Ada Indikasi Pembagian Uang 1,5-2 Persen ke Aparat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara soal operasi tangkap tangan (OTT) jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu yang dituding hanya OTT recehan.
KPK memastikan, uang Rp 10 juta yang diamankan saat OTT terhadap Kasi III Bidang Intelijen Kejati Bengkulu Parlin Purba hanya bagian dari indikasi ”uang keamanan” untuk proyek besar bernilai puluhan miliar.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, pihaknya tidak pernah melihat jumlah objek uang dalam OTT. Menurutnya, mayoritas operasi khusus tersebut bertujuan sebagai pintu masuk untuk menyelamatkan kerugian negara lebih besar di balik OTT itu.
”Kami pernah OTT Rp 100 juta, di balik itu ternyata diselamatkan ratusan miliar,” bebernya di gedung KPK, kemarin (13/6).
Laode menyatakan, dari dokumen yang disita penyidik KPK, terungkap bila ada indikasi pembagian ”uang keamanan” ke aparat penegak hukum berkisar 1,5-2 persen dari anggaran proyek di bawah Balai Wilayah Sungai Sumatera (BBWS) senilai Rp 90 miliar. Artinya, OTT jaksa Parlin Purba menjadi bagian dari penyelamatan kerugian negara yang lebih besar.
”Kami bicarakan semua dari proyek yang besar itu,” ungkapnya. Sebagai catatan, suap untuk jaksa Parlin berawal dari proyek yang dikerjakan PT Mukomuko Putra Selatan Manjunto (MPSM), rekanan BBWS VII, tahun anggaran 2015-2016. Proyek itu bermasalah dan diusut seksi III intelijen Kejati Bengkulu. Kasus itulah yang dijadikan objek suap oleh kedua belah pihak.
Menurut Laode, pihaknya sudah bertemu Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono untuk menjelaskan persoalan tersebut. Menurutnya, penangkapan itu menjadi momentum untuk memperbaiki kinerja kejaksaan. ”Kami tegaskan ini adalah oknum. Ada 6 ribuan jaksa di seluruh Indonesia, jadi tidak boleh digeneralisir,” bebernya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, tudingan OTT recehan yang beberapa waktu lalu marak dikampanyekan para jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) semestinya tidak dilakukan. Reaksi berlebihan dengan tanda pagar (tagar) #OTTRECEHAN tersebut berlawanan dengan perspektif antikorupsi.
”Karena bunyinya OTT recehan, bukan korupsi recehan,” ujarnya kepada Jawa Pos. Menurut dia, kalimat tersebut menyindir langkah OTT KPK, bukan perilaku koruptif Parlin yang tertangkap tangan gara-gara menerima suap Rp 10 juta dari pejabat pembuat komitmen (PPK) BBWS VII Amin Anwari dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo Suhardi.
Sebagai catatan, ada dua kalimat sindiran ber-hashtag #OTTRECEHAN yang beredar viral kemarin. Kedua kalimat itu disampaikan dengan cara dipegang oleh jaksa perempuan dan jaksa pria yang sama-sama berseragam korps adhyaksa dengan simbol pangkat 2 bordir kuning melati di dalam kotak bordir kuning (jaksa madya/pembina).
Menurut Supriyadi, munculnya kalimat-kalimat sindiran tersebut bisa dibilang sebagai perlawanan para jaksa terhadap upaya OTT KPK. Bila benar demikian, hal tersebut menunjukan bahwa para jaksa tidak ingin diawasi oleh aparat penegak hukum (apgakum) lain. ”Di kejaksaan sendiri pengawasan internal kurang maksimal. Tidak akan mampu melakukan OTT seperti KPK,” terangnya.
Semestinya, para jaksa tidak perlu membuat tulisan berbau kampanye kontraproduktif seperti itu. Apalagi, kalimat-kalimat yang disampaikan tidak jelas ditujukan untuk siapa. Menurut Supriyadi, para jaksa harusnya mendukung OTT KPK. ”Sebagai jaksa yang baik, mereka harus mendukung OTT itu, bukan malah membuat gambar kampanye yang aneh-aneh,” sindirnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.