Aparat tak bisa Seenaknya sebut Organisasi Teror
Pembahasan RUU Terorisme masih cukup panjang. Perdebatan sengit terjadi dalam mengupas pasal per pasal dalam draf undang-undang baru itu. Salah satu pasal yang cukup alot adalah putusan dan penetapan pengadilan terhadap organisasi yang disebut sebagai kelompok teroris. Dengan aturan itu, penegak hukum tidak bisa seenaknya menetapkan suatu organisasi sebagai kelompok teror.
Poin krusial itu tercantum dalam Pasal 12A ayat 2 RUU Terorisme. Sebelumnya, pansus dan pemerintah belum satu suara terkait keharusan adanya keputusan dan penetapan pengadilan terhadap organisasi yang dianggap teroris.
Pansus mengusulkan agar ada penetapan pengadilan, sedangkan pemerintah keberatan. Setelah berdiskusi panjang, pemerintah akhirnya sepakat dengan usulan pansus. Pasal 12A ayat 2 yang sudah disepakati berbunyi.
“Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun”.
Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Hanafi Rais mengatakan, sebelumnya, dalam ayat 2 itu tidak tercantum kalimat ditetapkan dan diputuskan pengadilan. Menurut dia, jika kalimat penetapan dan putusan pengadilan, maka akan sangat berbahaya.
“Pasal itu sangat kursial. Tidak boleh sembarangan,” ungkap dia.
Hanafi mengatakan, keputusan dan penetapan dari pengadilan sangat penting agar aparat tidak seenaknya menetapkan sebuah organsasi sebagai kelompok teroris, Jadi, bukan penegak hukum sendiri yang memutuskan, karena dikhawatirkan ada perlakuan sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan fakta.
Ia menjelaskan, jika dalam undang-undang baru ini tidak ditegaskan terkait penetapan organisasi teroris, maka yayasan dan organisasi Islam bisa dengan mudah dipidanakan atau dikriminalisasi. “Kami ingin mencegah agar kriminalisasi terhadap organisasi tidak terjadi,” terang dia.
Politikus PAN itu mengatakan, jangan sampai kasus yang menimpa Ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir terjadi lagi. Sebelumnya, Bachtiar disebut mendanai organisasi di Turki yang berafiliasi dengan ISIS.
Polisi dengan seenaknya menyebut organisasi kemanusiaan itu sebagai teroris, padahal bantuan yang diberikan tidak ada kaitannya dengan tindak pada terorisme.
Aparat terlalu lentur dalam menyebut organisasi sebagai pelaku teroris. Melalui undang-undang yang baru, pansus ingin membatasi dan menegaskan penetapan organisasi sebagai kelompok teroris harus sesuai keputusan pengadilan. “Ini tidak bisa main-main,” paparnya.
Namun, ada pertanyaan terkait dengan penetapan dan putusan pengadilan. Prof Harkristuti Harkrisniwo, tenaga ahli dari pemerintah mengatakan, penetapan pengadilan dilakukan sesuai dengan permohonan yang diajukan pihak yang mempunyai kewenangan.
Tidak ada defense atau penolakan dari pihak yang ditetapkan. Sedangkan terkait dengan putusan, ada dua pihak yang sama-sama mengajukan. Hakim yang akan menilai mana yang benar dan yang salah.
Menurut Tuti, sapaan akrab Harkristuti Harkrisniwo, dalam pasal itu juga harus diatur siapa yang berhak mengajukan penetapan kepada pengadilan dan syaratnya seperti apa. “Jadi, tidak semua pihak bisa mengajukan penetapan. Syaratnya juga harus jelas, perlu diatur,” terang dia.
Hanafi menambahkan, terkait dengan syarat dan siapa yang berhak mengajukan penetapan kepada pengadilan, hal itu akan diberi penjelasan dan dibuat ayat tambahan. “Yang penting Pasal 12A ayat 2 sudah disepakati,” papar anak dari Amien Rais itu.
Selain penetapan dan putusan pengadilan, hal yang menjadi perdebatan adalah bagaimana dengan organisasi yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh PBB. Anggota Pansus RUU Terorisme Arsul Sani mengatakan, Indonesia merupakan negara berdaulat.
Apa yang ditetapkan PBB atau organisasi internasional lainnya tidak bisa langsung diikuti dan terikat dengan keputusan mereka. “Penetapan itu harus tetap diuji,” tutur dia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.