in

Pancasila dan Adat Minangkabau

Pancasila hangat dibicarakan kembali. Mungkin kita sebagai anak bangsa mulai dari rakyat sampai pemimpinnya sudah agak lupa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah hidup bangsa dan landasan ideal pembangunan Indonesia. 

Lupa memang sifat manusia. Jangankan Pancasila yang kita lupakan selama ini, shalat dan berzakat dua dari rukun Islam bagi umat Islam, terkadang ada pula lupa menjalankannya. 

Sekarang kita jangan lupa lagi dengan Pancasila. Pancasila itu sakti ditinjau dari berbagai aspek. Arti kesaktian itu: Pancasila itu rahmat Allah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia; Pancasila itu menghormati hak asasi manusia; Pancasila itu mempersatukan anak bangsa Indonesia; Pancasila itu menegakkan demokrasi sejati Indonesia; Pancasila itu menjalankan keadilan dan menyejahterakan rakyat Indonesia. 

Kesaktian Pancasila itu sudah ampuh  dan mampu mempersatukan bangsa Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945. Sekarang kita bangga sedikit, dalam kalender nasional 1 Juni sudah ditetapkan sebagai hari lahir  Pancasila. Lembaga negara dan swasta mulai dari pusat sampai daerah yang terendah dan terujung sudah memperingatinya setiap 1 Juni dalam bentuk upacara bendera resmi. 

Masa tahun 70-an sampai tahun 80-an setiap anak bangsa diberi penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P4 ini di bawah sebuah badan resmi negara yang dibentuk Soeharto, Presiden RI ketika itu. Badan bernama BP7. BP7 adalah singkatan dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.   

Kalau kita simpulkan sebagian pendapat ahli dalam tulisan berjudul “Pembubaran BP7 Sebuah Kesalahan Sejarah” pada 9 Mei 2017, pukul 17:30, artinya pewaris bangsa ini akan kehilangan sejarah di kemudian hari. Kini masyarakat sudah jenuh melihat dinamika sosial-politik yang kebablasan di negeri ini. Rakyat lambat namun pasti ingin kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa.

Ideologi dunia yang berkembang pada era globalisasi dirasa tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Rakyat mulai capek disuguhi tayangan media elektronik dan berita media cetak serta media sosial yang mempertontonkan dan memberitakan konflik sosial di akar rumput maupun konflik para elite politik yang terus berepisode. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mulai rindu pada zaman Orde Baru di bawah era Pak Harto. Mungkin bukan Pak Harto sebagai sosoknya karena telah tiada, namun nilai-nilai positif dari kepemimpinannya yang mesti diambil dan dilestarikan. Salah satunya adalah pengamalan Pancasila yang dilakukan secara sistematik di pendidikan sekolah di bawah koordinasi BP7.

Dulu, pada era Soeharto, sejak 1970, potensi-potensi konflik horizontal seperti terjadi hari ini sudah ada. Namun, dengan langkah-langkah strategis pemerintah menjaganya. ABRI punya program Binter (Pembinaan Teritorial), di setiap desa ada Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan di setiap tingkat pemerintahan ada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari Dandim/Danrem, Kapolres/Kapolda, Bupati/ Wali Kota/Gubernur, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat lokal. Di tingkat pusat ada Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang menjaga agar tidak ada konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Pengikatnya adalah Pancasila. 

Untuk mengikat bangsa ini dengan Pancasila dibuatlah BP7, sebuah lembaga tinggi negara yang tugasnya menjaga ideologi Pancasila. BP7 bertugas merancang program-program penataran P4 (semua wajib ikut) dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional disebut Manggala P4, dan di tingkat daerah penatar P4. Suka atau tidak, kedua metode yang dilaksanakan bersamaan ini: metode koersif (kopkamtib) dan persuasif (BP7), terbukti ampuh.

