Korban tewas akibat gempa berkekuatan 7,8 SR dan gempa susulan yang melanda wilayah tenggara Turki di sepanjang perbatasan dengan Suriah terus meningkat. Sebanyak 31.643 orang dilaporkan tewas di Turki, dan 4.500 orang di Suriah. Jumlah korban tewas kemungkinan akan terus meningkat.
Otoritas Turki mengungkapkan sekitar 13,5 juta orang telah terkena dampak di daerah yang membentang sekitar 450 km (280 mil) dari Adana di barat hingga Diyarbakir di timur, dan 300 km (186 mil) dari Malatya di utara hingga Hatay di selatan.
Pakar gempa dari Universitas Andalas (Unand) Dr. Ir. Badrul Mustafa, DEA menjelaskan bahwa gempa tersebut terjadi akibat pergeseran mendatar dari patahan Anatolia. “Patahan geser atau istilahnya strike-slip itu kalau di darat dapat menimbulkan kerusakan yang besar karena dekatnya dengan pemukiman,” ungkap alumni ITB dan Perancis ini.
Turki dilewati dua patahan besar yaitu patahan Anatolia Utara dan patahan Anatolia Timur. Ada tiga lempeng yang berintekrasi secara kompleks yaitu lempeng Anatolia, lempeng Arabia dan lempeng Eurasia yang sangat besar.
Lempeng Antolia dan Arabia ini ukurannya sedang, tetapi di situ terdapat wilayah Turki yang diapitnya atau yang berada di antara tiga lempeng yang berinteraksi. Hasil interaksi dari ketiga lempeng yang bergerak ini muncullah patahan besar atau patahan Anatolia Utara dan Anatolia Timur. Keduanya telah menimbulkan gempa-gempa besar sepanjang sejarah di turki ini.
Pada tahun 1939 ketika terjadi gempa pada daerah patahan ini, kerusakan yang timbul begitu masif, dengan korban mencapai 30 ribu jiwa meninggal dunia. Kemudian pada tahun 1999 juga terjadi gempa dengan korban jiwa 17 ribu jiwa.
“Berdasarkan catatan sejarah terlihat bahwa gempa di darat yang ditimbulkan oleh patahan geser dengan kedalaman yang sangat dangkal dapat memicu kerusakan sangat besar. Gempa disebut dangkal jika pusat gempa itu berada pada nol sampai 60 kilometer di bawah permukaan. Gempa yang terjadi di Turkiye itu bukan disebut dangkal lagi, tapi sangat dangkal,” kata Badrul.
Banyaknya korban yang timbul baik yang meninggal dunia maupun luka-luka itu disebabkan oleh runtuhnya bangunan tempat tinggal. “Bangunan itu diketahui adalah bangunan-bangunan tua. Bahkan ada satu kastil yang rubuh yang usianya sudah 2.200 tahun. Rata-rata bangunan yang rubuh ini dibangun sebelum adanya building code atau aturan aman gempa,” ungkapnya.
Saat ini di setiap negara yang memiliki potensi gempa dibuat peraturan aman gempa atau building code yang sering di revisi dan diperbarui.
Patahan di Sumatera
Lebih lanjut Badrul menambahkan bahwa di Sumatera juga ada patahan sejenis, yaitu yang disebut sesar atau patahan semangko. Keberadaan sesar ini mulai dari Aceh sampai ke Lampung, juga melewati Sumatera Barat. Terdapat 19 sampai 21 segmen pada sesar semangko ini.
“Segmen yang ada di Sumatera Barat adalah di antara yang paling aktif. Sehingga kejadian gempa banyak yang terjadi di Sumatera Barat. Pergerakan patahan mendatar semangko ini menimbulkan gempa yang terjadi pada Februari tahun lalu,” katanya.
Menurut dia, adanya potensi gempa yang diakibatkan oleh pergeseran mendatar khususnya di Sumatera Barat menjadi catatan agar kita melakukan mitigasi dan usaha untuk mengurangi kerugian.
“Kita harus berusaha menekan potensi kerugian, baik jiwa maupun harta benda. Umumnya kejadian yang menimbulkan korban jiwa baik meninggal maupun luka- luka adalah runtuhnya bangunan. Jadi penting sekali mitigasi pada struktur sebuah bangunan,” imbuhnya.
Terkait itu, Guru Besar Teknik Sipil Unand Prof. Rendy Thamrin mengungkapkan struktur bangunan harus disesuaikan dengan standar atau peraturan aman gempa yang sudah dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional.
“Gempa sampai sekarang belum dapat untuk diprediksi dengan tepat kapan akan terjadinya. Karena itu mitigasi struktural pada bangunan mutlak harus dilakukan. Pada bangunan yang sudah ada sebelum adanya aturan building code harus dilakukan asesmen untuk menilai apakah kekuatannya masih 100% atau sudah berkurang. Jika telah berkurang banyak, maka harus dilakukan penguatan atau retrofitting, terutama gedung untuk kepentingan orang banyak seperti pasar, rumah sakit, mall dan lainnya,” jelas Rendy.
Rendy selanjutnya menjelaskan bahwa dalam konteks ini, pelajaran yang dapat diambil dari kejadian gempa Turki adalah evaluasi kinerja seismik dan inventarisasi bangunan yang ada sangat penting.
“Evaluasi ini harus dimulai di tingkat komunitas terkecil seperti tingkat risiko seismik dari rumah-rumah dan gedung-gedung yang digunakan oleh masyarakat,” tambahnya.
Pekerjaan tersebut harus mencakup penggunaan teknik pemodelan, pemantauan dan penilaian untuk menentukan bangunan yang tidak memenuhi tingkat risiko seismik.
Penguatan rumah dan bangunan yang tidak sesuai tingkat risiko seismik merupakan prioritas bagi pemerintah, tidak hanya di daerah rawan gempa, namun juga di daerah dengan tingkat kegempaan sedang.
“Rehabilitasi ini harus mempertimbangkan efisiensi teknik perkuatan atau mitigasi bencana secara fisik, serta kinerja dari bangunan yang direhabilitasi untuk memfasilitasi keberlanjutan dari pemakaian bangunan tersebut dilingkungan masyarakat kita”, ungkap peraih gelar Doctor of Engineering dari Toyohashi University of Technology Jepang ini.(rel)