Ketika podcast Serial mengguncang Amerika pada 2014, hembusannya nyaris tak terasa di Indonesia. Meski Serial memenangkan penghargaan bergengsi Peabody Award, meski banyak dibahas dari aspek format, pendekatan jurnalisme, lantas banyak dipakai sebagai sarana belajar siswa di sana – di Indonesia adem ayem.
Apakah karena saat itu tidak ada podcast di tanah air? Tidak juga. Tapi podcast memang masih susah dicari. Mencari podcast pada masa itu artinya harus bergerilya di Soundcloud. Dulu pun tak terbayang orang bisa dengan santai mendengarkan audio lewat earphone pakai smartphone di kendaraan umum. Antara ngeri dicopet atau nggak akan kedengaran suara apa pun karena berisik.
Tapi coba tengok Spotify sekarang. Klik di bagian Chart, dan boom, isinya didominasi podcast Indonesia! Apa yang terjadi?
Apa itu podcast?
Sekitar tahun 2014, saya pernah berbincang dengan seorang kolega soal podcast. Dia orang yang mengikuti perkembangan berita dalam dan luar negeri, serta bergelut di bidang pengembangan media. Saya tanya dia, tahu podcast? Dia balik bertanya: ‘itu bayar ya?’
Pengetahuan publik soal podcast atau siniar pada masa itu memang masih minim. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan mengakses podcast. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, di mana pada tahun yang sama, Edison Research memperkirakan ada 39 juta orang yang pernah mendengarkan podcast dalam sebulan terakhir, “The Infinite Dial 2014”.
Kata ‘podcast’ tak lepas dari kelahiran iPod buatan Apple pada 2001. Kata ini muncul sebagai singkatan dari ‘iPod broadcasting’ atau siaran lewat iPod. Berbeda dengan radio yang sifatnya siaran langsung, maka podcast ini bersifat on demand alias bisa disimak kapan kita mau.
Secara sederhana, podcast adalah sebuah konten audio digital. Isi beragam, format beraneka, durasi bebas. Podcast terasa lebih bebas ketimbang siaran radio yang mengenal istilah kuadran alias per 15 menit, ada jeda iklan, dan sebagainya. Saking bebasnya, ada saja podcast berdurasi 1 jam lebih yang membahas tema politik, misalnya, tanpa jeda pula.
Podcast generasi awal tanah air
Skena podcast Indonesia di era Soundcloud pasti akrab dengan Podcast Awal Minggu yang dibuat seorang komika Adriano Qalbi sejak 2016. Saking awalnya, Adriano kerap disebut sebagai “Bapak Podcast Indonesia”, “Adriano Qalbi bicara tentang podcast dan perkembangannya hari ini”. Yang juga termasuk generasi awal adalah Podcast Subjective (2015) dari Iqbal Hariadi dan Suarane (2017) dari Rane Hafied.
Di era awal, tema yang dilempar dalam podcast kebanyakan tentang kisah keseharian, durasi 30-60 menit, bisa dibawakan sendiri atau bersama teman. Kita sebagai pendengar seperti tengah nguping pembicaraan satu atau beberapa orang yang mungkin kita tidak kenal. Para podcaster itu juga belum tentu orang terkenal. Adriano memakai podcast sebagai sarana melatih bahan untuk stand-up comedy. Rane banyak bercerita soal kehidupannya di Bangkok, Thailand. Sementara Iqbal bercerita seputar karir, teknologi, start up, politik dan lainnya.
Sebagian besar podcast Indonesia di era awal ini masih random. Mulai dari topik, format, durasi, sampai frekuensi tayang. Kalau lagi liburan atau banyak kerjaan, ya tidak ada episode baru. Tapi dengan segala catatan dan kesulitannya, podcast menuai pendengar yang tidak kecil. Episode pertama Podcast Awal Minggu-nya Adriano Qalbi di tanggal 9 November 2015 didengarkan 9,771 kali. Sementara rekor jumlah play tertinggi sebanyak 34 ribu ada di episode 4 Oktober 2017 dengan Majelis Lucu Indonesia dan 29 Januari 2018 dengan @postinor dari Podcast Ngomongin Orang (Postinor).