Masyarakat hidup tenang dan pembangunan maju pesat seakan terbang. Namun, tahun 1998, ABRI (sekarang: TNI) disuruh masuk kandang dan BP7 dibubarkan dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Jadi, metode persuasi juga dilarang. Bahkan, asas tunggal Pancasila dihapuskan sama sekali. Semua orang mulai bersifat congkak, suka-suka menganut asas apa pun sehingga orang boleh saja saling bunuh, menodai agama, bahasa kebencian, melakukan politik uang, korupsi, pungli, narkoba, maksiat, perampokan, penipuan, LGBT, atau kepentingan tertentu karena tidak ada lain yang benar, kecuali kebenaran diriku sendiri  atau kelompok kami yang benar atau partai saya yang hebat. BP7 mampu meminimalkan sifat kecongkakan itu semua atau mengurangi sifat-sifat tercela. 

Pembubaran BP7 adalah tindakan MPR yang kebablasan karena euforia kala itu yang “mewajibkan” semua yang berbau Orde Baru harus dihilangkan. Padahal Pancasila bukan identik Orde Baru atau Soeharto, bahkan Pancasila sudah dikumandangkan sejak zaman Bung Karno tahun 1945. 

Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang hidup dan ada di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan tidak ada pengikat bangsa yang multimajemuk yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, muncullah BP7, maka Tunggal Ika itu kuat kembali oleh Pancasila yang mengikat dan menyatukan segala kemajemukan di wilayah RI. Maka, saya pikir sudah saatnya kita hidupkan lagi BP7 atau semacam BP7 Reformasi, atau cari nama baru yang penting kita kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 

Tentunya metode-metode paksaan seperti indoktrinasi P4 tidak lagi dipakai. Sekarang kalau bangsa ini ingin memfungsikan kembali semacam fungsi BP7 perlu dibentuk lembaga baru atau lembaga BP7 dihidupkan kembali. Fungsinya adalah menyusun strategi guna mendayagunakan institusi dan pranata masyarakat (LSM, perkumpulan, agama, pemerintah, adat, swasta, dan lain-lain) untuk menegakkan Pancasila. 

BP7 juga bertugas mengingatkan semua pihak jika ada praktik-praktik ataupun kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila. BP7 yang baru harus menyusun program sesuai nuansa zaman. Terbebas daro indoktrinasi dan pola-pola birokrat yang cenderung menggurui atau mendikte. Program pendidikan Pancasila dilaksanakan dengan kreatif edukatif dan melibatkan partisipasi guru dan siswa.

Penerapan kemajuan teknologi juga dikembangkan dalam kerangka penyebarluasan pengamalan nilai Pancasila. Nanti lembaga tersebut dijadikan semacam training center yang mencetak generasi penerus berkarakter Pancasila. 

Semoga pemerintahan Jokowi-JK, yang sering nyaring mengumandangkan “lagu” Pancasila saat kampanye mewujudkan lembaga penggemblengan moral ini sebagai bagian dari revolusi mental dengan program Nawacitanya. Konkretnya mari bangsa ini membangun Labor Etika Pancasila atau nama lain. Alasannya, dulu kalau ada orang macam-macam tingkah laku atau perangainya, baik terhadap negara atau pun terhadap antar-individu dan atau terhadap kelompok, maka kita gunakan kata-kata “orang itu atau mereka tidak pancasilais”.

Kalau ada orang mengucapkan kata-kata itu kepada seseorang atau kepada kita, maka  rasanya kita tak bernilai lagi di mata orang, rasa menyesal keluar, budi rasanya sudah tergadai, malu rasanya sudah terjual, akhlak sudah luntur, cemas kita tidak berguna lagi oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, takut kita dihukum Tuhan.     

Sekarang kita lihat Pancasila dari sisi Adat Minangkabau yang berfilosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABSSBK), Syara’ Mangato Adat Mamakai (SMAM), Alam Takambang Jadi Guru (ATJG). Kalau kita kutip pendapat Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, Ketum LKAAM 1999-2010 dalam bukunya Mesin Ketik Tua (2005), disebutkannya dialog Profesor Mr. M. Yamin Dt Bagindo Khatib atau dipanggil Angku Yamin dan Ir Soekarno atau dipanggil Bung Karno bahwa Pancasila itu dengan Adat Minangkabau ibarat “air dalam lukah atau lukah dalam air”. Demokrasi tidak lagi demokrasi Pancasila tetapi kesenangan memakai demokrasi liberal. 

