Bupati Mentawai Ancam Bikin Brand Sendiri
Penetapan branding wisata Sumbar berlangsung alot saat Focus Group Discussion ( FGD) pembangunan komitmen destination branding Sumbar di Hotel Mercure, Jumat ( 24/11). Ada dua ikon branding Sumbar yang jadi perdebatan, yakni Taste of Padang dan Culture of Minang. Saking alotnya, Pemkab Mentawai sempat mengancam keluar dari branding wisata Sumbar dan membentuk branding wisata sendiri.
Konsultan Branding Destination Sumbar Amar Ma’aruf menyebutkan, pemakaian kata Padang dinilai lebih menjual ketimbang Minangkabau maupun West Sumatera. Dikarenakan Padang lebih populer, baik dalam skala nasional maupun internasional. “Setidaknya, berdasarkan survei yang kita lakukan, 75 persen brand name Padang telah dikenal publik sebagai Sumbar.
Minangkabau sebesar 19 persen dan hanya 6 persen yang mengenal kata West Sumatera. Di mana-mana ketika kita tanya orang, maka orang lebih kenal Padang dari pada Sumbar, Minangkabau ataupun West Sumatera,” katanya.
Untuk logonya sendiri, brand “Taste of Padang” memakai gonjong rumah gadang. Sebab, kata Amar, berdasarkan survei 85 persen mengetahui dan mengakui bahwa rumah gadang adalah ikon untuk daerah Minang.
“Namun demikian, brand yang ditawarkan ini tetap kita serahkan keputusannya kepada jajaran Pemprov Sumbar. Hanya saja, nasional mendorong, baik warna, typography dan lekuk bentuknya diharapkan memiliki satu kesatuan dengan brand wisata Indonesia. Jadi, brand apa yang dipakai Sumbar nantinya diharapkan sama dengan “Wonderful Indonesia,” katanya.
Sejatinya, dari paparan hasil dari kerja penelitian Amar selaku konsultan selama 2 bulan terakhir, branding yang dinilai cocok untuk Sumbar adalah “Taste of Padang” dengan tagline “Culture of Minang”. Namun, penggunaan tagline sendiri mendapat penolakan dari sejumlah pihak dalam FGD.
Hal ini mendapat tanggapan dari Bupati Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet. Yudas menyebut, penggunaan tagline “Culture of Minang” tidak mewakili sedikitpun wisata di kabupaten yang dipimpinnya.
“Kita memang bagian dari Provinsi Sumbar, namun bukan dari Culture Minang. Kita memiliki keunikan budaya tersendiri, jika pemakaian tagline tersebut tetap dilakukan, maka kita akan keluar dari brand wisata Sumbar dan membentuk brand sendiri untuk Kepulauan Mentawai,” katanya.
Senada, Wakil Bupati Padangpariaman Suhatri Bur, juga menilai pemakaian tagline tersebut kurang mengena kalau untuk mewakili Sumbar. Namun secara tidak langsung pihaknya, tidak menolak penggunaan brand termasuk tagline tersebut. Hanya saja, katanya, jika mengambil salah satu wisata unggulan di Sumbar seperti Singkarak maka itu lebih cocok.
Sementara Bupati Solok Gusmal menilai bahwa brand dengan tagline tersebut terlalu panjang dan lebih menjual jika diperpendek. Sebab, katanya, brand itu sendiri bukanlah tentang tempat atau wisata, namun sesuatu yang unik terkandung dalam sebuah daerah.
“Sebagaimana Indonesia, memakai brand “Wonderful Indonesia” artinya keindahan Indonesia. Jadi, branding-nya adalah keindahan, maka lebih bagus kita menyelaraskan dengan itu,” terangnya.
Melalui diskusi yang alot, akhirnya didapati keputusan bahwa brand destinasi wisata Sumbar adalah “Taste of Padang” dengan menghilangkan tagline “Culture of Minang”. Brand tersebut diyakini telah mewakili 19 kabupaten/ kota di Provinsi Sumbar, termasuk Kepulauan Mentawai sendiri.
Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit mengatakan, pariwisata merupakan salah satu penggerak roda perekonomian terbesar di Indonesia. Melihat pentingnya destination branding, maka negara-negara di dunia menunjukan keunikannya masing-masing untuk dipromosikan kepada masyarakat global.
Indonesia sendiri, sebut Wagub, mempunyai destination branding yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat dunia “Wonderfull Indonesia”. Selanjutnya, setiap provinsi-provinsi di Indonesia juga harus mempunyai destination branding masing-masing.
Harus Berani Mengkritisi
Direktur Pusat Kajian Pariwisata Universitas Andalas (Unand) Padang, Sari Lenggogeni mengaku kurang setuju atas brand “Taste of Padang”. Menurut dia, sebelum brand itu ditetapkan, harusnya daerah berani mengkritisi dan mengevaluasi setiap saat program pusat yang terkesan mengatur identitas Sumbar. Terlebih lagi, mestinya sebelum brand ditetapkan perlu dilakukan uji publik terlebih dahulu.
“Apa hak mereka (pemerintah pusat, red)? Kita juga harus punya sikap, apa sudah cocok dengan konsep, tujuan, dan proses branding yang berlaku,” ujarnya dia.
Place branding, menurut dia, mestinya dikerjakan arsitek branding yang benar-benar mengikuti proses metodologi dari tiga perspektif. Yakni, host atau tuan rumah yang bisa terdiri dari pentahelix-nya; competitor tentang bagaimana tolok ukurnya; dan paling penting customer atau target pasar.
“Branding itu sifatnya harus recognizable, memorable, konsisten sebagaimana dilakukan Kemenpar untuk Wonderful Indonesia atau Pesona Indonesia yang sudah bertahan beberapa tahun. Branding itu identitas siapa kita, apa yang membedakan kita dengan yang lain, serta apa hubungan kita dengan stakeholders,” katanya.
Sejatinya, menurut dia, branding harus memiliki emotional benefit, menggambarkan personality dan paling penting menggambarkan esensi brand atau “DNA” dari destinasi yang ada. “Apa konsultan yang ditunjuk itu sudah melewati proses ini. Lalu, jika tetap menggunakan brand “Taste of Padang”, tentunya akan menyulitkan orang mengenal daerah 18 kabupaten/ kota lainnya di Sumbar,” tukasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.