PADEK.CO-Pemerintah Provinsi Sumatera Barat hanya mengusulkan kenaikan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) untuk BBM non subsidi jenis Pertamax, Pertamina Dex, Pertamax Turbo dan Dexlite.
Besaran kenaikan PBBKB BBM non subsidi yang diputuskan Pemprov bersama DPRD Sumbar pada 20 Juni itu, sebesar 2,5 persen. Namun, saat ini kebijakan tersebut belum diterapkan karena masih menunggu hasil evaluasi Ranperda Pajak dan Retribusi Daerah dari Kementerian Dalam Negeri.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumbar Maswar Dedi menegaskan bahwa kenaikan sebesar 2,5 persen tersebut untuk BBM non subsidi, bukan BBM subsidi jenis Pertalite dan Bio Solar.
“Tarif pajak BBM bersubsidi tidak ada kenaikan, yang dibahas dan diputuskan dengan DPRD hanyalah pajak BBM non subsidi sebesar 2,5 persen,” tegas Maswar Dedi dalam keterangannya yang diterima Padek.co, Jumat (23/6/2023).
Menurutnya, BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Biosolar adalah jenis BBM yang dipakai masyarakat umum dan UMKM. “Pemerintah Provinsi Sumbar sangat memahami itu sehingga tidak ada pikiran untuk menaikkan pajaknya,” tambahnya.
Lebih lanjut mantan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sumbar itu menjelaskan, BBM non subsidi seperti Pertamax, Pertamax turbo, Dexlite dan Pertamina Dex merupakan bahan bakar yang rata-rata dipakai kendaraan berteknologi terbaru, masyarakat kelas menengah ke atas dan operasional pemerintah.
“Maka, kenaikan pajak BBM non subsidi tidak akan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat menengah ke bawah,” imbuhnya.
Kebijakan tersebut, katanya bertujuan untuk memastikan agar kuota BBM Non Subsidi Sumbar betul-betul dikonsumsi oleh masyarakat Sumbar, bukan malah dikonsumsi oleh pihak lain karena alasan perbedaan atau selisih harga. Kemudian, kenaikan juga didasari hasil kesepakatan seluruh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) se-Sumatera.
Dia menegaskan bahwa usulan tentang kenaikan telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Pada pasal 26 ayat (1) disebutkan Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10 %.
Saat ini, Pemprov Sumbar masih memakai UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tarif PBBKB sebesar 7,5%. Dikatakannya, tarif tersebut berada di bawah tarif PBBKB yang diberlakukan di Provinsi Riau yaitu sebesar 10%.
“Dengan kondisi itu, terjadi selisih harga antara Sumbar dengan Riau. Akibatnya, kuota BBM Non Subsidi Sumbar, terutama pada daerah perbatasan sebagian dikonsumsi kendaraan dari luar Sumbar,” katanya.
Agar tidak terjadi kesenjangan harga tersebut, akhirnya Bapenda se-Sumatera menyepakati harga minyak non subsidi satu harga. Yakni, dengan sama-sama menaikan tarif pajaknya menjadi 10 persen.
“Jika kita samakan menjadi 10 persen, harga BBM non subsidi di Sumatera menjadi sama. Tidak ada lagi kesenjangan ketersediaan dan konsumsinya menjadi tepat sasaran,” paparnya.
Menurutnya, langkah itu juga tidak akan mengganggu perekonomian masyarakat kecil dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Apalagi, kendaraan yang mengonsumsi BBM non subsidi sebagian besar adalah orang yang ekonominya di atas rata-rata, buka masyarakat tidak mampu.
Lebih lanjut ia menerangkan, usulan kenaikan tersebut telah melalui pembahasan dengan DPRD Sumbar, karena memang untuk memberlakukannya dibutuhkan perangkat hukum, yakni berupa Peraturan Daerah (Perda).
“Jadi ini bukan keputusan Pemprov sendiri. Tapi telah dibahas dan diputuskan bersama dengan DPRD,” ungkapnya.
Disebutkannya, secara aturan tertinggi undang-undang memberikan ruang pemungutan pajak BBM non subsidi maksimal 10 persen. Tertuang dalam UU Nomot 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah pada Pasal 26 ayat (1).
“Aturannya kita bisa memungut hingga 10 persen. Jika kita pungut sebanyak itu, kenaikannya juga tidak signifikan. Apalagi harga minyak non subsidi fluktuatif. Tidak menetap, kadang turun kadang naik,” pungkasnya.
Untuk pajak BBM bersubsidi, kata Maswar Dedi, tidak ada kenaikan dan tarifnya berlaku sama di seluruh Indonesia yaitu sebesar 5%. “Sama dengan daerah lain di Seluruh Indonesia, kita tidak ada kenaikan,” ujarnya.(rel/esg)