Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini mengumumkan realisasi pendapatan negara sampai dengan 31 Agustus mencapai Rp1.764,4 triliun terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp1.171,8 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp206,2 triliun, serta PNBP sebesar Rp386 triliun.
Artinya negara semakin bergantung kepada pajak, dimana kewajiban tersebut bersifat memaksa namun di lindungi oleh undang-undang. Semakin tinggi nilai pajak maka semakin sejahtera masyarakat Indonesia pada umumnya serta semakin banyak fasilitas dan infrastruktur yang di bangun.
Walaupun sudah di atur oleh undang-undang terkait siapa Subjek Pajak, Objek Pajak, berapa tarif pajak, bagaimana cara pembayaran serta pelaporannya dan lain sebagainya namun berdasarkan data pelaporan SPT Tahunan pada tahun 2021 terdapat rasio kepatuhan wajib pajak sebesar 84,07%.
Artinya 15,93 % masih ada warga masyarakat yang belum menjalankan kewajiban perpajakannya. Bisa jadi karena masih awam akan informasi, adanya unsur ketidak percayaan kepada pemerintah atas pengelolaan pendapatan pajak dsb. Padahal Perubahan sistem pelaporan dan pembayaran pajak secara digital sudah berlaku sejak 2015 bagi WP melalui website pajak.go.id.
Sejak terjadinya pandemi Covid-19 Melalui kebijakan perpajakan pemerintah memberikan insentif perpajakan dengan harapan dapat mendorong perekonomin agar dapat terus berjalan. Berbagai kalangan masyarakat diharapkan dapat survive menjalankan usahanya agar tetap tersedia lapangan pekerjaan yang luas bagi kalangan pekerja.
Serta tahun 2022 pemerintah telah melakukan perubahan ketentuan perpajakan melalui rancangan undang-unndang harmonisasi peraturan pajak (RUU HPP), berupa tarif pph 21 UU HPP terdapat 5 lapisan yaitu 35 % pada penghasilan kena pajak diatas 5 Milyar dan tarif PPN sebesar 11% berlaku sejak 1 April 2022.
Sehebat apapun peran pemerintah memainkan strategi perkonomian bangsa atas pendapatan pajak namun tetap terjadi tren penggelapan pajak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di alami oleh berbagai negara. Pada tanggal 14 Desember 2022 penyidik Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara menyerahkan dua orang tersangka penggelapan pajak sebesar 292 miliar ke kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Kedua tersangka adalah komisaris PT. PR dan Direktur PT.PR. Penyelidikan dan penyidikan terhadap kedua tersangka karena di temukan SPT masa PPN periode Januari sampai dengan Desember 2015 yang isinya tidak benar atas nama PT. PR yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Pademangan. PT. PR merupakan perusahaan yang bergerak di bidang alat komunikasi.
Menurut kepada bidang pemeriksaan Atas perbuatan tersebut tersangka dikenakan pasal 39 ayat 1 huruf d Junctodan pasal 43 ayat 1 Undang-undang (UU) no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajkan yang telah di perbarui dengan UU no 16 tahun 2009 dengan ancaman penjara maksimal enam tahun. Tujuan Kanwil DJP Jakarta Utara mengambil Langkah ini untuk memberikan keadilan kepada seluruh wajib pajak akan kewajiban, baik yang patuh mapun yang belum patuh.
Penggelapan pajak menurut Rahayu (2010) dalam (Kurniawati & Arianto, 2014) ialah kerja aktif wajib pajak dalam hal mengurangi, menghapus, memanipulasi secara illegal akan hutang perpajakan atau meloloskan diri agar tidak melakukan pembayaran pajak yang semestinya telah terutang menurut kebijakan perundang-undangan.
Menurut Shiekh Sajjad Hassan (2010) mengatakan bahwa salah satu penyebab masyarakat mengelak membayar pajak ialah kurangnya etika sosial masyarakat. Kurangnya etika berpengaruh pada kepatuhan pajak dan persepsi bahwa kewajiban membayar pajak sulit untuk di penuhi.
Standar kepatuhan tidak selalu sama dari waktu ke waktu. Sebagimana kepatuhan seseorang untuk membayar pajak di pengaruhi oleh keyakinan, sikap dan represntasi sosial wajib pajak. Oleh karena itu etika perpajakan wajib dimiliki, di mengerti, dan di amalkan oleh setiap individu seperti halnya etika berpakaian dan sebagainya.
Karena etika merupakan prinsip moral serta nilai luhur yang wajib dimiliki setiap individu yang memberikan pegangan bagi tingkah laku seseorang. Menurut sudut padang teori egoism psikologis, semua Tindakan manusia di motivasi oleh kepentingan self-center / Selfish dan merugikan kepentingan orang lain.
Sedangkan teori egoism etis adalah Tindakan mementingkan diri namun tidak merugikan kepentingan orang lain. Perilaku penggelapan pajak merupakan Tindakan yang mementingkan diri dan merugikan kepentingan orang lain sehingga perilaku tersebut tidak etis sesuai konsep egoism psikologis.
Begitupun menurut teori Utilitarian bahwa suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, baik untuk diri sendiri, orang lain serta masyarakat sebagai keseluruhan. Penggelapan pajak negara berarti merupakan Tindakan tidak etis menurut konsep Utilitarian, karena hanya bermanfaat bagi Sebagian pihak.
Menurut teori teleologi yang berasal dari Christian Wolff Seorang filsuf Jerman abad ke-18 di artikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu Tindakan dilakukan. Ukuran akhir dari teori Teleologi adalah tujuan dan akibat, jika suatu Tindakan salah menurut hukum tetapi bertujuan dan berakibat baik, maka Tindakan itu di nilai baik.
Sehingga etika teologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibatnya suatu Tindakan bisa bergantung pada situasi khusus tertentu. Sedangkan teori Deontologi terdapat dua teori yaitu hak dan teori keadilan. Atas penggelapan pajak tersebut hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan kesempatan menikamti kesejahteraan dari pendapatan pajak telah di ambil oleh pelaku penggelapan
Teori keadilan tidak mendapatkan hak yang sama bagi pejabat public karena “pendapatan” yang berbeda padahal mereka sama-sama bekerja mengabdi pada negara. Semua kita tau bahwa penggelapan pajak memberikan kesimpulan bahwa pelakunya tidak punya etika, seperti teori-teori di atas. Namun dalam prakteknya tinggal penerapannya, apakah seseorang memilih hidup beretika atau tanpa etika?