Jumlah play Podcast Awal Minggu di Soundcloud sejak awal 2019 mulai merosot ke angka ratusan, karena perkembangan terbaru ini.
Pintu itu dibuka Spotify
Gelombang kemunculan podcast tanah air tak lepas dari semakin canggihnya smartphone serta semakin biasanya orang memakai earphone di smartphone saat berkomuter. Namun penanda paling signifikan adalah ketika Spotify membuka platformnya untuk podcast sejak Oktober 2018, ”Spotify opens podcasting section up to everyone”.
Orang memang tak bisa langsung mengunggah konten audio ke Spotify, tapi harus lewat hosting lain (yang pada Februari 2019 dibeli juga oleh Spotify, yaitu Anchor.fm, senilai 140 juta dolar AS karena CEO Spotify Daniel Ek menyadari kalau “audio, tidak hanya musik” adalah masa depan Spotify, “Spotify says it paid $340M to buy Gimlet and Anchor”. Akses ke 180 juta pengguna Spotify adalah hal yang menggiurkan, apalagi Spotify menjanjikan informasi soal siapa yang mendengarkan podcast. Ini adalah informasi berharga untuk pengembangan industri podcast di masa mendatang.
Begitu pintu dibuka, banjir podcast Indonesia pun melanda Spotify. Di akhir 2018, sepuluh podcast terpopuler di Chart masih campuran antara podcast berbahasa Inggris dan besutan lokal. Namun begitu kita buka Spotify di September 2019, maka podcast berbahasa Inggris baru muncul di peringkat 25 yaitu TED Talks Daily.
Tak hanya itu, media profesional pun mulai melirik ke platform podcast. Pada September 2018, hadir Inspigo dengan Yoris Sebastian sebagai co-founder. Inspigo menawarkan konsep ‘snackable content on the go’ dengan sajian utama agile learning yang dibutuhkan kelompok milenial. Inspigo hadir dalam bentuk aplikasi yang harus diunduh terlebih dahulu, serta tak tersedia di platform lainnya. Inspigo menghadirkan podcast dengan influencer, CEO atau praktisi yang hasil wawancaranya dipecah menjadi 5-10 konten berdurasi pendek.
Sementara itu pada November 2018, ada KBR Prime yang diproduksi KBR, kantor berita radio swasta dengan jaringan 500 radio di Indonesia. KBR Prime sempat hadir dalam bentuk aplikasi, lantas mengembangkan bentuk Progressive Web Application (PWA) sehingga bisa didengarkan di website. Dengan pengalaman mumpuni di bidang berita, maka konten yang ditawarkan KBR Prime ini pun berupa podcast berbasis jurnalisme. KBR Prime juga berkolaborasi dengan komunitas untuk memproduksi podcast. Misalnya ada podcast Disko (Diskusi Psikologi) dengan komunitas pencegahan bunuh diri Into The Light, podcast Cek Fakta hasil kolaborasi dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) atau podcast Sains Sekitar Kita hasil kerjasama KBR dengan The Conversation Indonesia.
Sejak itu, satu per satu media profesional muncul dengan tawaran podcast. Ada media daring Opini.id serta Asumsi.co yang punya podcast current affairs. Ada Magdalene’s Mind dari web magazine soal feminisme di Indonesia. Atau Kumparan yang hadir dengan cerita-cerita di balik pemberitaan dari sudut pandang jurnalisnya. Kompas Corner, bagian dari Harian Kompas, pun tak ketinggalan memproduksi podcast dengan tema aktual untuk anak muda. Duo Budjang produksi Narasi TV sejak Juli 2019 mendeklarasikan diri beralih konsep jadi video podcast – hadir dalam bentuk video dan audio.
