in

Patrialis Coreng Wajah Mahkamah

Jadi Tersangka Suap, lalu Sebut Dirinya Dizalimi

Dengan segala kewenangannya, termasuk mengubah undang-undang, Mahkamah Konstitusi (MK) bersama para hakim konstitusi sering disebut  “dewa”. Namanya dewa, tentu saja mereka harus punya moral bagus karena kewenangannya sangat besar. 

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Patrialis Akbar, seorang hakim MK, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu malam (25/1). Patrialis diduga melakukan “jual beli” putusan uji materi alias judicial review (JR). Dia diduga menerima commitment fee berupa USD 20 ribu dan voucher SGD 200 ribu.

Uang sekitar Rp 2 miliar itu diberikan importer daging Basuki Hariman. Bagi MK yang sedang memperbaiki citra karena suap mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013, penangkapan Patrialis tentu kembali memperburuk citra.

Ketua MK Arief Hidayat meminta maaf sekaligus memberikan dukungan kepada KPK untuk menuntaskan masalah itu. 

“MK mempersilakan KPK untuk mengusut kasus tersebut secara tuntas. Bahkan, delapan hakim dan semua staf di MK diperbolehkan untuk diperiksa tanpa harus menunggu persetujuan presiden,” katanya kemarin (26/1).

Kasus suap yang diungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) itu berkaitan dengan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 yang sedang dimohonkan uji materi di MK.

Basuki diduga kuat menginginkan JR yang dimohon perwakilan asosiasi peternak lokal, petani, pedagang dan konsumen daging itu dibatalkan MK. Sebab, permohonan tersebut terkait sistem zona impor hewan ternak.

“Kami sangat bersyukur ada OTT itu,” ujar Teguh Boediyana, ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang juga pemohon perkara tersebut, kemarin (26/1). 

Sejak diajukan ke MK 16 Oktober 2015, pengujian materi UU Nomor 14/2014 tentang Perubahan UU Nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap UUD 1945 tersebut belum diputus MK hingga kini. “Terakhir sidang 12 Mei 2016,” lanjutnya.

Total, ada empat tersangka dari sebelas orang yang ditangkap dalam OTT itu. KPK memulai operasi itu dengan menangkap Kamaludin di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur, pada pukul 10.00, Rabu (25/1).

Kamaludin merupakan perantara uang suap dari Basuki untuk Patrialis. Tim KPK kemudian bergerak ke kantor Basuki di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Di lokasi kedua tersebut, KPK menangkap Basuki dan sekretarisnya, Fenny.

Setelah itu, KPK menangkap Patrialis di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada Rabu pukul 21.30. Empat orang tersebut digiring ke kantor KPK, lalu ditetapkan sebagai tersangka.

Patrialis dan Kamaludin disangka sebagai penerima suap. Sedangkan Basuki dan Fenny yang merupakan pimpinan di perusahaan importer daging, PT Impexindo Pratama, dijadikan tersangka sebagai pemberi suap.

Selain empat orang itu, KPK juga mengamankan tujuh orang lagi yang kini berstatus sebagai saksi. Mayoritas merupakan karyawan Basuki. Ada pula beberapa perempuan yang diamankan bersama Patrialis.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, empat tersangka dan tujuh saksi diperiksa intensif sejak Rabu di gedung KPK. Dia menyebutkan, Kamaludin yang menjadi perantara suap merupakan teman Patrialis.

Kamaludin menghubungkan Basuki dan Patrialis untuk pemberian suap tersebut. Diduga, komunikasi antara Patrialis dan Basuki yang terkait dengan permohonan uji materi UU 14/2014 itu dilakukan sejak lama.

“BHR (Basuki Hariman, red) dan NGF (Fenny, red) selaku importer daging melakukan pendekatan ke PAK (Patrialis Akbar, red) melalui KM (Kamaludin, red). Ini dilakukan agar bisnis impor daging (Basuki, red) dapat lebih lancar,” jelasnya saat konferensi pers di gedung KPK kemarin. 

Patrialis dan Kamaludin sebagai penerima suap dijerat Pasal 12 huruf c atau Pasal II UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Basuki dan Fenny sebagai pemberi suap disangka dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Basuki bukan nama baru dalam kasus suap yang terkait dengan impor sapi dan daging. Sebelumnya, dia tersandung masalah korupsi suap impor daging yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq (politikus PKS) pada 2013. ”Sekali lagi KPK memperingatkan penyelenggara negara untuk tidak menerima suap,” tutur jebolan perwira tinggi Polri itu.

Sayang, KPK belum mau membeberkan lebih jauh keterlibatan hakim MK lain dalam kasus suap itu. Sebagai catatan, ada sembilan hakim MK yang memiliki kewenangan memutuskan permohonan uji materi.

Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bukan hanya Patrialis yang terlibat. “Terkait dengan itu (keterlibatan hakim MK lainnya, red) masih didalami penyidik,” ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

KPK juga belum mau mengungkap lebih jauh peran Patrialis dalam permohonan uji materi itu.  Laode mengatakan, semua yang berkaitan dengan perkara dan keterlibatan pihak lain masih didalami.

Laode pun mengatakan, KPK tidak menargetkan secara khusus hakim-hakim di MK dalam kasus tersebut. ”Tapi, ini betul-betul karena informasi dari masyarakat,” ucap dia.

