» Penyaluran bantuan sosial dalam praktiknya banyak yang meleset dari sasaran.
» Stimulus ekonomi sebagian besar sulit diakses UMKM karena tidak memiliki akses ke perbankan.
JAKARTA – Kebijakan fiskal pemerintah dengan menambah alokasi anggaran untuk dampak sosial dan ekonomi pandemi Covid-19 dipastikan sulit menahan lonjakan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran. Sebab, dengan tambahan 272,1 triliun rupiah, anggaran yang tadinya 405,1 triliun rupiah menjadi 677,2 triliun rupiah, dalam penyalurannya tetap mengacu pada data yang kurang valid sehingga tidak tepat sasaran.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan meskipun pemerintah berani memperbesar defisit APBN 2020, namun efek dari stimulus tersebut belum optimal mengakselerasi perekonomian.
Penambahan anggaran, kata Tauhid, seharusnya tidak hanya menyasar dua sektor yaitu sosial dan ekonomi, tetapi juga kesehatan yang jadi sumber utama masalahnya. “Dari total anggaran tersebut, 89 persen digunakan untuk ekonomi dan hanya 11 persen untuk kesehatan. Porsi anggaran kesehatan itu ditambah, jangan 11 persen karena kita masih kekurangan fasilitas kesehatan,” kata Tauhid kepada Koran Jakarta, Kamis (4/6).
Hingga saat ini, anggaran yang digelontorkan pemerintah belum mampu menekan tingginya lonjakan angka kemiskinan dan pengangguran karena banyakya insentif yang tidak tepat sasaran.
Dia merujuk penyaluran bantuan sosial yang pada 2019 lalu hanya 47 persen yang tepat sasaran, selebihnya meleset. Pada tahun ini pun, masih menggunakan data yang sama yaitu data 2015, sehingga dipastikan lebih melenceng dari sasaran.
“Kalau bansos yang tidak tepat sasaran cukup tinggi tentu tidak akan mendorong konsumsi masyarakat kelas bawah sehingga secara akumulasi konsumsi mereka tidak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Demikian juga, stimulus ke sektor ekonomi terutama untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan tambahan anggaran 34 triliun rupiah, berpotensi tidak tepat sasaran. Sebagian besar UMKM tidak menikmati fasilitas tersebut karena tidak memiliki akses ke perbankan. “Yang mendapatkan fasilitas itu hanya bisa terakses oleh layanan perbankan sementara hampir 80 persen berdasarkan data BPS 2018, banyak belum bisa mengakses pinjaman ke bank,” katanya.
Perlindungan Sosial
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (4/6), mengatakan revisi kedua APBN 2020 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 dimaksudkan untuk menambah anggaran penanganan dampak Covid-19, terutama di bidang ekonomi dan sosial, khususnya untuk menahan laju kemiskinan dan pengangguran agar tidak merosot terlalu dalam.
“Jangan sampai pertumbuhan negatif atau skenario sangat berat karena dampak ke kemiskinan dan pengangguran sangat tinggi,” kata Febrio.
Pemerintah sendiri telah membuat proyeksi skenario pertumbuhan ekonomi tahun ini yaitu skenario berat ekonomi hanya tumbuh 2,3 persen dan skenario sangat berat ekonomi negatif 0,4 persen.
Apabila pengangguran dan kemiskinan merosot terlalu dalam, jelas Febrio, maka upaya pemulihan pada tahun berikutnya juga akan semakin berat. Sebab itu, dalam revisi terbaru, pemerintah akan fokus pada perlindungan sosial karena masyarakat Indonesia sebagian besar masih berpendapatan rendah dan lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) didorong oleh konsumsi.
Alokasi anggaran untuk perlindungan sosial dalam pemulihan ekonomi nasional mencapai 205,20 triliun rupiah dan biaya untuk membantu dunia usaha sebesar 384,45 triliun rupiah.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah melebarkan defisit menjadi 6,34 persen terhadap PDB menjadi 1.039,2 triliun rupiah dari sebelumnya sebesar 5,07 persen atau 852,9 triliun rupiah.
Sebelumnya diberitakan, dengan skenario berat, diperkirakan akan ada penambahan angka kemiskinan 1,89 juta orang, sedangkan pengangguran 2,92 juta orang. Untuk skenario sangat berat, angka kemiskinan akan menambah 4,86 juta orang dan angka pengangguran baru bisa bertambah 5,23 juta orang. n ers/uyo/E-9