Palembang, BP
Kepala Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Budi Wiyana mengatakan, bicara masterplan, harus ada leading sector yang menganggarkan. Dalam hal ini Disbudpar Sumsel.
“Sebaiknya ada semacam kerangka acuan tentang masterplan tersebut,” katanya disela-sela acara peninjauan, diskusi dan rapat dengan tema penelusuran jejak sejarah situs di Bukit Seguntang untuk mendukung rencana pembuatan master plan dalam rangka mengembalikan Bukit Seguntang sebagai situs Sriwijaya dan Ulu Melayu yang sakral dari tinjauan budaya dan pariwisata, Minggu (28/6) di Sekretariat Forwida Sumsel di Bukit Seguntang, Palembang.
Dikatakan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi telah melakukan zonasi Bukit Seguntang pada 1992.
Diketahui luasan kawasan ini 20 hektar. Namun terakhir zonasi pada 2018, areal makam menjadi 12,8 hektar. Ini daerah di dalam pagar.
“Sebetulnya areal di luar pagar masuk wilayah Taman Bukit Seguntang. Kalau kita bicara situs tidak berdiri sendiri. Yang masih terkait sekitar situs juga termasuk. Makanya masuk zona pengembangan. Tapi yang tahun 1992 itu zona inti semua. Zona pengembangan ini yang sekarang jadi pemukiman warga,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, revitalisasi Taman Bukit Seguntang di era rezim sebelumnya, kemungkinan tanpa melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Makanya sekarang muncul saling menyalahkan.
“Kami mengusulkan adanya masterplan. Di sana dijelaskan rencana ke depannya apa. Lalu semua pihak yang bisa berperan harus dilibatkan. Jadi tidak mungkin akan saling menyalahkan di kemudian hari. Mereka nanti juga bisa berkontribusi di situ,” katanya.
Pengembangan Bukit Seguntang, ia mengatakan, harusnya tanpa merusak peninggalan sejarah. Tidak boleh ada bangunan yang permanen, utamanya di zona inti makam. Sebaiknya itu dibangun di zona pendukung dan pengembangan. Tapi dengan catatan, tidak sembarang bangun.
“Desain-desain bangunan yang tidak permanen atau yang bisa dipindah perlu dibuat. Misalkan makam nanti akan dikembangkan jadi objek wisata yang bagus, tapi bangunannya tidak permanen. Pakai tiang, agar bisa dipindah. Jadi prinsipnya tidak merusak,” katanya.
Mendirikan bangunan di zona inti makam, seperti yang terjadi saat ini, menurutnya, sudah merusak makam. Mestinya tidak boleh ada bangunan tersebut.
“Tapi ini lantaran sudah terjadi, ya sudah. Sekarang kita bicara ke depan. Bikin forum diskusi, melibatkan semua pihak terkait. Perlukah dibongkar atau tidak bangunan yang sudah terlanjur ada ini,” katanya.
Menurutnya, perlu dilibatkan semua pemangku kepentingan untuk urun rembuk sebelum pemerintah mengambil keputusan. Jadi kalau di kemudian hari ada yang protes, semua harus bertanggung jawab.
Bukit Siguntang atau kadang disebut juga Bukit Seguntang adalah sebuah bukit seluas 16 hektar di ketinggian 29-30 meter dari permukaan laut, terletak sekitar 3 kilometer dari tepian utara Sungai Musi.
Di area situs Seguntang ditemukan beberapa benda purbakala bersifat Buddhis masa Kerajaan Sriwijaya (abad ke-6-13 Masehi) dan makam leluhur orang Palembang. Dari benda-benda purbakala yang ditemukan, menunjukkan bahwa Bukit Seguntang adalah salah satu kawasan pemujaan dan keagamaan kerajaan.
Hal ini terlihat dari arca Buddha bergaya Amarawati (abad ke-2-5 Masehi) yang ditemukan pada 1920-an. Arca berbahan granit setinggi 277 senti meter tersebut disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Di sana juga ditemukan fragmen arca Bodhisatwa, stupa, fragmen prasasti beraksara Pallawa, arca Kuweda, dan arca Buddha Wairocana.#osk