Kesenjangan Ekonomi – 24 Persen Provinsi Alami Pertumbuhan di Bawah Rata-rata Nasional
JAKARTA – Kebijakan fiskal saat ini dinilai belum efektif mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahun dinilai belum mampu mengatasi masalah ketimpangan ekonomi.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Mardiasmo, mengungkapkan ruang fiskal Indonesia saat ini cukup longgar. Karena itu, dengan kemampuan fiskal tersebut, diharapkan dapat mewujudkan tujuan negara mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan dan kemiskinan, serta pemerataan pembangunan.
“Tapi, selama 71 tahun kita merdeka, masih ada ganjalan. Padahal, APBN sudah mencapai 2.080 triliun rupiah pada 2017 dan bakal naik 2.200 triliun rupiah pada 2018,” ujar Mardiasmo dalam diskusi ekonomi, di Jakarta, Selasa (4/4). Tak hanya itu, lanjut Mardiasmo, dana transfer ke daerah pada 2017 juga dinaikkan dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi 765 triliun rupiah.
Bahkan, ke depan, targetnya lebih dari 900 triliun rupiah. “Sayangnya, masyarakat miskin tetap saja gigit jari. Jadi, bagaimana kita harus memperbaiki itu?” kata Mardiasmo. Meskipun kemampuan fiskal cukup kokoh, indeks kesenjangan atau ketimpangan di Indonesia belum turun secara signifikan. Tahun lalu, gini ratio hanya mencapai 0,39, turun tipis dari periode sebelumnya sebesar 0,40.
Karena itu, menurut Mardiasmo, Indonesia perlu merealisasikan kebijakan ekonomi berkeadilan, meliputi reformasi agraria, memperluas akses terhadap pasar modal, dan upaya lainnya untuk menurunkan gini ratio tersebut. Pemerintah, sambung dia, melalui Kementerian Keuangan juga terus membenahi anggaran sesuai tepat sasaran guna mengembalikan kredibilitas APBN, termasuk efisiensi anggaran rapat dan perjalanan dinas kementerian dan lembaga.
Mardiasmo juga menekankan perlunya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengintegrasikan APBN dengan APBD. Selain itu, kerja sama antar-otoritas fiskal dan moneter penting dilakukan. “APBN harus menjadi instrumen untuk mengurangi pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, dan mewujudkan pemerataan pembangunan,” Mardiasmo mengatakan
Kendala Pertumbuhan
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arief Budimanta, menyebutkan ketimpangan dan stabilitas ekonomi bervariasi antarwilayah di Indonesia.
Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dia menambahkan, 24 persen provinsi mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, di antaranya Aceh, Kalimantan Timur (Kaltim), dan daerah lainnya.
Selain itu, kata Arief, tercatat 44 persen provinsi lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil, termasuk Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi yang dicetak di provinsi tersebut bisa mencapai dua digit, tetapi pada tahun berikutnya hanya satu digit sehingga disebut tidak stabil. “Karena itu, strategi pembangunan wilayah yang dimulai dari pinggiran bukan sekadar retorika saja,” ujarnya.
ahm/E-10