JAKARTA – Pilkada serentak 2018 setidaknya akan diikuti oleh 8,85 persen perempuan. Meski tak signifikan, angka tersebut meningkat jika dibandingkan partisipasi perempuan di Pilkada 2015 sebesar 7,47 persen.
Namun latar belakang perempuan yang mendaftar sebagai calon kepala daerah, masih didominasi oleh kader partai. Berdasarkan data pada infopemilu. KPU.go.id, per Selasa (20/2), tercatat, 49 perempuan mendaftarkan diri menjadi calon wakil kepala daerah (8,60 persen).
Dua orang perempuan mendaftar sebagai calon gubernur, yakni Khofifah Indar Parawansa, di Jawa. Timur, dan Karolin Margaret Natasa, di Kalimantan Barat. Perempuan- perempuan tersebut, mendaftar di 78 (45.61 persen) daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2018.
Mereka tersebar di tujuh provinsi, 26 kota, dan 45 kabupaten. “Latar belakang perempuan pendaftar calon kepala daerah, masih didominasi oleh kader partai, perempuan dengan jaringan kekerabatan, mantan anggota DPR/DPD/DPRD,
dan petahana,” ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni, dalam diskusi bertema ‘ Potret Perempuan Calon Kepala Daerah di Pilkada 2018’, di Media Center KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Rabu (21/2).
Titi menilai, ada dua hal yang melatar belakangi perempuan menjadi calon kepala daerah di Pilkada, pertama, partai masih saja pragmatis dan berorientasi pada aspek elektabilitas dan kekuatan modal.
Kedua, partai tak memiliki suplai kader perempuan yang memadai. Kecenderungan ini terjadi karena partai tak memiliki mekanisme perekrutan anggota yang inklusif dan terbuka.
Dua faktor tersebut, menunjukkan tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik bisa ditingkatkan apabila kita bisa mengubah paradigma dan perilaku partai jadi lebih terbuka terhadap perempuan.
Partai dituntut untuk tidak lagi mencalonkan perempuan dengan hanya mempertimbangkan elektabilitas tinggi, tetapi mencalonkan perempuan yang berkualitas.
“Bergabung dengan partai adalah jalan ‘antara’ yang ditempuh perempuan untuk menujunkuasa pemerintah daerah,” tutur Titi Anggraeni.
Apalagi dalam UU 10/2016 tentang Kepala Daerah tak mengenal kebijakan khusus untuk mengusung calon perempuan, sehingga tidak ada tindakan khusus sementara bagi perempuan seperti kebijakan afirmasi di pemilu legislatif.
Ditambah lagi, pilkada yang digelar satu putaran akan akan membuat persaingan semakin ketat dan menyulitkan keterpilihan perempuan yang jumlahnya sudah sedikit. Padahal, perempuan masih membutuhkan afirmasi di pencalonan eksekutif, terutama Pilkada.
Karena Pilkada menjadi ruang strategis untuk menegosiasikan program dan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Oleh karena itu, regulasi di tatanan daerah berikan peraturan daerah sering kali justru menjadi ancaman terhadap perempuan itu sendiri.
“Mendorong perempuan menjadi kepala daerah bisa ditempuh melalui dua jalur; partai maupun perseorangan, sehingga jalur tersebut meski juga diterapkan,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan Koordinator Asosiasi Maju Perempuan Indonesia (MPI), Lena Maryana Mukti, yang mengkritisi salah satu syarat verifikasi faktual parpol yang ingin menjadi peserta Pemilu 2019, yakni terkait keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Persyaratan keterwakilan perempuan tersebut, tidak menunjukkan kesadaran partai politik untuk melibatkan perempuan dalam struktur kepengurusannya. rag/AR-3