Bunga utang semakin lama semakin membatasi APBN untuk kesejahteraan rakyat.
Setiap penarikan utang seharusnya sudah memiliki cara untuk membayar kembali.
JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan beban pembayaran bunga utang pemerintah semakin menyandera APBN di tengah-tengah melemahnya penerimaan negara, khususnya dari pajak.
Oleh karena itu, meskipun rasio utang masih di bawah 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), bagi negara dengan sistem perpajakan rapuh seperti Indonesia, rasio utang itu dinilai mengkhawatirkan dan bisa menjadi bom waktu yang siap meledak.
Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, mengatakan pemerintah seharusnya waspada dengan terus meningkatnya pembayaran bunga utang setiap tahun yang terjadi saat penerimaan pajak berpotensi tidak mencapai target atau shortfall.
“Bunga utang setiap tahun semakin naik hingga menyandera APBN. Kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan semakin terbatas. Sebab, peneriman habis untuk bayar utang,” kata dia, ketika dihubungi, Rabu (18/10).
Pada RAPBN 2018, alokasi pembayaran bunga utang mencapai 247,6 triliun rupiah, naik dibandingkan anggaran bunga utang dalam APBN-P 2017 yang sekitar 220 triliun rupiah. Sedangkan rasio pembayaran bunga utang itu terhadap total penerimaan negara pada 2018 mencapai 13,18 persen, meningkat dari rasio tahun ini yang sekitar 12 persen.
Dani menilai pembayaran bunga utang itu termasuk besar, setelah belanja pendidikan dan belanja pegawai. Rasio tersebut juga mengarah ke batas maksimal sebesar 20 persen. Di sisi lain, penerimaan negara selama ini tidak cukup untuk membayar kewajiban utang sehingga penarikan utang baru digunakan untuk membayar kewajiban utang lama.
“Ini tecermin dari keseimbangan primer yang masih mencatat defisit di tahun depan sebesar 78 triliun rupiah,” tegas dia.
Menurut dia, pemerintah harus memikirkan cara agar penerimaan negara mencukupi pembayaran utang. Sebab, di satu sisi pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur yang besar, tetapi di sisi lain penerimaan negara terbatas. “Problemnya sekarang mengerem pada belanja-belanja yang memakan anggaran cukup besar. Infrastruktur misalnya,” tukas Dani.
Kalau ada relokasi anggaran, lanjut dia, seharusnya diarahkan ke belanja yang dampaknya langsung kepada rakyat banyak. Jadi, kalaupun mau dibangun infrastruktur, difokuskan pada proyek yang banyak menyerap tenaga kerja dan punya dampak pada ekonomi perdesaan.
Sistem Pajak Lemah
Sementara itu, peneliti Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan total utang pemerintah hingga akhir Agustus 2017 mencapai 3.825,79 triliun rupiah atau 28 persen dari PDB. Hingga akhir tahun, pemerintah memproyeksikan rasio utang itu mencapai 28,9 persen.
Menurut dia, meski rasio utang pemerintah di bawah batas maksimal 60 persen seperti ketentuan UU, posisi itu belum tentu aman, bahkan malah mengkhawatirkan.
Sebab, sistem perpajakan di Indonesia masih lemah. “Menurut saya, rasio itu aman hanya berlaku untuk negara-negara dengan sistem perpajakan kokoh,” kata Abdul Manap, dalam satu diskusi di Jakarta, Rabu.
Sistem perpajakan yang masih lemah itu, lanjut dia, tecermin dari realisasi penerimaan pajak yang setiap tahun yang selalu meleset dari target. Pada akhirnya, utang hanya akan menggerus APBN. Contohnya, rasio pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat yang terus meningkat.
Abdul Manap menilai selama ini utang tidak produktif dan hanya untuk tambal sulam utang lama. Selama skema gali lubang tutup lubang ini tidak dicarikan solusinya maka Indonesia bakal terus terjebak dalam kubangan utang.
Menurut dia, salah satu upaya untuk keluar dari jeratan utang hanya dengan meningkatkan penerimaan. Utang boleh-boleh saja selama digunakan secara produktif sehingga menghasilkan pendapatan untuk mengembalikannya. Misalnya, untuk satu dollar utang yang ditarik bisa menghasilkan pendapatan 2–3 dollar. ahm/WP