Lalu tersebutlah Raditya Dika, seorang stand up comedian, penulis sedikitnya 6 buku best seller, punya kanal YouTube dengan 7.8 juta pelanggan serta sudah memproduksi 10 film, pada April 2019 merilis PORD, Podcast Raditya Dika. Influencer pun mulai main podcast!
Meraba masa depan podcast
‘Bapak podcast Indonesia’ Adriano Qalbi menjadi tamu di episode perdana PORD, Podcast Raditya Dika. Judulnya menggelitik: ‘Apa itu podcast? Ada duitnya gak?’. Podcast sepanjang 1 jam 20 menit ini hadir di Spotify dan platform podcast lainnya. Juga dalam format video di YouTube dan sudah ditonton 476 ribu kali (sampai pengamatan pada 22 September 2019) dan diselingi 5 iklan.
Set up rekaman podcast PORD adalah sebuah ruangan dengan meja bundar dan dua kursi serta dua mikrofon. Tampilannya profesional, dengan sedikitnya dua kamera. Di menit-menit pertama rekaman, Adriano langsung berkomentar “Perlengkapan elo luar biasa ya…” lantas berlanjut lagi,”Konsistensi itu kadang nggak ada harganya ya… kalau lawannya langsung begini, pemodal besar,” yang disambut gelak tawa dari Raditya Dika.
Menanggapi pertanyaan di judul episode podcast, langsung dijawab kontan oleh Adriano,”Yang kedua jawabnya lebih cepet: nggak ada.” Apa betul begitu?
Adriano lantas menjelaskan kalau revenue stream podcast datang dari iklan berupa adlibs atau iklan yang dibacakan si podcaster. Ia mengaku beberapa kali menerima iklan semacam itu. Iklan serupa bisa kita dengarkan di podcast Curhat Babu (Curhat Bapak Ibu) milik Ario Pratomo dan istrinya, Nucha Bachri yang pernah menyebut nama provider telekomunikasi serta membagi give away berupa beasiswa ke sekolah start up. Ada juga skema iklan lain di podcast Thirty Days of Lunch, juga milik Ario Pratomo, kali ini bersama Fellexandro Ruby. Di podcast ini keduanya merekam podcast sambil makan siang di sebuah restoran. Di tengah rekaman, maka nama restoran akan disebut, sekaligus sedikit ulasan soal makanan yang disantap Ario, Fellexandro serta tamu mereka.
Skema beriklan lain adalah sponsorship sejumlah episode dalam satu musim atau season. Ini pernah dilakukan KBR Prime lewat podcast Baru PaHAM dengan Amnesty Internasional yang dirilis jelang Pemilu 2019 lalu serta podcast Sains Sekitar Kita dengan The Conversation Indonesia sejak 2018.
Satu-satunya survei soal podcast di Indonesia datang dari Daily Social pada 2018 dengan 2032 responden pengguna smartphone. Survei menyebutkan pendengar podcast didominasi usia 20-25 tahun (42,12 persen) disusul kelompok usia 26-29 tahun dan 30-35 tahun. Hampir 70 persen responden familiar atau kenal dengan podcast, dan sebagian besar pernah mendengar podcast dalam 6 bulan terakhir. Spotify menjadi platform mendengarkan podcast paling populer, disusul Soundcloud dan Google Podcast.
Sambutan raksasa Google terhadap konten audio juga bakal ikut mendongkrak popularitas podcast di tanah air. Pada 2018, Google merilis Google Podcast di Android, berlanjut dengan kehadirannya di iOS dan desktop di tahun berikutnya. Ini masih ditambah lagi dengan langkah Google mempermudah proses penemuan podcast dengan memunculkan episode podcast sebagai bagian dari hasil pencarian, ”Google will start surfacing individual podcast episodes in search results”. Google pun disebut sudah mengindeks lebih dari 2 juta podcast di dunia maya untuk mengatasi discovery problem dari podcast, ”Google indexing content of 2 million podcasts, lets users stream directly from search pages”.
