in

Pengalaman Firmansah Iman Menjelajahi Lokasi-lokasi Sulit di Ketinggian

Kaget Lihat Kerak Menara Istiqlal yang Membatu

Profesi membersihkan dinding gedung bertingkat termasuk pekerjaan langka. Selain keahlian bergelantungan di ketinggian, dibutuhkan nyali besar. Itulah yang dilakoni Firmansah Iman, anggota Indorope, asosiasi pemanjat gedung profesional.

Firman nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya pada pertengahan Februari lalu. Kerak di langit-langit menara Masjid Istiqlal Jakarta benar-benar tebal.

Kabar bahwa masjid itu belum pernah dibersihkan secara detail sejak diresmikan pada 1978, rupanya, bukan isapan jempol. Karena itu, diperlukan kerja ekstra untuk membersihkannya.

”Granitnya ditumbuhi lumut dan lumutnya sudah menjadi batu. Menyatu dengan debu,” ujar Firman saat ditemui di markas Indorope di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (28/3). 

Dia dan tim Indorope perlu mengeluarkan senjata andalan mereka, sikat kawat untuk membersihkan kerak di menara masjid terbesar se-Asia Tenggara itu. Tapi, upaya tersebut gagal. Kerak lumut tidak bisa terkikis.

Firman lalu mencoba menggunakan kape yang biasa digunakan untuk membersihkan sisa semen yang tercecer di tembok atau lantai. Itu juga gagal. “Akhirnya kami pakai amplas superkasar, AA 100, baru bisa,” kenangnya. 

Tantangan itu merupakan salah satu bagian dari kegiatan charity yang dilakukan berbagai kelompok pencinta alam di Indonesia. Indorope terlibat di dalamnya meski bukan murni pencinta alam. Indorope ambil bagian karena asosiasi tersebut sehari-hari menangani bangunan ekstrem di ketinggian.

Firman merupakan salah satu anggota senior di Indorope, asosiasi rope access yang tumbuh di Indonesia. Seperti namanya, kegiatan asosiasi tersebut berkaitan dengan tali-temali dan ketinggian bangunan.

Hanya, berbeda dengan pencinta alam, Indorope lebih banyak bergerak di bidang industri. Sejak 2012, Firman ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan Indorope. Termasuk dalam sejumlah kegiatan sosial dan rescue. 

Sebelum charity di Masjid Istiqlal pertengahan Februari lalu, Firman melatih para aktivis pencinta alam yang akan terjun dalam aksi sosial itu selama tiga hari. Meskipun, umumnya standar yang digunakan Indorope adalah 5–7 hari persiapan.

“Mereka kami latih dan beri simulasi bekerja di ketinggian,” tutur pria kelahiran 21 Juli 1984 itu. Pertama, mereka dibiasakan menggunakan alat keselamatan yang beratnya bisa lebih dari 10 kilogram.

Peralatan tersebut masih ditambah perangkat untuk bersih-bersih di atas seperti ember, sikat, serta perbekalan lain. Mereka juga harus membiasakan bergelantungan di ketinggian dalam jangka waktu cukup lama. Tidak hanya beberapa menit, tapi bisa sampai 3–4 jam. 

Keselamatan seluruh relawan yang bekerja di ketinggian benar-benar dijaga. Mereka dibagi-bagi dan dikunci dengan tali keselamatan untuk tiap area. Firman dkk juga terus mengawasi relawan setiap saat.

Dia harus memastikan mereka tidak membuat kesalahan sekecil apa pun saat membersihkan bagian-bagian yang sulit di ketinggian. Kesalahan sedikit saja berpotensi menjadi insiden.

Lantaran tidak semua bisa mencapai standar yang diinginkan, para pencinta alam itu ditempatkan di lokasi yang tidak terlalu berbahaya. Misalnya, di bagian luar menara.

Meskipun tinggi, di lokasi tersebut masih ada tempat untuk berpijak. Bagian yang tersulit ditangani Firman cs, khususnya yang mengharuskan mereka menggantung di tali berjam-jam sambil membersihkan kerak menara. 

Mereka bekerja mulai pukul 08.00 dan istirahat pukul 12.00. Sejam kemudian kembali ke atas sampai pukul 17.00. Total dibutuhkan waktu tiga hari untuk membersihkan satu blok menara yang berkerak hingga benar-benar bersih. 

Hari berikutnya tercetuslah ide untuk membersihkan kerak dengan menggunakan mesin yang digendong. Ternyata lebih efektif. Dengan luas yang sama, waktu kerja lebih singkat. Hanya butuh empat jam!

