Kebijakan Direksi Sudah Tepat
Upaya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim untuk menjerat Dahlan Iskan melalui penjualan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Sebab, jaksa dalam memperkarakan penjualan itu tidak memperhatikan business judgement rule. Apalagi, rapat umum pemegang saham (RUPS) sudah menerima pertanggungjawaban Dahlan.
Guru besar hukum UGM Prof Nindyo Pramono menyatakan, aparat penegak hukum harus menghormati prinsip bisnis dalam UU Perseroan Terbatas (PT). Termasuk segala organnya seperti RUPS sebagai bentuk pertanggungjawaban direksi.
“Kalau sudah mendapat acquit et de charge saat RUPS, harusnya clear. Tidak ada lagi tanggung jawab direksi di kemudian hari,” katanya saat dihubungi kemarin.
Acquit et de charge adalah istilah membebaskan direksi atas tanggung jawab selama kepengurusan. Keputusan itu hanya bisa didapat melalui RUPS. Hal tersebut sudah masuk dalam aturan sehingga tidak sepatutnya segala prosesnya diobok-obok lagi. “Sebab, sudah mendapat persetujuan RUPS,” tegasnya.
Nindyo menjelaskan, apa yang dirinya sampaikan itu tidak hanya berlaku untuk kasus Dahlan. Acquit et de charge adalah norma umum yang terdapat dalam PT. Jika dipaksakan, penegak hukum seharusnya tidak hanya mempermasalahkan Dahlan. Namun, unsur dalam pemerintah provinsi selaku wakil negara dan pemegang saham juga harus dimintai pertanggungjawaban.
“Kalau pemegang saham sudah menyetujui (dalam RUPS), lalu di kemudian hari Pak Dahlan dinyatakan bersalah, berarti pemegang saham ikut salah atas apa yang dilakukan direksi. Itu kalau mau fair ya,” imbuhnya.
Padahal, secara logika, negara tidak mungkin melakukan korupsi. Karena itulah hukum bisnis menolaknya. Kalau dalam RUPS sudah mendapat acquit et de charge, pertanggungjawaban direksi menjadi selesai. Tidak bisa tiba-tiba direksi ditembak telah melakukan korupsi. “Teorinya bernama piercing the corporate veil. Mosok negara atau pemerintah selaku RUPS ikut korupsi,” terangnya.
Dia lantas mengutip pasal 3 UU PT yang menyebut pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dalam ayat 2, ketentuan itu tidak berlaku apabila ada empat hal melawan hukum.
“Ayat 2 berlaku. Logika hukumnya, jika RUPS sudah menyetujui direksi untuk jual aset, berarti apa yang dilakukan direksi sudah betul,” tandasnya. Dia juga menegaskan, dalam BUMN atau BUMD yang sudah berbentuk PT, harus berlaku rezim UU PT sebagai hukum spesialis (lex specialis derogat lex generalie).
Sebagaimana diketahui, proses penjualan aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung pada 2002, serta 2003 sudah dilaporkan dalam RUPS. Perseroan yang 99 persen sahamnya dimiliki Pemprov Jatim itu menerima pertanggungjawaban direksi. Terbukti, Dahlan tetap dipercaya menjadi pucuk pimpinan perseroan hingga 2009.
Sorotan terhadap perkara tersebut juga disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Setelah mengikuti perkembangan kasus dan datang sendiri dalam dua edisi persidangan Dahlan, Mahfud tidak menemukan unsur korupsi dalam kebijakan Dahlan. “Hakim harus melihat fakta hukum. Kalau orang tidak korupsi, ya jangan dikorupsikan,” tegasnya.
Dalam pandangan dia, tidak ada unsur korupsi saat proses pelepasan aset PT PWU Jatim. Sebab, tidak terbukti adanya upaya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, melanggar hukum, dan merugikan negara. Sebab, ada fakta bahwa seluruh uang yang diperoleh dari penjualan aset sudah masuk ke rekening perusahaan.
Ucapan Mahfud tersebut benar adanya. Malahan, telah jelas dalam sidang, ada saksi yang membenarkan bahwa Dahlan memang tidak mau digaji atau menerima fasilitas dari PWU selama menjadi direktur utama. Bahkan, ada saksi yang mengaku pernah dimarahi Dahlan saat mentransfer sejumlah uang ke rekening Dirut waktu PWU jauh lebih maju secara keuangan.
Sementara itu, guru besar hukum ekonomi Universitas Indonesia (UI) Prof Erman Rajagukguk menuturkan, perkara yang dipermasalahkan terhadap Dahlan seharusnya bukan ranah pidana korupsi.
“Persoalan itu lebih ke arah perdata. Soal PT (perseroan terbatas, red), bukan pidana. Beliau itu kan tidak menggelapkan, tidak menyuap. Kalau ada sengketa atau pelanggaran, harusnya ranahnya perdata,” jelasnya.
Menurut Erman, keuangan BUMN atau BUMD yang berbentuk perseroan terbatas seharusnya dimaknai bukan sebagai keuangan negara, melainkan keuangan perusahaan sebagai badan hukum. Karena itu, jika dinilai ada kerugian yang dialami perusahaan tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi persoalan internal.
Seorang pemegang saham bisa mempermasalahkan melalui ranah gugatan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 61 ayat (1) UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Bunyinya, setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, dan/atau dewan komisaris. Nah, jika pemegang saham tidak mempermasalahkan tindakan korporasi yang dilakukan direksi, berarti memang tidak terjadi masalah.
Tidak setiap kesalahan dalam tindakan korporasi juga menjadi tangung jawab dewan direksi. Sebab, direksi bisa saja menunjuk pelaksana teknis. Ketika dalam praktiknya pelaksana teknis itu menyeleweng atau melakukan penyimpangan, pelaksana teknislah yang bertanggung jawab.
“Dalam KUHP sudah jelas dimulai dengan kalimat barangsiapa…,” tutur Erman. Jadi, siapa yang bertanggung jawab ya yang melakukan penyelewengan atau penyimpangan itu. (*)
LOGIN untuk mengomentari.