in

Pelemahan Yuan Berpotensi Seret Rupiah

Dampak Perang Dagang – Trump Diperkirakan Balas Tiongkok dengan Tarif Lebih Tinggi

>> Langkah Tiongkok membiarkan yuan melemah bisa menimbulkan masalah baru dalam perdagangan global, yakni perang mata uang.

>> Depresiasi yuan akan mendorong investor di pasar keuangan Indonesia menghindari aset keuangan berisiko.

JAKARTA – Untuk perta­ma kali dalam lebih dari satu dekade, nilai tukar mata uang Tiongkok, yuan, merosot hingga menembus batas psikologis 7 yuan per dollar AS, Senin (5/8). Depresiasi itu merupa­kan sinyal bahwa Beijing akan membiarkan pelemahan mata uangnya berlanjut dalam rang­ka mengobarkan genderang pe­rang dagang dengan Amerika Serikat (AS).

Pelemahan mata uang yuan sebesar 1,42 persen, Kamis, juga turut menyeret sejumlah mata uang Asia lainnya seperti won Korea, rupee India, peso Filipina, dan rupiah. Mata uang RI itu pada akhir perdagangan kema­rin melemah 0,49 persen men­jadi 14.255 rupiah per dollar AS.

Pelaku pasar menilai da­lam jangka pendek depresiasi yuan tersebut akan mendorong investor di pasar keuangan Indonesia menghindari aset keuangan berisiko, termasuk rupiah, dan beralih pada aset yang dianggap lebih aman.

Tekanan terhadap pasar do­mestik diperkirakan berlanjut karena Presiden AS, Donald Trump, kemungkinan besar akan membalas langkah bank sentral Tiongkok mendevalu­asi mata uangnya. Dan, rupiah akan sangat sensitif terhadap sentimen global seperti itu.

Ekonom Indef, Bhima Yu­dhistira, mengatakan rupiah akan ikut terseret mengalami depresiasi terhadap dollar AS. “Ini terjadi sebagai dampak ikutan setelah Tiongkok se­ngaja melemahkan yuan,” kata dia, di Jakarta, Senin.

Bhima menjelaskan, strategi bank sentral Tiongkok merupa­kan respons atas melemah­nya ekspor. “Jadi, bank sentral Tiongkok mendukung langkah pemerintah untuk meningkat­kan ekspor. Ini harus dilakukan karena mengantisipasi kebijak­an AS,” papar dia.

Menurut Bhima, rupiah ikut terseret antara lain karena senti­men masih satu kawasan dengan Tiongkok. “Rupiah akan ikut me­lemah juga terhadap dollar AS.”

Beberapa media manca­negara mewartakan, penu­runan tajam yuan itu terjadi beberapa hari setelah secara mengejutkan Presiden Trump mengumumkan pemberlakuan tarif baru sebesar 10 persen pada barang impor dari Tiong­kok senilai 300 miliar dollar AS mulai 1 September mendatang.

Pernyataan itu otomatis membuyarkan gencatan sen­jata dalam perang dagang yang telah meresahkan pasar ke­uangan, mengganggu rantai pasokan global, dan membuat pertumbuhan dunia melambat.

Sejumlah analis menilai langkah untuk membiarkan yuan melemah bisa menim­bulkan masalah baru dalam perdagangan global, yakni pe­rang mata uang. Bank sentral Tiongkok memberikan dorong­an awal dengan menetapkan nilai tukar harian pada level terlemah dalam delapan bulan.

Risiko Meningkat

Ekonom Senior Capital Eco­nomics, Julian Evans-Pritchard, menilai otoritas moneter Ne­geri Tirai Bambu itu mung­kin menahan diri untuk tidak membiarkan yuan lebih turun lagi demi menghindari perun­dingan dagang dengan AS.

“Fakta bahwa mereka seka­rang telah berhenti menahan pada level 7 yuan terhadap dol­lar AS menunjukkan jika mereka memiliki semua, kecuali melepas harapan atas kesepakatan perda­gangan dengan AS,” jelas dia.

Sementara itu, indeks pa­sar saham Dow Jones pada awal perdagangan kemarin ke­hilangan lebih dari 500 poin dan saham global mengalami kemerosotan setelah Tiongkok meningkatkan irama perang dagang dengan AS.

Yuan yang lebih murah te­lah memicu kekhawatiran Wall Street bahwa AS akan meres­pons serangan itu dengan ta­rif yang lebih tinggi, sehingga perselisihan dagang negara itu dengan Tiongkok akan berlang­sung semakin lama, dan ber­potensi melemahkan ekonomi global. Investor sangat khawatir jika pemerintahan Trump akan mencoba mendevaluasi dollar, sehingga memicu perang mata uang yang dapat melemahkan daya beli warga AS.

“Jika ini perang mata uang habis-habisan, AS akan kalah. Beijing jauh lebih maju dalam memainkan permainan mata uang dan memiliki daya tem­bak lebih besar,” tulis ahli stra­tegi makro global dari Arkera, Viraj Patel, di Twitter.

Pelemahan yuan bukan satu-satunya pembalasan, Bei­jing juga memerintahkan per­usahaan milik negara untuk menghentikan pembelian pro­duk pertanian AS. Langkah itu berlawanan dengan sikap Bei­jing pada minggu lalu. SB/ers/YK/WP

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dampak Mati Listrik di Jakarta

Fokus di SDM: Pembangunan SDM Memerlukan Kehadiran Negara