Yang belum ada di Indonesia adalah penghitungan CPM alias Cost Per Mille atau biaya iklan per 1000 impresi untuk penghitungan pembayaran iklan di podcast. Artikel di New York Times pada 2014 menyebut angka CPM sejumlah podcaster ternama antara $20 dan $45, lebih tinggi ketimbang CPM radio atau televisi. Yang juga belum terlihat adalah semacam podcast agency yang menghubungkan berbagai brand dengan podcaster. Amerika, misalnya, sudah punya Midroll yang menghubungkan 200 perusahaan dengan 300 podcaster dengan janji supaya para podcaster bisa berkonsentrasi membuat konten terbaik mereka. Atau platform Patreon yang mengakomodir donasi bagi podcaster independen.
Organisasi media NPR di Amerika Serikat, dengan jaringan 1000 radio publik se-Amerika, memproyeksikan tahun depan pendapatan dari sponsor podcast akan melampaui pendapatan sponsor berbasis radio. NPR mencatatkan angka $55 juta dari pendapatan sponsor podcast untuk tahun 2020, ”Podcast sponsorship revenue continues to fuel NPR’s financial growth”. Ini bakal menjadi kali pertama, sejak NPR menelurkan podcast Invisibilia pada 2015 yang dianggap sebagai ‘tonggak podcast modern bagi NPR’.
Penanda zaman
Tahun 1979, lagu “Video Killed the Radio Star” seolah hendak memberi isyarat kalau video akan mematikan radio. Tapi sungguh, ini sebuah isyarat yang tak kunjung terjadi.
Perkembangan teknologi dan zaman justru membawa radio terus berevolusi menjadi bentuknya yang sekarang: podcast. Podcast menawarkan keintiman dan kebebasan yang melekat pada radio. Tapi podcast juga sesuai dengan kehidupan manusia modern yang menginginkan lebih banyak kendali. Termasuk kendali atas waktu karena podcast bisa diakses kapan saja – tak lagi terikat pada jadwal dan perangkat radio transistor.
Teknologi membuat orang kian mudah membuat, mendengarkan serta mendistribusikan podcast. Podcast menyelinap lewat smartphone, perangkat mendengarkan audio di kendaraan lewat bluetooth atau peranti yang dilengkapi komando suara (voice command). Perkembangan zaman memaksa kita terus mengaktifkan kemampuan multitasking – karena membaca dan menonton video perlu dedikasi waktu dan konsentrasi. Podcast pun terus menyesuaikan dengan dinamika zaman, di antaranya dengan menyesuaikan durasi podcast dengan lama orang berkomuter, “Podcasts are Getting Shorter”.
Kehadiran podcast sejatinya menghidupkan kembali perilaku purba manusia: mendengarkan tuturan. Sejak belum dilahirkan, manusia mulai mendengarkan suara-suara dari dunia luar. Sepanjang hidup, manusia pun tak akan lepas dari aktivitas mendengarkan cerita atau bercerita. Podcast mengembalikan lagi tradisi bertutur yang sempat tergusur atraksi visual lewat gambar dan video. Podcast seolah jadi penanda zaman akan the rise of storytelling alias bangkitnya kembali kemampuan bercerita dan bertutur.
Sampai kapan? Sampai datang lagi tantangan zaman, perkembangan teknologi dan pergerakan hidup manusia yang membuat konten audio kembali berevolusi.
Citra Dyah Prastuti adalah pemimpin redaksi KBR, penyedia konten berita bagi 500 radio lokal se-Indonesia. Meraih gelar Sarjana Komunikasi pada tahun 2001 dari Jurusan Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia, dan langsung bergabung ke KBR sebagai reporter. Tahun 2005 melanjutkan S2 berbekal beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris, mengambil Critical Media and Cultural Studies di SOAS University of London. Sempat mengajar di FISIP UI dan Universitas Bakrie, tapi sekarang fokus dulu ke pengembangan KBR di platform podcast, KBR Prime. Citra juga menjadi pengurus Bidang Penyiaran di AJI Indonesia periode 2017-2020.