Usul Pemberhentian

Ketua MK Arief Hidayat meminta maaf kepada masyarakat gara-gara kasus itu. Sebab, meskipun perilaku tersebut dilakukan secara personal, hal itu tetap ikut mencoreng MK sebagai penjaga marwah konstitusi.

Terlebih, kasus tersebut justru menimpa di tengah upaya MK membangun lagi kepercayaan masyarakat setelah kasus Akil Mochtar. ”Seluruh hakim MK prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut di saat MK berikhtiar membangun sistem yang menjaga keluhuran martabat MK,” ujarnya , kemarin (26/1).

Tak ingin berlama-lama meratapi, Arief menegaskan, sejumlah upaya sudah disiapkan untuk memotong efek buruk kelakuan salah satu hakimnya. Salah satunya, Dewan Etik MK akan membentuk majelis kehormatan MK disertai usul pemberhentian bagi Patrialis.

Mengenai kasus, Arief membenarkan bahwa kasus tersebut terkait dengan gugatan JR UU Peternakan. Namun, dia belum bisa memastikan apakah UU itu menjadi “objek dagangan” Patrialis. Penanganan kasus itu, kata dia, sudah sampai tahap akhir. Bahkan tinggal menunggu pembacaan putusan.

Lalu, apakah rapat permusyawaratan hakim (RPH) atas gugatan tersebut akan dikaji ulang? Arief membantah. Menurut dia, hasil RPH tersebut tidak diputuskan Patrialis seorang diri, melainkan bersama delapan hakim konstitusi lainnya.

Saat ditanya soal sikap Patrialis dalam RPH tersebut, Arief enggan membeberkan. “Saya tidak bisa jawab. Tapi, proses dalam perkara yang menyangkut itu sudah sampai finalisasi putusan, tinggal diucapkan dan diputus sembilan hakim. Jadi, tidak sendirian,” imbuhnya.

Mengenai pengawasan hakim ke depan, pria asal Semarang itu menyatakan, instrumen yang ada saat ini sebetulnya sudah cukup. Yakni, ada dewan etik yang terus mengawasi hakim dari hari ke hari. Dalam aktivitas keseharian pun, masing-masing anggota sudah saling mengingatkan.

Bahkan, dia tak menampik, selama ini alat komunikasi para hakim diawasi KPK. “Kami persilakan KPK menyadap. Tapi, kalau ternyata terjadi seperti ini, sudah di luar kehendak,” terangnya.

Bersihkan Internal

Muhammad Nasir Djamil, anggota komisi III DPR RI, menyesalkan penangkapan hakim MK tersebut. “Kalau memang benar, saya ucapkan innalillaahi wa inna ilahi raajiun,” ucapnya di gedung parlemen, Senayan kemarin. 

Belajar dari persoalan itu, pihaknya pun mendesak dilakukannya revisi UU MK. Terutama terkait rekrutmen hakim. Seleksi hakim harus dilakukan secara terbuka sehingga bisa diketahui semua orang. DPR, presiden, dan MA bisa terlibat dalam rekrutmen hakim MK.

Tidak sembarang orang bisa menjadi hakim karena hakim MK juga seorang negarawan. Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan keprihatinannya atas operasi tangkap tangan yang menimpa hakim MK. Meski begitu, dia tetap meminta masyarakat menunggu proses hukum tuntas.

“Tentu kita sangat prihatin karena ini lembaga hukum,” ujar JK di kantor wakil presiden kemarin (26/1).

Ketua Presidium Dewan Peternakan Nasional (Depernas) Teguh Boediyana menjelaskan, penangkapan Patrialis menjadi salah satu titik terang dari keluhan yang dipendam peternak selama delapan bulan terakhir.

Sebab, mulai 16 Oktober 2015 dia bersama pemerhati ternak lokal lainnya mengajukan JR terhadap ketentuan dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

“Kami sudah mengajukan gugatan terhadap Pasal 36C dan 36E yang membolehkan impor ternak berbasis zona, bukannya basis negara. Semua proses persidangan di MK sudah selesai pada 12 Mei 2016, tapi putusannya belum keluar sampai sekarang,” jelasnya.

Merasa Dizalimi

Sementara itu, Patrialis sewaktu keluar gedung KPK sekitar pukul 00.40 mengaku dirinya tidak menerima suap.

“Pertama saya ingin menyampaikan kepada yang mulia Bapak Ketua MK, Bapak Wakil Ketua MK, dan Hakim MK yang saya muliakan dan seluruh rakyat Indonesia, saya mengatakan saya hari ini dizalimi. Karena saya tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari Pak Basuki,” kata Patrialis.

Dia juga bersumpah bahwa dia dizalimi. Penetapan dirinya menjadi tersangka suap dianggapnya sebagai ujian.

“Demi Allah, saya betul-betul dizalimi. Nanti kalian bisa tanya sama Basuki. bicara uang saja saya nggak pernah. Sekarang saya jadi tersangka. Bagi saya ini adalah ujian, ujian yang sangat berat,” jelasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Panglima Australia Akan ke Indonesia Lapor Hasil Investigasi

Tol Padang-Pekanbaru Mulai Dikebut