in

Para CEO Global Khawatirkan Iklim Geopolitik

JAKARTA – Perusahaan jasa KPMG baru-baru ini merilis data yang mengejutkan. Mereka menyatakan bahwa para Chief Executif Officer (CEO) perusahaan-perusahaan di Tiongkok pesimistis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global. Pimpinan perusahaan itu khawatir terhadap perubahan iklim geopolitik ke depan.

Lebih dari separuh para CEO berpendapat ketidakpastian karena pergeseran lingkungan akibat globalisasi dan proteksionisme akan berdampak terhadap organisasi perusahaan. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mengatakan pesimisme ekonomi global menurut pandangan CEO Tiongkok juga berkaitan dengan lesunya pasar ekspor yang ditunjukkan oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi AS.

“Bahkan pada 2017, ekonomi AS diprediksi tidak akan mencapai target pertumbuhan 2 persen,” kata Bhima, di Jakarta, Jumat (30/6). Pemulihan ekonomi global yang lambat, menurut Bhima, akan memukul industri manufaktur Tiongkok. Fenomena perusahaan zombie di negara Tirai Bambu itu dengan cashflow negatif masih jadi tantangan.

Tantangan besar lainnya adalah fluktuasi harga komoditas membuat ekonomi dunia, terutama negara berkembang diambang ketidakpastian. “Dalam 2–3 tahun ke depan pesimisme ekonomi dunia masih terus berlanjut,” katanya. Antisipasinya, kata Bhima, dengan mendorong faktor domestik seperti konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Proses rebalancing di Tiongkok sayangnya belum membuahkan hasil. Padahal rebalancing atau proses penguatan permintaan domestik bisa menjadi jalan keluar atas lesunya ekspor industri di Tiongkok.

Daya Beli Lemah

Sementara itu, di dalam negeri sendiri, Bhima memprediksi Indonesia akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Hal itu dapat dilihat dari berbagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama dari sisi pertumbuhan ritel, data Aprindo menunjukan hingga semester I hanya tumbuh 3,8 persen meskipun ada momen Ramadan dan Idul Fitri.

“Dari pertumbuhan ritel, di 2016 itu 12 persen. Tapi, ada kekhawatiran pertumbuhan ritel di 2017 ini hanya 10 persen. Ini menandakan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat masih lemah,” kata Bhima. Lemahnya daya beli masyarakat ini, menurut Bhima, secara tidak langsung karena tekanan inflasi.

Kemudian, di semester ke dua ke depan suku bunga Bank Indonesia dipastikan akan naik disebabkan kenaikan suku bunga the Fed yang rencananya akan dinaikkan lagi. Ini akan menyebabkan suku bunga kredit naik dan lebih mahal. “Ini akan menjadi beban masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk menutup bayar utangnya, atau cicilanya akan naik.

Ini pasti akan mengurangi konsumsi,” katanya. Dari sisi investasi juga belum bagus. Tahun lalu, realisasi investasi mencapai 12,4 persen yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan, Bhima juga memprediksi investasi 2017, hanya akan berada di rentang 11–12 persen. “Jadi masih berat dari sisi investasi,” katanya. Selain itu, dari sisi belanja pemerintah juga banyak terjadi pemangkasan anggaran. Serapan anggaran pun dinilai tak maksimal.

Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang memiliki alokasi anggaran terbesar, sampai dengan Juni 2017, anggaran yang terserap baru 29 persen. “Itu di bawah target 32 persen. Artinya, dorongan dari belanja pemerintah belum optimal. Padahal, belanja pemerintah bisa 6–7 persen terhadap PDB,” katanya. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,04 persen, tetapi sampai dengan akhir tahun, meskipun berat pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bisa mencapai 5,1 persen. ach/E-9

What do you think?

Written by virgo

Lippenstift!Museum Unik Jerman,Cocok Banget nih Buat Cewek!

Pemkab Badung Transformasi Administrasi Pajak