keterbatasan media/perusahaan tempat bekerja seringkali menimbulkan polemik di lapangan. Berita tak proporsional/berimbang, berita yang tak memenuhi kaedah jurnalistik dan sebagainya. Dalam kondisi seperti Itu PWI tentunya punya peran sebagai organisasi yang menjaga marwah profesi wartawan. Agar ke depan, marwah wartawan semakin terangkat, kemampuan jurnalisnya makin terasah dan tingkat kesejahteraan semakin menjanjikan.
Agenda kedua adalah agenda yang cukup penting dalam profesi dan pekerjaan sehari-hari, menyangkut posisi di perusahaan. Di awal tahun 2017 struktur baru di Padang Ekspres Group kembali diumumkan, terutama manajemen operasional. Inilah kelebihan perusahaan tempat kami bekerja, penyegaran organisasi selalu dilakukan tiap saat, sesuai kebutuhan manajemen dan kondisi perusahaan.
Penyegaran tak hanya dalam siapa yang dipercaya dalam struktur saja, tetapi juga pola manajemen yang menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Tentu saja sebagai sebuah perusahaan, manajemen Padang Ekspres Group menempatkan personel SDM nya sesuai kebutuhan perusahaan. Siapa ditempatkan sebagai apa, tentunya melalui pertimbangan yang sangat matang, demi jalannya organisasi dan demi kelangsungan perusahaan.
Padang Ekspres Group sangat berbeda dengan organisasi PWI yang saya sebutkan di atas, di PWI ada memilih dan dipilih, sedangkan perusahaan merupakan kepercayaan dari atasan. Siapapun pasti tahu soal itu. Saya pun sangat bersyukur tetap diberikan amanah sebagai direktur di Padang Intermedia Pers (Penerbit Padang Ekspres), dengan Direktur Utama H Marah Suryanto. Posisi direksi ini belum berubah sampai ada keputusan selanjutnya, tentu sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku dalam UU Perseroan.
Agenda atau prosesi ketiga yang masih dilalui adalah kaderisasi dalam kaum, ketika mamak kepala kaum yang memangku gelar Datuk meninggal dunia. Ketika Datuk di satu kaum meninggal, biasanya ada prosesi yang dilalui selain fardu kifayah, proses memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Prosesi itu adalah siapa yang menggantikan/menyandang gelar datuk yang ditinggalkan.
Bila di PWI berlaku pemilihan hingga voting atau pemungutan suara. Bila di banyak perusahaan menempati posisi jabatan ditentukan atas kepercayaan atasan, maka di dalam prosesi adat menentukan penyandang gelar penghulu atau datuk, ada prosesi tersendiri yang dilalui.
Tak hanya berdasrkan manitiak dari langik, mambusek dari bumi saja, tetapi betul-betul memperhatikan azas mufakat untuk mencari “bulek dapek digolongkan, picak dapek dilayangkan”. Saya cukup beruntung dari berbagai organisasi dan kaderisasi mulai yang bersifat profesi, yang bersifat perusahaan, dan yang bersifat kaum berkesempatan untuk berproses di dalamnya.
Mancancang indak sakali putuih, serta dalam rangka menghindari “mancucuak an kayu nan bajupang” akhirnya prosesi menggantikan penyandang gelar datuk itu ditunda.
Dari tiga proses di atas satu hal yang dapat dipetik dan mungkin jadi catatan kita bersama adalah, bagaimana sebuah organisasi dapat menjaga proses kaderisasinya dengan baik, sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku. Proses kaderisasi yang baik dalam sebuah organisasi akan menjadi awal langgengnya organisasi tersebut. (*)
LOGIN untuk mengomentari.