Soekarno pernah berkata, beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia. Soekarno sendiri sedari muda, bersama sekelompok pemuda lainnya sudah ‘mengguncang dunia’, dimulai sejak ia melakukan pembelaan seorang diri di pengadilan kolonial, bertajuk ‘Indonesia Menggugat’. Kala itu, 1930, Soekarno baru berusia 29 tahun. Tak berapa lama sesudahnya, 1945, bersama Mohammad Hatta, ia berdiri paling depan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno dan kawan-kawan segenerasi, adalah sebagian saja dari banyak pemuda yang mencatatkan dirinya dengan tinta emas di riwayat sejarah bangsa ini.
Di belahan bumi lain, tak terkira pula sejarah dan peran pemuda itu menggema dan terus diukir dari waktu ke waktu. Dus, pemuda merupakan aset terbesar yang dimiliki bangsa dan negara. Pemuda, atau istilah lainnya adalah generasi muda, adalah kelompok masyarakat yang sebentar lagi akan ikut serta secara aktif mengelola negeri ini. Tidak ada yang membantah betapa strategisnya peran pemuda bagi negeri ini, apalagi jika kita bicara tentang masa depan.
Ada beragam versi yang terkait dengan rentang usia generasi muda. Menurut UU No 40 tentang Kepemudaan RI, pada ayat 1, pasal 1, disebutkan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Sedangkan badan dunia PBB bidang kesehatan, WHO, menyebut bahwa pemuda itu rentang usianya antara 15-24 tahun.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik, sebanyak sekitar 25% penduduk kita (dari lebih sekitar 252 juta penduduk) saat ini adalah warga negara yang masuk ke dalam kelompok usia 16-30 tahun. Ini merupakan modal tidak ternilai bagi bangsa kita. Berita gembira berikutnya adalah, mulai 2020 nanti usia angkatan kerja kita (usia 15-64 tahun), Indonesia akan mengalami porsi sebanyak 70% di antara seluruh total penduduk. Inilah yang populer disebut sebagai ‘bonus demografi’ buat Indonesia (dan sejumlah negara lainnya di Asia).
Begitu banyak referensi ilmiah maupun semi-ilmiah yang bisa kita kutip. Salah satunya, pada program Mata Najwa 2014 lalu yang bertajuk ‘Merayakan Indonesia’, ketika ditanya oleh Najwa Shihab—tuan rumah program Mata Najwa—tentang aset apa yang paling berharga dan mesti dijaga ke depan bagi bangsa ini, mantan wakil Presiden RI, Boediono, dengan jelas menyebut generasi muda alias pemuda sebagai aset yang mesti dijaga dan dikembangkankan sesuai potensi yang dimilikinya.
Pernyataan Boediono itu adalah pernyataan seorang yang tidak saja berangkat dari latar belakang birokrat (sebelum menjadi Wapres, di era Megawati dan SBY, beliau pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI), namun lebih dari itu, insting dan pengalaman Boediono sebagai pendidik dan ilmuwan yang sangat memahami arti strategis pemuda. Boediono paham, betapa menyelamatkan bangsa ini ke depan dimulai dengan membina dan mengembangkan potensi yang lahir dari generasi muda.
Jauh lebih penting dari itu semua adalah, bagaimana kita menyiapkan generasi muda dengan bekal ilmu dan pengalaman yang berharga. Ini penting, karena di masa depan, persaingan global semakin kompleks, tantangan sosial-politik-ekonomi akan berimbas kepada kesiapan mental dan kognitif bangsa kita. Tentunya di masa mendatang, peran generasi masa kini akan semakin tergantikan oleh generasi muda hari ini. Apalagi, sejumlah indikator menuju kesiapan negara kita ke depan, bisa diukur dari berbagai survei dan penelitian termutakhir.
Salah satu capaian faktual untuk dijadikan pedoman adalah peringkat daya saing negara kita di kancah global. Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) yang menyusun ranking daya saing negara dalam Global Competitiveness Report, Indonesia pada 2016 mendapatkan nilai 4,52 dan merupakan negara yang menduduki peringkat ke 41 dari 138 negara yang disurvei. Ada 12 jenis indikator yang terdiri dari institusi, infrastruktur, lingkungan ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi pasar tenaga kerja, perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi.
Dari survei tersebut, bisa terpetakan bahwa selain sejumlah faktor yang akan terus dibenahi oleh para pemangku kepentingan, ada salah satu indikator yang sangat terkait dengan penyiapan peran generasi muda ke depan, yaitu indikator pendidikan tinggi dan pelatihan. Bangsa kita harus sadar bahwa untuk mampu bersaing di arena global, kita harus menyiapkan generasi muda dengan berbagai langkah strategis dan signifikan. Ini penting, karena di era digital ini ada banyak tantangan yang kalau tidak dikemas dan dikelola sedemikian rupa, tantangan itu berubah menjadi ‘ranjau’ mematikan.
Sekaitan itu, hal yang paling mencemaskan adalah betapa era kebebasan informasi saat ini potensial ‘menjerumuskan’ pemuda untuk tidak cerdas dalam bermedia digital. Fenomena hoax dan media abal-abal yang mengintai di mana-mana, adalah secuil saja dari ekses negatif di kala pemuda tidak dibekali dan ‘terbekali’ pengetahuan dan keterampilan untuk ‘cerdas bermedia’. Padahal, era digital harusnya dijadikan sarana untuk mengejar ketertinggalan kita di kancah mancanegara. Digitalisasi harus diartikan edukasi dalam tingkatan yang lebih canggih dan sarana pengembangan diri bagi (terutama) generasi Y, karena sebagian besar pengguna media digital adalah generasi milenial itu sendiri.
Ke depan, kita butuh peta jalan (road map) yang jelas, komprehensif dan tersosialisasi dengan baik ke tengah masyarakat tentang bagaimana sesungguhnya pengembangan dan pemibaan kepemudaan dijalankan. Di level provinsi, arah kebijakan kepemudaan harus sinergis dengan pendidikan, terutama pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Di momen peringatan Sumpah Pemuda ini, ada baiknya kita rancang kebijakan pengembangan dan pembinaan kepemudaan yang sinergis antara universitas dan lembaga-lembaga nonformal pendidikan tinggi dengan struktur birokrasi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.