“Itu semua saya catat sebagai bekal untuk tim di Istiqlal bila suatu saat hendak membersihkan lagi,” ucap penghobi lari tersebut. Selain itu, dia memaparkan kondisi seluruh area Masjid Istiqlal yang biasanya tidak terjangkau petugas. Misalnya, ada retak di bagian tertentu.

Atau, tangga di menara ternyata sudah sangat tua dan rawan patah. Faktor keamanan juga diperhatikan. Firman menyarankan agar pengurus masjid menambah pintu akses ke luar menara di bagian atas.

Saat ditemui Selasa pekan lalu, Firman baru saja menyelesaikan aktivitas bersepeda di tengah terik matahari. Hal itu dilakukan agar dia bisa mengukur ketahanan fisiknya. “Tadi bersepeda sekitar sini saja, hanya sampai Kalibata dan Pancoran. Jaraknya sekitar 15 km,” ucapnya.

Untuk bergabung di komunitas Indorope, setiap calon harus memiliki sedikitnya 13 kemampuan. Mulai fire fighter, pertolongan pertama, navigasi, survival, dan beberapa kemampuan khusus lain. “Dulu saya menjalani latihan selama satu bulan,” kenangnya.

Karena harus menjalani latihan mulai nol, si calon tidak harus mempunyai latar belakang pernah menjadi anggota mapala atau sejenisnya. Yang penting serius berlatih dan dinyatakan lulus untuk mendapat lisensi internasional. “Ada lho yang berlatar belakang penjual es.”

Adapun latar belakang Firman, dia pernah menjadi anggota Wanadri, kelompok pencinta alam di Bandung. Pada 2009 dia mengikuti uji coba yang dilakukan tim dokter kesehatan RS Hasan Sadikin Bandung. Kala itu tim dokter meneliti kemungkinan apakah manusia saat ini bisa hidup seperti manusia pada zaman purba.

Tes dilakukan dengan menempatkan peserta di kawasan pegunungan di Jawa Barat hanya berbekal garam. Satu per satu peserta berguguran. Hingga hari ke-10, hanya tersisa empat orang, termasuk Firman. Tapi, uji coba akhirnya dihentikan hari itu juga karena sudah banyak yang tumbang.

Hasil tes terhadap empat orang tersebut berbeda-beda. Namun, Firman masuk dalam catatan tersendiri. “Tim dokter menyatakan saya bisa hidup sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” ucapnya bangga. 

Selain membersihkan Masjid Istiqlal, Indorope pernah menerjunkan tim dalam evakuasi jenazah korban jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor.

Peristiwa memilukan pada 9 Mei 2012 itu masih lekat di ingatan Firman. Dia dan enam kawannya terjun di medan yang sulit bersama pasukan khusus TNI dan Brimob. 

Setelah titik jatuhnya pesawat dipastikan, Firman cs sudah berada di atas tebing yang menjadi akses terdekat menuju jurang TKP (tempat kejadian perkara). Ternyata, medannya lebih berat dari perkiraan. Akhirnya, diputuskan hanya sebagian yang turun hingga ke dasar jurang. Firman cs termasuk yang turun.

Lokasi jatuhnya pesawat tergolong curam. Tim evakuasi harus menuruni tebing dengan kemiringan 75–90 derajat. “Yang pertama kami lakukan adalah membuat jalur evakuasi yang aman dulu untuk tim,” tutur ayah Aira Syahnur Wijaya Kusuma, 7 bulan, itu. 

Firman dkk diminta men-setting agar evakuasi bisa berlangsung dengan aman, terutama untuk anggota tim evakuasi. Juga, menyiapkan peralatan yang mampu menjamin keamanan saat mendaki. Sebab, tim akan mendaki dengan satu tangan karena tangan yang lain menarik jenazah. Jenazah-jenazah itu dinaikkan secara estafet.

Hingga akhirnya, setelah delapan hari di jurang, tim medis yang berada di pos bawah memutuskan untuk menghentikan evakuasi karena sudah terlalu lama di lokasi. Bila diteruskan, hal itu justru bisa membahayakan jiwa tim evakuasi. 

Keputusan tersebut berkaca dari pengalaman evakuasi jenazah korban musibah tsunami Aceh 2004. Kala itu sejumlah relawan kehilangan jari karena harus diamputasi setelah terkena bakteri yang keluar dari jasad korban. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Pemisahan Agama dan Negara

Sebut Indonesia Curang, Trump Bisa Digugat ke WTO