JAKARTA – Penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus penyelidikan yang ternyata tidak ditemukan bukti permulaan cukup ini bisa disalahgunakan untuk pemerasan dan kepentingan lain.
“Tujuan hukum harus terwujud. Kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Tidak boleh perkara digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan. Kalau bukan tindak pidana, masa iya tidak dihentikan,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri, di Jakarta, Jumat (21/2).
Diketahui sebelumnya, sejak Firli menjabat, 20 Dessember 2019 hingga 20 Februari 2020, terdapat 36 kasus di tahap penyelidikan yang dihentikan. Penghentian perkara dilakukan karena tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup dan untuk memenuhi asas kepastian hukum.Dengan begitu tunggakan perkara dengan sebelumnya hingga saat ini menjadi 366 perkara.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri menyebut, beberapa perkara yang dihentikan tersebut, di antaranya berasal dari penyelenggara negara di BUMN, Kementerian, dan kepala daerah. Meskipun, tidak merincikan perkara apa saja yang dihentikan, namun dipastikan tidak ada yang terkait dengan penyelidikan pengembangan perkara kasus-kasus megakorupsi seperti kasus RJ Lino, BLBI, dan Century.
Respons Negatif
Meskipun bukan pertama kali, bahkan pada lima tahun terakhir terdapat 162 perkara di tahap penyelidikan yang dihentikan, KPK di bawah kepemimpinan Firli tetap mendapatkan respons negatif dari masyarakat. Salah satunya, dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut dengan adanya penghentian ini, menguatkan dugaan publik bahwa kinerja penindakan KPK akan merosot tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Kondisi KPK saat ini telah membuat masyarakat pesimistis dengan kinerja pimpinan KPK. Apalagi hal tersebut terbukti dari survei yang diluncurkan Alvara Research Center pada 12 Februari 2020. Kepuasan publik terhadap KPK terjun bebas dari peringkat kedua di tahun 2019 menjadi peringkat kelima,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Menurut Kurnia, proses penghentian perkara di ranah penyelidikan mestinya melalui gelar perkara yang melibatkan setiap unsur, mulai dari tim penyelidik, penyidik, hingga penuntut umum. Dipertanyakan, apakah ke-36 kasus yang dihentikan KPK itu sudah melalui mekanisme gelar perkara.
“Kasus yang dihentikan KPK diduga berkaitan dengan korupsi yang melibatkan aktor penting, seperti kepala daerah, aparat penegak hukum, dan anggota legislatif. Jangan sampai pimpinan KPK melakukan abuse of power dalam memutuskan penghentian perkara,” ungkap Kurnia. ola/ags/N-3