Kecendrungan demokrasi liberal adalah yang kuat menjadi pengusaha  yang banyak duit menjadi penguasa. Sesudah itu penguasa cenderung berselingkuh dengan pengusaha. Bila terjadi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang menderita rakyat jelata. 

Demokrasi Pancasila kalau dipahami dengan baik sebenarnya sudah diwariskan oleh Dt Katumanggungan dengan sistem aristokrasi atau titik dari atas dan demokrasi yang diwariskan Dt Parpatiah Nan Sabatang  dengan sistem  kooperasi atau membesut dari bawah. Secara nasional dikenal dengan demokrasi Pancasila. 

Demokrasi Pancasila dengan demokrasi Minangkabau, kata Mr M Yamin “entah air di dalam lukah, entah lukah di dalam air”. Maksudnya sulit kita mengatakan pasti ketika lukah dimasukkan ke dalam air, airpun masuk ke dalam lukah. Ketika air masuk ke dalam  lukah, lukahpun berada dalam air. Kalau kita kutip kembali pendapat di atas bahwa “Pembubaran BP7 Sebuah Kesalahan Sejarah”.

Artinya pewaris bangsa ini akan kehilangan sejarah di kemudian hari. Kalau di Minangkabau yang dicemasi itu adalah urang daulu mandapek, urang kudian kailangan atau “ orang dahulu mendapat, orang kemudian kehilangan”. Artinya, pendahulu bangsa ini menikmati betapa ampuhnya Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Sedang generasi sekarang merasa terganggu kenikmatan hidupnya di tengah bangsa yang kegiatannya cenderung disintegrasi bangsa yang berjiwa intoleransi, suka membuat bahasa kebencian, dan macam-macam lagi fiil dan kurenah yang potensi merusak persatuan bangsa dan melemahkan kekuatan negara.

Saya selaku mamak urang Minang yang didahulukan salangkah ditinggikan sarantiang  secara organisasi adat tertinggi resmi di Sumbar yang bernama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang ikut menumpas PKI di ranah Minang bersama ABRI, mengimbau anak kemenakan di ranah maupun rantau janganlah ikut-ikutan menantang Pancasila. Sebab orang Minang bersama putra Indonesia terbaik lainnya sudah menanam saham waktu membidani lahirnya Pancasila. Saham itu ditanam Angku Yamin, Bung Hatta, Datuk Tan Malaka, Sutan Syahril, Inyiak Agus Salim, Buya Hamka dan banyak lagi tokoh Minang yang menanam saham di negara ini.

Saham itu kalau boleh dipadankan dengan kata menanam budi. Artinya orang Minang sudah menanam budinya untuk negara ini. Berdosa orang Minang kalau generasi sekarang mencabut saham budi orang Minang di negara ini. 

Orang Minang itu yang ditonjolkannya adalah budi atau akhlak mulia. Fatwa Minang yang harus dipegang antara lain adalah nan kuriak kundi nan merah sago, nan baiak budi, nan indah bahaso atau “yang kurik kundi, yang merah saga, yang baik budi, yang indah bahasa”. Artinya, tanda tanda orang Minang sejati itu menurut Mr. Nasrun adalah terlihat penampakan budi dan santun bahasanya dalam tindak tanduknya sehari hari di manapun ia berada. Jadi kalau ada anak Minang sejati yang ikut ikutan menolak Pancasila maka orang itu pantas dicabut statusnya sebagai anak Minang sejati.

Semoga Pancasila jaya kembali. Mari kita jadikan Pancasila dan adat Minangkabau sebagai pilar memperkuat Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI) dan ranah bundo Minangkabau yang bersifat istimewa. NKRI berbeda maknanya dengan NPRI menurut ahli bahasa. Kalau ada yang bertanya nanti dibahas lagi. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kita yang Besarkan HTI Rasanya

Napi LP Pekanbaru Ditangkap di Padangsago