in

Penempatan Spesialis Sesuai Regional

Tak Patuh, STR tak Keluar

Program wajib kerja dokter spesialis (WDKS) ke daerah segera dilaksanakan. Rencananya, penugasan ini diawali dengan penempatan 127 dokter spesialis ke 90 rumah sakit (RS) pada Maret 2017. Mereka ditempatkan sesuai regional masing-masing universitas tempat belajar. 

Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Usman Sumantri membeberkan alur penempatan spesialis ini. Pertama, dimulai dengan pengajuan dari pemerintah daerah soal kebutuhan spesialis di daerahnya. Kebutuhan disampaikan pada Kemenkes, yang kemudian ditindaklanjuti oleh komite penempatan WDKS. 

”Selanjutnya, ada visit ke rumah sakit di daerah tersebut. kita lihat kesiapan. Kan tidak mungkin spesialis dikirim namun alat tidak ada,” ujarnya di Jakarta, kemarin (3/2). 

Bila memang tidak mumpuni, pengiriman terpaksa ditunda. Pemda wajib melengkapi sarana dan prasaran yang dibutuhkan. Hal ini pun akan dikomunikasikan dengan Dirjen Pelayanan Kesehatan untuk turut membantu. ”Kalau pemda tidak mampu, tentu dibantu. Karena memang bisa saja daerah tersebut memang sejatinya diproyeksikan, tapi terkendala,” jelasnya. 

Ketua Umum PB Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Nurdadi Saleh menambahkan, penempatan ini juga disesuaikan dengan pembagian regional. Ada tiga regional yang diberlakukan, yakni Barat, Tengah dan Timur. 

Untuk regional Barat, dibagi atas seluruh provinsi di Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Regional Tengah: Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara Jawa Tengah. Sementara, regional Timur meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua, dan Papua Barat. ”Regional tersebut dibagi lagi berdasarkan sektor-sektor,” ungkapnya. 

Regional Timur misalnya. Di sana, terdapat lima universitas yang memproduksi lulusan spesialis. Adapun kelimanya meliputi Universitas Sam Ratulangi (Sulawesi Utara), Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan), Universitas Airlangga (Jawa Timur), Universitas Brawijaya (Jawa Timur) dan Universitas Udayana (Bali). Setiap universtias tersebut akan diberikan pembagian area lagi yang berdeda-beda. 

”Airlangga misalnya. Areanya Jawa Timur, Maluku dan Papua. Lalu ada pengajuan dari RS Abepura, maka dilihat itu masuknya sektor mana? Oh Airlangga, ya berarti langsung dipenuhi dari sana,” paparnya. 

Menurutnya, pengaturan penempatan dokter spesialis ini perlu dilakukan.Sehingga, bisa dilakukan pemerataan dokter spesialis di Indonesia. ”Bayangkan. Obgyn saat ini sekitar 3.500 orang. Tapi 2.000-nya di Pulau Jawa,” ungkapnya. 

Dia pun berharap, lulusan dokter spesialis berbesar hati untuk ke daerah. apalagi, pemerintah telah menjamin kesejahteraan dokter selama di sana. ”Di Tidore, spesialis take home pay-nya sampai Rp 80 juta. Ini komitmen dari pemerintah pusat dan daerah. belum lagi jasa medis dari JKN,” paparnya. 

Diakuinya, beberpa dokter mengaku keberatan. Terutama mereka yang pembiayaannya dilakukan mandiri, bukan dari beasiswa pemerintah. ”Mereka bertanya, hak kami mana? Tolonglah hak masyarakat ini juga diperhatikan. Satu tahun bukan waktu yang lama. Jangan menepuk dada lah karena biaya mandiri,” ungkapnya. 

Senada dengan Nurdadi, Dokter spesialis bedah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) Kiki Lukman mengungkapkan, pendidikan kedokteran sejatinya mendapat subsidi sangat besar deri pemerintah. Artinya, meski proses pendidikan dilakukan dengan biaya mandiri masih ada bantuan pemerintah di dalamnya. 

”Pada dasarnya SPP hanya memenuhi 30 persen dari kebutuhan keseluruhan pendidikan. sisanya subsidi pemerintah. Banyak sarana dan prasarana yang jika dibebankan ke semua peserta didik akan sangat malah. bisa saja 100 jut satu semester,” jelasnya. 

Lalu, bagaimana bila ada yang tetap menolak? Ketua Perhimpunan Bedah Vaskuler Seluruh Indonesia (PESBEVI) R. Suhartono memastikan, dokter tersebut tak akan bisa berpraktik. Sebab, sesuai Perpres Nomor 4 Tahun 2017, WKDS adalah wajib. 

Dia menjabarkan, ada tahapan yang harus dilalui dokter untuk bisa berpraktik. Setelah lulusa, yang bersangkutan akan menerima ijazah dari Fakultas Kedokteran. Kemudian, harus mengurus sertifikat kompetensi dari kolegium dan terakhir, surat tanda registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia. ”Nah, kalau tidak berkenan maka tidak dikeuarkan STR nya. Artinya, dia tidak mungkin berpraktik,” tegasnya. 

Bagi mereka yang ikut program WKDS ini pun, hanya satu STR yang diberikan. Yakni, STR untuk melayani di RS lokasi penempatan. Sementara, dua lainnya masih akan ditahan. Dengan begitu, dokter tidak bisa nyambi. ”Sehingga dokter-dokter ini bisa konsen melakukan pelayanan di sana,” ungkapnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Hidup Pas-pasan, Puger Mulyono Rela Rawat Anak-anak dengan HIV/AIDS

Akhiri Kegaduhan, Dwi Soetjipto Dicopot