RAPBN 2021 I Skema “Burden Sharing” Ganggu Fleksibilitas dan Kredibilitas Bank Sentral
» Defisit APBN 2021 melebar 0,2 persen jadi 5,7 persen terhadap PDB karena penerimaan pajak turun.
» Pembiayaan utang akan meningkat jadi 1.177,4 triliun rupiah yang dibiayai dari SBN.
JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk kembali memperlebar defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 mendatang akan memunculkan tantangan baru dalam mencari sumber pembiayaan.
Tantangan pembiayaan itu karena sumber utama penerimaan negara yaitu perpajakan mengalami penurunan (shortfall), sedangkan dari sumber pembiayaan lainnya melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) penyerapannya mulai jenuh.
Ekonom Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi, kepada Koran Jakarta, Senin (14/9), mengimbau pemerintah untuk memilih efisiensi anggaran ketimbang ekspansif untuk mempercepat pemulihan ekonomi, tapi tidak memiliki kapasitas sumber pembiayaan yang memadai.
“Idealnya memang bisa melakukan efisiensi belanja supaya defisitnya tidak terus membengkak dan utang tidak terus bertambah,” kata Eric.
Dengan keterbatasan sumber pembiayaan, mau tidak mau pemerintah dengan terpaksa kembali meminta Bank Indonesia (BI) membiayai dengan berlaku sebagai standby buyer surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan dengan skema berbagi beban atau burden sharing.
“Saya tidak begitu setuju kalau skema burden sharing ini diperpanjang karena akan mengurangi fleksibilitas dan kredibilitas BI dalam menjalankan kebijakan moneter,” jelas Eric.
Dihubungi terpisah, Ekonom Centre of Reform on Economic (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memaparkan bahwa RAPBN 2021 disusun dengan prioritas belanja pada pos yang mendukung proses pemulihan ekonomi seperti kesehatan, industri manufaktur, dan belanja bantuan sosial. Beberapa pos sebenarnya juga sudah dihemat, misalnya untuk pendidikan.
Namun, dengan kapastitas ruang penerimaan pajak yang di tahun depan belum optimal, akhirnya defisit anggaran ditambah. Hal yang perlu diingat juga, dalam situasi proses pemulihan ekonomi, belanja pemerintah diperlukan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi.
“Penghematan belanja juga perlu hati-hati seperti belanja transfer ke daerah, bisa jadi menurunkan kemampuan ekonomi di daerah untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Yusuf.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali melebarkan defisit dalam postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar 0,2 persen menjadi 5,7 dari sebelumnya 5,5 persen yang setara dengan 1.006,4 triliun rupiah.
Tambahan Subsidi
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan pelebaran defisit tersebut dengan mempertimbangkan ketidakpastian pada 2021 dan program yang telah disusun dan dibahas oleh kementerian dengan komisi.
“Defisit dilebarkan 0,2 persen karena target pendapatan negara untuk tahun depan diturunkan 32,7 triliun menjadi 1.743,7 triliun rupiah dari RAPBN 2021 yang telah disusun pemerintah 1.776,4 triliun rupiah,” kata Menkeu dalam rapat bersama Banggar DPR akhir pekan lalu.
Menurut Menkeu, target penerimaan perpajakan diturunkan 37,4 triliun rupiah menjadi 1.444,5 triliun rupiah dari yang disampaikan sebelumnya dalam nota keuangan sebesar 1.481,9 triliun rupiah. Penurunan tersebut didasarkan pada pertimbangan realisasi hingga Agustus 2020 dan proyeksi sampai akhir tahun yang lebih rendah dibandingkan dalam Perpres 72/2020.
Sementara itu, di sisi belanja negara untuk 2021 meningkat sebesar 2,5 triliun rupiah menjadi 2.750 triliun rupiah. Kenaikan belanja disebabkan oleh adanya tambahan subsidi energi mengenai gas elpiji tiga kilogram yang mencapai 2,4 triliun rupiah dan penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) 0,8 triliun rupiah sebagai dampak dari perubahan pendapatan negara.
“Keseimbangan primer mengalami kenaikan 35,2 triliun rupiah dari 579,9 triliun rupiah dalam RAPBN 2021 menjadi 633,1 triliun rupiah,” papar Menkeu.
Dengan demikian, pembiayaan utang pada 2021 akan meningkat menjadi 1.177,4 triliun rupiah atau 34,9 triliun dibandingkan RAPBN 2021. Pembiayaan jelas Menkeu dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar 1.207,3 triliun rupiah. n uyo/E-9